Perang Narasi AS vs China: Lebih Menakutkan Ketimbang Tarif?

Trade War AS vs China
Trade War AS vs China (Sumber: Media Sosial)

America First atau Global Chaos? Kebijakan Trump yang Mengguncang Pasar Dunia

“Trade War” belum lama ini kembali mencuat di berbagai kanal media hingga menimbulkan kepanikan massal. Sejak pertama kali Trump ikut serta dalam pemilihan umum di Amerika, ia kerap menggaungkan jargon “America First” dan tampaknya tarif dagang menjadi jurus andalan yang selalu dikeluarkan Trump di momen kritis.

Pada Maret 2018, Trump pertama kali melancarkan serangannya dengan memberlakukan tarif 25% untuk 1.300 produk asal China yang nilainya setara dengan 50 Miliar Dolar. Tarif tersebut diberlakukan bukan tanpa alasan, pasalnya Trump kerap menyebut bahwa defisit perdagangan AS-China menjadi bukti nyata dari eksploitasi Beijing dan praktik perdagangan yang curang.

Dalam pidatonya ia menyebut:

“Tidak ada yang memanipulasi lebih baik atau memanfaatkan Amerika Serikat lebih banyak selain Tiongkok. Saya tidak akan menyebutnya curang, tapi tidak ada yang curang lebih baik dari Tiongkok”.

Bacaan Lainnya

Tak tinggal diam, China yang merasa tidak terima akhirnya melakukan serangan balik dengan menetapkan tarif impor pada produk tani, otomotif, hingga migas asal Amerika. Dampaknya langsung memukul jantung basis politik Trump, yakni para petani Midwest dan pelaku usaha energi.

Buruknya, konflik ini tidak berhenti di era Trump. Di bawah pemerintahan Biden, perang dagang menjelma menjadi perang teknologi. Larangan ekspor chip high quality, blokade terhadap Huawei, dan aliansi AS-Eropa pun dilakukan. Akan tetapi, ibarat bermain monopoli, Trump sekali lagi mendapatkan angka 6 nya untuk menduduki bangku kepresidenan Amerika Serikat.

Kini, semakin banyak hal luar nalar lainnya yang dilakukan. Di awal pemerintahannya, Trump mengenakan tarif pada produk asal Kanada dan Meksiko dengan tuduhan bahwa pemerintah kedua mitra dagangnya itu bersekongkol dengan para imigran untuk menyelundupkan “fentanyl”, obat terlarang yang banyak memakan korban. Namun, tidak ada yang pernah menyangka bahwa Trump justru membatalkan tarif tersebut.

Lebih mengejutkannya lagi, Trump bahkan memutuskan untuk berdamai dengan China setelah sebelumnya ia berencana mengenakan tarif hingga 245%. Sikapnya yang inkonsisten, benar-benar membuat situasi perekonomian bergejolak dan sulit diprediksi.

 

Jurnalisme Damai vs Jurnalisme Perang: Bagaimana AS dan China Membingkai Konflik

Namun, realitanya perang dagang antara Amerika-China bukan sekadar pertarungan tarif belaka. Ini adalah konflik narasi yang dimainkan dalam panggung media massa global. Media dari kedua negara tersebut, berperan aktif dalam membangun persepsi publik mengenai siapa yang salah dan siapa yang benar.

Misalnya, USA Today asal Amerika menyajikan berita yang lebih objektif, tidak menganut pandangan patriotik, dan cenderung membawakan narasi mengenai dampak buruk yang akan menimpa ekonomi Amerika akibat trade war. Lain halnya dengan China Daily, di mana media tersebut lebih sering menyoroti posisi Tiongkok sebagai korban dari perang dagang ini (Matingwina, 2020).

Baca juga: Literasi Digital dan Kewarganegaraan: Melawan Hoaks, Membangun Demokrasi

Akan tetapi, penelitian lainnya justru mengungkap fakta yang berbanding terbalik. Di mana media Amerika justru sangat agresif, menyajikan narasi peperangan dan kekerasan. Sementara media China justru menggunakan jurnalisme damai dengan fokus pada penyelesaian masalah melalui diplomasi (Ha et al., 2020).

Gambar Headline Berita Pada Media Amerika vs China (Sumber: Pengamatan Penulis)

Temuan tersebut sesuai dengan apa yang disebut  teori Framing bahwa media berupaya membentuk cara pandang audiens melalui pemilihan, penekanan, dan penyajian informasi tertentu. Tampaknya, kedua negara tersebut menggunakan media sebagai agen pembentuk realitas yang sesuai dengan kepentingan politik.

Di satu sisi, terdapat media Amerika tengah berusaha meyakinkan rakyatnya mengenai kekuatan mereka  dalam perekonomian global. Apalagi, belakangan ini dengan munculnya tarif, mengembalikan kesan kuat hegemonik yang telah dicapai.

Di lain sisi, China justru ingin terlihat sebagai kekuatan ekonomi yang bertanggung jawab, bukan malah menindas. Itulah mengapa kebanyakan media di sana akan menarasikan Amerika sebagai aktor hegemonik dan China sebagai korban dari kejamnya unilateralisme.

Tidak cukup sampai disitu, dalam kasus perang dagang media tampak menjadi simbol dari kekuasaan, persis seperti yang diungkapkan dalam model Agenda Setting. Di mana media punya kuasa yang begitu besar dalam menentukan topik apa yang dianggap penting oleh publik.

Defisit perdagangan”, “perang tarif”, “ancaman teknologi China” hingga “kejatuhan ekonomi global” memenuhi  headline berita di berbagai media. Lewat eksposur yang terus-menerus, media sukses menanamkan persepsi bahwa masalah tersebut adalah prioritas utama.

Malahan, jika kembali pada beberapa waktu belakangan, kita dapat melihat harga emas Antam naik secara signifikan. Ibarat pakai penglaris, gerai emasnya pun juga diserbu banyak pembeli. Bahkan, beberapa diantaranya  rela antri sejak subuh.

Semuanya disebabkan oleh narasi guncangan ekonomi global yang akan datang selama beberapa waktu ke depan akibat konfrontasi Amerika vs China. Ini selaras dengan pengklasifikasian efek dalam model Agenda Setting, yakni efek langsung dan efek lanjutan.

Contoh kasus di mana berita menanamkan urgensi pada diri khalayak disebut sebagai efek langsung, sementara tindakan untuk membeli emas sebagai lindung nilai dikenal dengan efek lanjutan. Agenda setting dengan gamblang menunjukkan bahwa media bukan cuman sampai pada pemikiran, tetapi juga mampu mempengaruhi keputusan yang diambil oleh audiens.

Gambar Headline Berita Ekonomi Beberapa Bulan Belakangan (Sumber: Pengamatan Penulis)

 

Krisis Kepercayaan: Ketika Publik Tak Lagi Bisa Membedakan Fakta dan Propaganda

Namun, sesaat sesudah kita menyadari bahwa media sangat sibuk dalam memainkan kontestasi geopolitik ini, muncul satu pertanyaan penting: “Apakah media kini masih berperan sebagai edukator atau justru malah jadi provokator?”

Di atas kertas, media massa disebut punya fungsi edukatif, yakni untuk mendidik publik. Dalam konteks perang dagang itu berarti menguraikan kompleksitas ekonomi global dengan menyajikan analisis yang mendalam.

Media juga seharusnya dapat memberikan pemahaman yang lengkap soal manfaat dan resiko dari setiap kebijakan hubungan bilateral setiap negara. Namun, dalam prakteknya justru lain lagi.

Alih-alih menciptakan ruang dialog yang sehat dan menjadi sebuah jembatan, media kerap digunakan untuk menyulut konflik, membangkitkan rasa kebencian, mempersempit rasa nasionalisme, dan memperkuat polarisasi.

Di Amerika, media konservatif sering menampilkan China sebagai ancaman nyata yang mencuri lapangan kerja dan inovasi teknologi milik mereka. Sementara di China, media nasionalis akan menggambarkan Amerika sebagai negara besar nan kuat (imperial) yang selalu berusaha menghalangi kebangkitan negara berkembang.

Ketika publik terus disuguhi dengan narasi semacam ini, efek jangka panjang yang terjadi sangat berbahaya: Batas patriotisme semakin mengabur. Parahnya lagi, saat berita hanya memenuhi hasrat penguasa, publik mulai kehilangan kemampuan untuk membedakan antara fakta dan propaganda.

Inilah dampak buruk yang lahir dari disfungsi media. Daripada membawa publik pada ruang dialog yang sehat, media justru seakan menciptakan informasi yang cacat-di mana kebencian lebih laku daripada pemahaman, hal yang sensasional tetap diterima walau kadang kurang rasional, dan bias lebih menarik ketimbang keakuratan.

Akibatnya, rasionalitas publik terkikis, kepercayaan terhadap institusi melemah, dan ruang sosial digital dipenuhi oleh hoax, disinformasi, serta sentimen sektarian.

Baca juga: Dampak Perang Israel dan Palestina terhadap Perekonomian Indonesia dan Dunia

Perang dagang AS–China pada akhirnya memang berdampak pada ekonomi. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah dampaknya pada kesehatan wacana publik.

Ketika media digunakan sebagai alat framing sepihak dan agenda politik, masyarakat tak lagi punya pegangan objektif. Demokrasi informasi goyah, dan polarisasi pun menjadi keniscayaan. Maka, jika media terus berjalan di jalur ini, barangkali krisis berikutnya bukan lagi soal tarif, melainkan soal krisis kepercayaan—terhadap informasi itu sendiri.

 

Penulis: Askari Pasha Haqqoni
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran 

 

Referensi

Ha, L., Yang, Y., Ray, R., Matanji, F., Chen, P., Guo, K., & Lyu, N. (2020). How us and chinese media cover the us–china trade conflict: A case study of war and peace journalism practice and the foreign policy equilibrium hypothesis. Negotiation and Conflict Management Research, 14(3), 131–152. https://doi.org/10.1111/ncmr.12186

Matingwina, S. (2020). Media as a Front in the US-China Trade War: A Transnational Comparative Framing Analysis of US and Chinese Newspapers. In American Communication Journal Summer (Vol. 22, Issue 2). http://www.ac-journal.org/

Andrianto, Robertus, and Hadijah Alaydrus. “Warga RI Ramai Borong Emas, Antre Sejak Subuh Hingga Ikut PO.” CNBC Indonesia, cnbcindonesia.com, 17 Apr. 2025, www.cnbcindonesia.com/market/20250417094735-17-626682/warga-ri-ramai-borong-emas-antre-sejak-subuh-hingga-ikut-po. Accessed 27 May 2025.

Conteduca, Francesco Paolo, et al. “Roaring Tariffs: The Global Impact of the 2025 US Trade War.” CEPR, 6 May 2025, cepr.org/voxeu/columns/roaring-tariffs-global-impact-2025-us-trade-war. Accessed 2 June 2025.

杜娟. “Sino-US Mutual Understanding Key to World Peace.” Chinadaily.com.cn, 2024, www.chinadaily.com.cn/a/202404/23/WS66270beea31082fc043c362b.html. Accessed 5 June 2025.

Febrina Ratna Iskana. “Trump Kenakan Tarif Dagang Ke Kanada, Meksiko Dan China Mulai Hari Ini.” Https://Www.idxchannel.com/, www.idxchannel.com, Feb. 2025, www.idxchannel.com/economics/trump-kenakan-tarif-dagang-ke-kanada-meksiko-dan-china-mulai-hari-ini/3. Accessed 27 May 2025.

Ibrahim, Muhamad. “Makin Brutal! Donald Trump Terapkan Tarif Ke China Dari 145 Persen Jadi 245 Persen | Infobanknews.” Infobanknews, 17 Apr. 2025, infobanknews.com/makin-brutal-donald-trump-terapkan-tarif-ke-china-dari-145-persen-jadi-245-persen/. Accessed 23 May 2025.

Perwitasari, Anna Suci. “Harga Emas Tembus Rekor Tertinggi Usai Trump Umumkan Tarif Timbal Balik.” Kontan.co.id, Kontan, 3 Apr. 2025, investasi.kontan.co.id/news/harga-emas-tembus-rekor-tertinggi-usai-trump-umumkan-tarif-timbal-balik. Accessed 27 May 2025.

Pierson, David, et al. “China Tries to Downplay the Trade War’s Effects on Its Economy.” The New York Times, 7 Apr. 2025, www.nytimes.com/2025/04/07/world/asia/china-trade-war-tariffs.html.

Rafie, Barratut Taqiyyah. “Dalam Pidatonya Trump Bilang China Berlaku Curang Terhadap Amerika.” Kontan.co.id, Kontan, 13 Nov. 2019, internasional.kontan.co.id/news/dalam-pidatonya-trump-bilang-china-berlaku-curang-terhadap-amerika. Accessed 27 May 2025.

Richard, Cullen. “Fostering Trade Beats Making War Every Time.” Chinadailyhk, 2022, www.chinadailyhk.com/hk/article/290280. Accessed 9 June 2025.

Suasti Putri Daeli. “US-China Technology Competition: A New Cold War Threat to Global Stability.” Modern Diplomacy, 10 May 2025, moderndiplomacy.eu/2025/05/10/us-china-technology-competition-a-new-cold-war-threat-to-global-stability/. Accessed 3 June 2025.

VOA. “Pemerintahan Biden Umumkan Aturan Baru Ekspor Chip Dan Model AI.” VOA Indonesia, VOA Indonesia | Berita AS, Dunia, Indonesia, Diaspora Indonesia di AS, 13 Jan. 2025, www.voaindonesia.com/a/pemerintahan-biden-umumkan-aturan-baru-ekspor-chip-dan-model-ai/7934878.html. Accessed 27 May 2025.

Wakabayashi, Daisuke, et al. “China’s Soft Spot in Trade War with Trump: Risk of Huge Job Loss.” The New York Times, 27 May 2025, www.nytimes.com/2025/05/27/business/china-unemployment-jobs.html. Accessed 4 June 2025.

Wong, Edward. “Trump Makes a New Push to “Decouple” U.S. From China.” The New York Times, 29 May 2025, www.nytimes.com/2025/05/29/us/politics/trump-china-visas-tariffs.html. Accessed 4 June 2025.

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses