Dunia dihebohkan dengan statement kontroversial seorang tokoh asal Prancis, Emmanuel Macron. Emmanuel Marcon sendiri merupakan kepala negara yang menjabat sebagai Presiden Prancis yang akhir-akhir ini menimbulkan berbagai sorotan media di dunia khususnya umat muslim dunia. Pernyataan Emmanuel Macron yang menyebutkan bahwa dirinya tidak akan mencegah penertiban karikatur yang diniliai menghina Nabi Muhammad saw dengan dalih kebebasan berekspresi, memicu kemarahan masyarakat dunia muslim.
Gelombang protes pun bermunculan di berbagai negara Timur Tengah, tidak terkecuali di negara Indonesia. Macron dianggap telah melukai umat muslim dunia karena pernyataannya atas agama Islam mengatakan bahwa Islam mengalami krisis di seluruh dunia. Selain itu, Macron mendukung penerbitan kartun Nabi Muhammad saw yang memantik disintegrasi bangsa karena tidak ada keobjektifan dalam penertiban kartun Nabi Muhammad saw yang terkesan di-setting oleh negara sekuler yang terkesan mendeskreditkan umat muslim.
Selain itu, wajah maupun bentuk seorang Nabi Muhammad saw, seorang Rasulallah tidak boleh diilustrasikan dalam bentuk lukisan apapun karena beliau adalah seorang Rasulallah yang tidak bisa diketahui oleh umatnya hari ini terkait bagaimana wajah baginda Rasul yang bercahaya dan dijaga kesuciannya. Itu hanya bisa diketahui melalui dengan mempelajari sifat-sifat Nabi Muhammad saw sebagai refrensi hidup di dunia dan akhirat. Pernyataan Macron tersebut jelas tidak mencontohkan cerminan sebagai seorang pemimpin yang berbudi luhur dan berkarakter bijaksana. Yang ia lakukan malah memantik Islamphobia terutama penduduk Prancis dan negara negara Eropa lainnya.
Kebebasan Berekspresi Tidak Menyakiti Hati
Tentu kita sebagai umat muslim merasa kecewa dengan pernyataan yang dilontarkan oleh pemimpin suatu negara. Rasa sakit hati dan terluka jelas dirasakan sebagai umat muslim yang beriman dan memiliki rasa cinta kepada Nabi Muhammad saw. Ibarat orang tua kita, jika dihina pasti menimbulkan amarah karena merasa telah dilukai oleh seorang penghina tersebut, apalagi sosok baginda Nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan kita sebagai umat muslim dalam mengarungi hidup.
Paling tidak, meskipun ia tidak menyukai dan bahkan membenci seseorang, apalagi Nabi Muhammad saw, ia harus mampu mengontrol tutur kata dan perilaku yang mencerminkan dirinya sebagai pemimpin. Semua dikarenakan hal ini adalah ranah persoalan keyakinan dalam beragama. Pernyataan Emmanuel Macron tersebut ada setelah seorang guru Prancis bernama Samuel Paty dipenggal kepalanya setelah menunjukkan kartun Nabi Muhammad saw dari majalah Charlie Hebdo kepada para muridnya di kelas. Insiden ini terjadi pada Jum’at sore (16/10/2020).
Semua kekerasan memang harus ditolak. Namun, posisikan masalah pada tempatnya merupakan ruang aturan yang diikat oleh manusia di mana pun ia berada, apalagi di negara hukum. Emmanuel Macron sudah menggeneralisir segala perbuatan pada kelompok tertentu. Mengutip perkataan Ustad Adi Hidayat, bagi umat Islam, “menghina Rasulullah, menampilkan dengan tampilan buruk, dan sejenisnya merupakan kekerasan yang melukai hati umat Islam.”
Karenanya, kebebasan tidak mutlak, dan kemerdekaan manusia dibatasi oleh orang lain. Ibarat satu kampus ada mahasiswa bermasalah, sebutlah seperti pencuri, maka apakah semua mahasiswa yang terdaftar di kampus tersebut adalah pencuri? Jelas tidak, karena itu hanyalah oknum yang terkadang pula ada yang mengatasnamakan agama. Apalagi dengan dalih kebebasan berekspresi yang sangat jelas jauh dari kata objektif dalam mengilustrasikan Nabi Muhammad saw. Untuk itulah, adili dengan ketentuan hukum yang berlaku, bukan dipukul rata.
Respon dari Berbagai Pihak
Presiden Joko Widodo pun mengecam keras pernyataan Emmanuel Macron yang dinilai telah menghina umat Islam seperti yang dilansir oleh detik.news. Lalu, bagaimana sikap kita sebagai umat muslim dalam melihat maupun mendengarkan ucapan Presiden Prancis Emmanuel Macron? Apakah kita perlu memaafkan dengan membiarkan dan berdiam diri melihat Nabi Muhammad saw dihina?
Pertama, kata “memaafkan” harus ditelusuri konteksnya. Jika konteks pribadi atau kepentingan dunia, Islam mewajibkan umatnya untuk saling memaafkan. Namun, jika konteks agama ceritanya akan berbeda. Islam memang mengajarkan untuk umatnya saling memaafkan karena perbuatan saling memaafkan merupakan perbuatan yang mulia. Namun, apakah nabi tidak pernah marah seperti jika agamanya dihina?
Dalam riwayat Imam Muslim, Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, At-Thabrani dijelaskan bahwa “Rasulullah saw tidak marah disebabkan urusan duniawi, tetapi apabila kebenaran (agama) itu didustakan dan ditentang, beliau akan marah tanpa seorang pun yang bisa tegak di hadapan kemarahan beliau, sehingga beliau memenangkan kebenaran itu baginya.” Hadist tersebut mengilustrasikan bahwa sesabar-sabarnya nabi akan marah apabila agama Islam sebagai kebenaran ajaran Allah didustakan, dinodai atau ditentang.
Dalam hal ini, jelas akan muncul amarah dari kita sebagai umat Nabi Muhammad saw yang merupakan manusia biasa apabila tahu Nabi Muhammad saw dihina, seperti yang dilontarkan oleh Emmanuel Macron. Amarah tersebut dapat dikatakan merupakan bagian bentuk reflek alam sadar kecintaan kita kepada Nabi Muhammad saw.
Seseorang yang mencintai nabi pasti tidak akan rela dan membiarkan orang lain menghina orang yang dicintai. Apalagi bagi penulis sebagai warga umat Islam, katakanlah bukan seorang nabi namun hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki kapasitas kekuatan besar untuk membalas hinaan tersebut kepada Emmanuel Macron. Cara yang bisa dilakukan bisa jadi dengan melalukan upaya yang bisa merugikan presiden Prancis seperti upaya pemboikotan produk asal Prancis yang bisa dilakukan di negara kita.
Efek Pemboikotan terhadap Laju Ekonomi
Pemboikotan merupakan bagian terkecil upaya kita yang bisa mengekspresikan rasa kecewa terhadap Emmanuel Macron. Pemboikotan yang dilakukan merupakan suatu upaya untuk mematikan produk Prancis yang tujuannya untuk menyadarkan presiden tersebut agar menarik ucapannya dan meminta maaf terhadap umat Islam. Adanya pemboikotan setidaknya memberikan tekanan terhadap Prancis khususnya Kedubes (Kedutaan Besar) Prancis yang ada di Indonesia karena salah satu dampaknya adalah akan menganggu kestabilan laju ekonomi di Prancis.
Melansir lingkarmadiun.pikiran-rakyat.com, saham Prancis mengalami kerugian 4 hari berturut-turut akibat pemboikotan yang dilakukan. Indeks CAC 40 di Bursa Efek Paris pun menyusut 0,03 persen atau 1,45 poin menjadi 4.569,67 poin pada perdagangan Jumat (30/10). Indeks CAC 40 anjlok 3,37 persen atau 159,54 poin menjadi 4.571,12 poin pada Rabu (28/10), pasca turun 1,77 persen atau 85,46 poin menjadi 4.730,66 poin pada Selasa (27/10), dan jatuh 1,90 persen atau 93,52 poin menjadi 4.816,12 poin pada Senin (26/10).
Bahkan mengutip azhar.eg, untuk menghindari risiko tersendatnya bursa saham, Duta Besar Prancis meminta kepada Syaikh Al-Azhar Syaikh Ahmad Thayib untuk dapat membantu keterpurukan Prancis akan gelombang pemboikotan produk Prancis. Namun, upaya negosiasi tersebut gagal. “Kami tidak akan menerima negosiasi terkait kasus penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan untuk Marcon harus segera meminta maaf,” balas Syaikh Al-Azhar Syaikh Ahmad Thayib dikutip pada Jumat (30/10).
Sikap Kita sebagai Muslim Indonesia
Senada juga dengan imbauan yang dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang mendukung pemboikotan dan mengimbau kepada umat Islam agar memboikot segala produk Prancis di Indonesia. Penulis berharap apabila pemboikotan dilakukan sifatnya tidak kabur melainkan permanen hingga presiden Prancis menyatakan permintaan maaf terhadap umat Islam serta menarik dukungannya dan membatalkan penerbitan ulang karikatur Nabi Muhammad saw yang akan diterbitkan oleh majalah Satir Prancis, Charlie Hebdo.
Alasannya tentu karena ini merupakan perbuatan buruk yang ditunjukan oleh pemimpin kepala negara yang phobia terhadap Islam. Jika dibiarkan maka potensi besar Islamphobia semakin meningkat karena legalnya majalah yang menerbitkan ulang karikatur nabi akan menjadi konsumsi publik yang jelas akan ahistoris, tidak objektif, dan menodai kesucian agama yang diyakini bagi pemeluknya.
Meskipun demikian, bagi umat muslim diharapkan untuk tidak melalukan arogansi yang dapat memecah belah umat apalagi merusak falisitas umum. Hal ini disebabkan belakangan ini umat muslim maupun warga Indonesia juga masih dihadapkan dalam mengawal berbagai persoalan, salah satunya kasus omnibus law sehingga segala sesuatu yang terjadi di lapangan nantinya bisa dialihkan dengan isu tertentu yang akan tetap menjadi incaran kelompok tertentu. Tetap fokus dan satu komando berkomitmen sebagai agent of control di negara demokrasi ini.
Hanafi
Mahasiswa IAIN Madura
Editor: Sharfina Alya Dianti