Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) selama ini sering kali dipandang sebelah mata.
Ia dianggap sebagai mata pelajaran hafalan yang membosankan, penuh dengan pasal-pasal UUD 1945, nama lembaga negara, atau definisi formal tentang demokrasi.
Di banyak ruang kelas, siswa lebih sibuk mencatat dan menghafal daripada memahami atau berpikir kritis.
Padahal, jika kita lihat tujuan awalnya, PKn bukan sekadar tempat menjejalkan informasi negara.
Ia dimaksudkan sebagai wahana pembentukan karakter membentuk manusia Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya, peduli terhadap lingkungan sosialnya, dan aktif mengambil bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, pendekatan yang digunakan selama ini masih cenderung satu arah.
Guru berbicara, siswa mendengarkan. Murid diminta menyetujui, bukan mempertanyakan.
Wawasan kebangsaan menjadi slogan kosong jika tak disertai ruang dialog dan refleksi.
Inilah mengapa, tak jarang lulusan yang mendapat nilai tinggi dalam PKn justru gagap ketika dihadapkan pada realitas, seperti korupsi, intoleransi, atau ketimpangan.
Di tengah krisis karakter yang banyak disorot akhir-akhir ini maraknya ujaran kebencian, menurunnya rasa empati, budaya instan,seharusnya PKn tampil sebagai penyeimbang.
Namun, peran ini tak akan efektif jika pendekatannya tidak berubah. Revitalisasi PKn bukan soal ganti kurikulum semata, tetapi juga tentang perubahan pola pikir dan metode pengajaran.
Pendidikan karakter dalam konteks kewarganegaraan hanya bisa hidup lewat dialog, pemecahan masalah, dan refleksi bersama.
Siswa perlu dilibatkan dalam membedah bagaimana nilai-nilai Pancasila dijalankan atau justru dilanggar dalam keseharian mereka.
Daripada sekadar menghafal bunyi sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” akan lebih bermakna jika siswa diajak merenung dan berpikir kritis tentang apa arti keadilan dan keberadaban saat menghadapi perundungan di sekolah atau melihat diskriminasi di media sosial? Apakah diam itu adil? Apakah nyinyir itu beradab?
Dalam hal ini, peran guru sangat vital. Mereka bukan sekadar penyampai materi, tetapi juga pendamping berpikir dan pengarah moral.
Guru yang ideal bukan yang menuntut hafalan sempurna, melainkan yang mengajak siswa bertanya dan menemukan makna: apa artinya menjadi warga negara yang bertanggung jawab? Bagaimana saya bisa bersikap saat melihat ketidakadilan, bahkan dalam hal-hal kecil?
Pendidikan Kewarganegaraan harus kembali pada tujuannya yang esensial: membentuk manusia yang berpikir, berperasaan, dan bertindak berdasarkan nilai.
Ia harus masuk ke hati, bukan hanya kepala. Ia harus membangunkan kesadaran, bukan sekadar mencetak angka di rapor.
Negara yang tangguh tidak dibangun oleh sekadar warga yang hafal teori, tapi oleh mereka yang mampu menganalisis, mengambil sikap, dan bertindak bijak.
Yang tahu kapan harus tunduk, kapan harus mengkritik. Yang tidak hanya paham konsep demokrasi, tetapi juga menjalankannya dalam keseharian.
Karena itu, revitalisasi PKn adalah pekerjaan rumah kolektif, bagi guru, keluarga, pembuat kebijakan, dan tentu saja kita semua sebagai generasi penerus.
Jika dijalankan dengan benar, PKn bisa menjadi pelajaran yang paling membekas. Bukan karena banyaknya materi, tapi karena besarnya peran dalam membentuk karakter dan nurani bangsa.
Penulis:
1. Alfiana Nur Faizah
2. Salsabilla Putri Zahradini
Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter Gigi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu: Drs. Priyono, M.Si.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News