Penghapusan Ujian Nasional (UN) dari sistem pendidikan Indonesia menandai titik balik besar dalam cara kita menilai dan mengevaluasi siswa.
Kebijakan ini mendapat sambutan beragam, dari mereka yang menyambutnya dengan suka cita hingga yang mempertanyakan efektivitas sistem pengganti.
Di tengah perubahan ini, muncul satu pertanyaan penting: tanpa UN, apakah pendidikan kita masih memiliki arah yang jelas?
Ujian Nasional: Cermin Standar Pendidikan
Selama bertahun-tahun, Ujian Nasional menjadi simbol dari sebuah sistem yang mencoba menyeragamkan penilaian siswa di seluruh Indonesia.
UN bukan sekadar ujian akhir, melainkan alat yang digunakan untuk memetakan kualitas pendidikan di berbagai daerah dan sekolah. Meskipun pelaksanaannya tak sempurna, UN menawarkan satu hal penting: standar nasional yang bisa dijadikan tolok ukur.
Dalam konteks negara dengan ketimpangan pendidikan seperti Indonesia, UN berfungsi sebagai alat untuk mengukur sejauh mana kualitas pembelajaran di daerah tertinggal bisa menyamai daerah yang lebih maju.
Tanpa instrumen seperti ini, sulit untuk menilai apakah ada kemajuan atau justru kemunduran dalam pemerataan pendidikan.
Namun, keberadaan UN juga menimbulkan sejumlah persoalan. Sistem satu kali ujian yang menentukan kelulusan dinilai tidak adil, apalagi jika melihat beragam latar belakang sosial, ekonomi, hingga kualitas fasilitas pendidikan yang dimiliki tiap siswa.
Tekanan yang dihadapi siswa, guru, dan bahkan orang tua menjelang UN menjadi momok tersendiri. Lebih dari sekadar evaluasi, UN seringkali berubah menjadi beban psikologis.
Alasan Penghapusan dan Harapan Baru
Dalam rangka merombak sistem pendidikan agar lebih manusiawi dan berpihak pada siswa, pemerintah memutuskan untuk menghapus UN pada tahun 2021.
Sebagai gantinya, hadir Asesmen Nasional (AN), yang bertujuan untuk menilai kualitas satuan pendidikan, bukan individu siswa. Fokus AN bukan pada hafalan, tetapi pada kompetensi literasi, numerasi, dan karakter.
Secara teoritis, pergeseran dari UN ke AN adalah langkah maju. Ini mencerminkan kesadaran bahwa pendidikan bukan sekadar tentang angka, tapi tentang kemampuan berpikir kritis, bernalar, dan bersikap. Namun, transisi ini tidak sepenuhnya mulus. Banyak sekolah yang belum memahami secara menyeluruh apa itu AN, bagaimana menggunakannya, dan apa dampaknya terhadap pembelajaran.
Di sisi lain, penghapusan UN memunculkan celah dalam hal standarisasi. Tanpa penilaian yang seragam, bagaimana kita bisa membandingkan mutu pendidikan antar sekolah atau antar daerah? Bagaimana memastikan bahwa siswa dari Sabang hingga Merauke mendapat kualitas pendidikan yang sama?
Ketiadaan UN: Kebebasan atau Kekosongan?
Salah satu argumen yang muncul pasca penghapusan UN adalah kekhawatiran hilangnya arah dalam pendidikan nasional. UN, dengan segala kekurangannya, pernah menjadi kompas yang menunjukkan kemana tujuan akhir pembelajaran. Sekarang, dengan berbagai metode evaluasi yang berbeda di tiap sekolah, kita berisiko kehilangan gambaran besar pendidikan Indonesia secara nasional.
Kebijakan desentralisasi penilaian tentu memberi ruang lebih besar bagi sekolah untuk menyesuaikan evaluasi dengan kondisi dan kebutuhan siswanya. Namun, tanpa panduan yang kuat, otonomi ini bisa berubah menjadi disorientasi. Sekolah mungkin saja menetapkan standar rendah agar siswanya “tampak” berhasil, sementara kualitas aslinya tidak terpantau.
Lebih dari itu, masyarakat juga kebingungan. Dahulu, UN menjadi tolok ukur yang dikenal publik: nilai UN menjadi referensi orang tua saat memilih sekolah, acuan siswa dalam menilai pencapaian belajar mereka, dan indikator pemerintah dalam merancang kebijakan. Kini, dengan tidak adanya UN, masyarakat kehilangan pegangan yang bisa dipercaya secara luas.
Baca juga: Rendahnya Tingkat Pendidikan di Indonesia
Evaluasi: Antara Nilai dan Karakter
Kita perlu mengakui bahwa mengevaluasi siswa tidak bisa semata-mata berdasarkan hasil ujian akhir. Pendidikan harus mencakup dimensi yang lebih luas: karakter, keterampilan sosial, kemampuan menyelesaikan masalah, dan kreativitas. Namun, absennya UN tidak secara otomatis menjamin bahwa penilaian karakter akan berjalan lebih baik.
Sebaliknya, jika tidak disertai dengan sistem yang jelas, pengawasan yang ketat, dan pelatihan guru yang memadai, maka penilaian alternatif pun bisa menjadi bias, tidak objektif, atau bahkan manipulatif. Kita tidak bisa mengandalkan “penilaian autentik” jika kapasitas guru untuk menilai secara adil dan menyeluruh belum dibangun dengan kokoh.
Asesmen Nasional memang berupaya menjawab tantangan ini. Namun sejauh ini, pemahaman mengenai AN masih rendah di kalangan guru maupun siswa. AN belum menjadi wacana publik seperti UN dulu. Hal ini menimbulkan kesan bahwa saat ini kita sedang berada di masa transisi yang belum menemukan bentuk idealnya.
Pembelajaran dari Negara Lain
Dalam melihat masa depan pendidikan tanpa Ujian Nasional, kita bisa belajar dari negara-negara lain yang telah lebih dahulu meninggalkan sistem ujian berskala nasional. Finlandia, misalnya, tidak memiliki ujian nasional yang menentukan kelulusan siswa hingga jenjang pendidikan tinggi. Sebaliknya, mereka menekankan pada pembelajaran berbasis proyek, pengembangan karakter, serta pelatihan guru yang intensif. Namun, keberhasilan sistem seperti ini tidak datang begitu saja. Ia lahir dari sistem yang terkoordinasi, kesadaran kolektif terhadap pentingnya pendidikan, serta dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa penghapusan UN di Indonesia bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari proses panjang reformasi pendidikan. Kita tidak bisa hanya menghapus tanpa menyiapkan pengganti yang matang. Tanpa fondasi kuat dalam hal kurikulum, pelatihan guru, serta sistem asesmen yang jelas dan terukur, pendidikan kita akan berjalan tanpa arah yang pasti.
Wacana Kembali diadakannya Ujian Nasional
Polemik mengenai kembalinya Ujian Nasional (UN) di Indonesia telah menjadi topik hangat di kalangan pendidikan dan masyarakat. Setiap pihak memiliki pandangan dan argumennya masing-masing tentang apakah UN sebaiknya diadakan kembali atau tidak. Berikut adalah beberapa poin yang sering dibahas dalam wacana ini:
Pro Kembalinya Ujian Nasional
- Standar Evaluasi: UN dianggap sebagai alat untuk mengukur kompetensi dan pengetahuan siswa secara merata di seluruh Indonesia. Ini dapat membantu menghasilkan data yang lebih akurat mengenai kualitas pendidikan nasional.
- Mengenali Kelemahan Sistem Pendidikan: Dengan adanya UN, pemerintah dapat mengidentifikasi daerah atau sekolah yang membutuhkan perhatian khusus dalam perbaikan kualitas pendidikan.
- Mempersiapkan Siswa untuk Tingkat Selanjutnya: UN bisa berfungsi sebagai tolak ukur bagi siswa untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk perguruan tinggi atau tantangan pendidikan lainnya.
Kontra Kembalinya Ujian Nasional
- Tekanan Psikologis: Banyak siswa merasa tertekan dengan adanya ujian yang dianggap sangat menentukan masa depan mereka. Hal ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional siswa.
- Kualitas Pengajaran: Ada kekhawatiran bahwa fokus pada UN dapat mengarah pada pembelajaran yang hanya berorientasi pada ujian, mengabaikan aspek penting lainnya dalam pendidikan, seperti keterampilan kritis dan kreativitas.
- Ketidakadilan Akses Pendidikan: Ada pandangan bahwa tidak semua siswa mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya pendidikan, sehingga hasil UN bisa mencerminkan kesenjangan pendidikan yang lebih dalam daripada kemampuan siswa itu sendiri.
Apa Arah Selanjutnya?
Jika kita ingin pendidikan Indonesia tidak kehilangan arah pasca penghapusan UN, maka beberapa langkah strategis perlu diambil:
1. Sosialisasi dan pelatihan Asesmen Nasional secara massif
Guru dan sekolah harus memahami filosofi dan teknis pelaksanaan AN agar bisa mengintegrasikannya dalam proses belajar mengajar secara bermakna.
2. Membangun sistem evaluasi yang beragam, tapi terstandarisasi
Otonomi penilaian bisa tetap dijalankan, namun perlu ada kerangka kerja nasional yang memastikan bahwa hasilnya bisa dibandingkan secara adil.
3. Menguatkan peran guru sebagai evaluator utama
Penilaian berbasis proses dan karakter memerlukan guru yang terlatih untuk mengenali perkembangan siswa secara holistik, bukan hanya dari aspek akademik.
4. Transparansi dan akuntabilitas hasil penilaian
Data hasil AN atau bentuk penilaian lain harus bisa diakses dan dipahami oleh masyarakat agar mereka tetap bisa memantau dan mengevaluasi mutu sekolah.
Baca juga: Pendidikan Berbasis Keterampilan sebagai Jawaban Tantangan Pendidikan Abad 21
Penutup: Mencari Kompas Baru
Menghapus Ujian Nasional bukanlah sebuah kesalahan, tetapi juga bukan solusi final. Keputusan ini baru menjadi langkah yang tepat jika diiringi dengan sistem penilaian yang lebih adil, inklusif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kita tidak bisa berjalan tanpa arah hanya karena merasa bebas dari beban ujian nasional.
Kini, tugas besar pendidikan Indonesia adalah menemukan kompas baru: cara mengevaluasi yang tidak hanya adil dan merata, tetapi juga membentuk manusia yang utuh. Tanpa itu, kita hanya akan berpindah dari satu sistem ke sistem lain, tanpa benar-benar bergerak ke arah yang lebih baik.
Pendidikan adalah proses jangka panjang yang tidak bisa dibentuk hanya oleh satu kebijakan. Penghapusan Ujian Nasional memberi kita kesempatan untuk menyusun ulang sistem evaluasi yang lebih manusiawi dan relevan dengan kebutuhan zaman. Namun, kebebasan dari UN harus dibarengi dengan tanggung jawab membangun sistem baru yang lebih baik. Tanpa itu, pendidikan kita tidak hanya kehilangan arah, tapi juga kehilangan makna.
Penulis :
- Achmad Ghiyats Setiawan
- Saepul Anwar
Mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam, Universitas Pendidikan Indonesia
Editor: Rahmat Al Kafi