Terbawa Arus dalam Tren Boikot, Apakah Media Sosial Pengaruh yang Buruk?

Tren Boikot
Tren Boikot (Sumber: jogjaaja.com)

Seiring berkembangnya teknologi dan digitalisasi di dunia ini, media sosial menjadi salah satu sarana yang paling sering digunakan oleh masyarakat. Media sosial adalah salah satu platform digital yang memudahkan penggunanya untuk berbagi, dan berinteraksi melalui konten-konten secara online.

Dewasa ini, media sosial menjadi suatu hal yang tidak bisa lepas dari manusia. Media sosial menyediakan ruang komunikasi, interaksi, dan informasi antara penggunanya sehingga tidak heran jika saat ini, manusia tidak bisa lepas dari keberadaan media sosial.

Penggunaan media sosial juga berpengaruh terhadap perilaku masyarakat. Media sosial memang memberi kebebasan bagi setiap penggunanya untuk berpendapat. Namun saat ini, media sosial tidak memiliki “penyaringan” yang kuat terkait dengan konten-konten sensitif yang dapat memicu terjadinya konflik.

Tidak heran jika kita kerap kali kita menemukan beberapa pengguna media sosial yang menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menanamkan kebencian terhadap orang lain. Perbuatan tersebut tentunya melanggar dari esensi terciptanya media sosial.

Bacaan Lainnya

Hal ini terjadi karena media sosial tidak memiliki “batasan” yang tetap dan kuat bagi setiap penggunanya, terutama dalam berpendapat. Dalam fenomena ini, kita dapat melihat bahwa kebebasan untuk menyuarakan pendapat ternyata  juga bisa disalahgunakan.

Sumber: pitutur.id

Salah satu contoh konkret dari fenomena ini yaitu terjadinya aksi pemboikotan produk buatan Israel yang semakin marak dilakukan oleh banyak warga di Indonesia imbas dari konflik Israel dan Palestina yang sudah berlangsung begitu lama.

Akibat dari konflik tersebut, media sosial menjadi ruang bagi para penggunanya untuk berargumen menanggapi fenomena tersebut.

Pada umumnya, warganet menggunakan platform Instagram, Twitter dan Tiktok untuk menyuarakan argumennya. Ketiga aplikasi tersebut memang menjadi media sosial paling sering digunakan oleh warga internet di Indonesia, hingga mendukung rantai penyebaran fenomena boikot.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh detik.com, media sosial yang paling banyak digunakan oleh pengguna internet berusia 16-64 tahun adalah WhatsApp (90,9%), lalu disusul Instagram (85,3%), Facebook (81,6%), TikTok (73,5%), dan Telegram (61,3%).

Sumber: florestimurkab.go.id

Oleh karena itu, media sosial menjadi sarana bagi para netizen Indonesia yang mendukung pihak Palestina untuk menyuarakan pendapatnya terkait apa yang telah dilakukan oleh pihak Israel terhadap pihak Palestina. Kejadian tersebut memicu terjadinya kontroversi oleh beberapa negara di dunia.

Dengan adanya tren boikot ini memberikan dampak negatif terhadap pekerja yang bekerja di perusahaan yang terafiliasi dengan negara Israel. Menurut salah satu narasumber yang diwawancarai oleh laman berita bbc.com, terdapat seorang karyawan yang menceritakan pengalamannya terkait dengan fenomena ini.

Ia menceritakan bahwa jumlah pendapatan tempat kerjanya mengalami defisit sekitar 50% sehingga karyawan yang bekerja di tempat tersebut terpaksa mencari pekerjaan tambahan di tempat lain agar kebutuhan pokoknya tetap terpenuhi. Pasalnya, tidak semua perusahaan internasional yang berafiliasi di Indonesia memiliki hubungan khusus dengan negara Israel karena pemilik perusahaan tersebut adalah seorang yang berkewarganegaraan Indonesia.

Dengan adanya fenomena ini, perlu diketahui relevansi media sosial sebagai sarana penyebaran informasi mengenai boikot dan mengetahui kesadaran para penggunanya tentang fenomena boikot yang mereka sorakkan dalam media sosial. Atau, bisa saja mereka hanya sekedar mengikuti arus tren yang sedang terjadi, tetapi tidak memahami secara mendalam akar permasalahan yang terjadi sehingga dapat mengakibatkan konflik internasional.

Kadangkalan yang dialami oleh netizen-netizen inilah yang menjadi sumber terjadinya provokasi sehingga menimbulkan gesekan dengan pihak yang berlawanan atas eksistensi negara Palestina.

Indonesia termasuk dari salah satu negara dengan jumlah pengguna media sosial terbesar di dunia. Namun, dengan angka yang besar itu ternyata tidak mencerminkan sifat dan karakter yang sesuai dengan etika dalam bermedia sosial.

Tentu, dalam menggunakan media sosial, pasti terdapat kode etik nya tersendiri. Media sosial memang menyediakan ruang lingkup yang bebas bagi para penggunanya. Namun, sangat disayangkan bahwa sampai pada saat ini, masih banyak netizen bersikap tidak dewasa dalam bermedia sosial.

Tentu, hal ini memiliki kaitannya dengan karakter netizen Indonesia yang dikenal sebagai netizen yang paling giat dalam menyuarakan pendapatnya atau kritikannya dalam suatu isu kontroversial yang terunggah di media sosial. Bahkan, beberapa media asing pun menyoroti perlakuan dari warnet Indonesia yang sering membuat kegaduhan atau kontroversi.

Baru saja kita mendengarkan tentang konflik antara negara Israel dan Palestina yang hendak memanas kembali. Bak air dan minyak, Israel dan Palestina terus mengalami konflik sudah sejak lama. Oleh sebab itu, banyak media massa asing yang datang untuk meliput dan memberi kabar tentang keadaan terkini.

Ternyata, berita ini tersebar begitu cepat, khususnya kepada netizen Indonesia. Berita ini merupakan salah satu berita yang paling kontroversial di Indonesia. Maka dari itu, netizen Indonesia juga mengambil aksi terkait dengan fenomena ini yaitu dengan menyerang dan memberikan kritik yang pedas atau bahkan ancaman terhadap pihak oposisi.

Berbagai ujaran kebencian dilontarkan begitu saja. Namun, banyak juga yang melakukan penyerangan dengan akun fake atau akun palsu. Hal ini dilakukan untuk menyamarkan dan memanipulasi identitas diri sang pelaku.

Ketika seorang netizen berkomentar terhadap sebuah postingan lalu diikuti oleh netizen lainnya dan terjadi secara berulang, maka disebut sebagai fenomena bandwagon effect.

Menurut Bischoff dan Egbert (2013), bandwagon effect adalah kecenderungan individu untuk memperoleh gaya, perilaku, atau sikap tertentu karena semua orang melakukannya. Karena semakin banyak orang yang percaya pada sesuatu, maka yang lain pun akan mengikuti, terlepas dari bukti yang mendasari dan sumber permasalahan yang ada.

Bandwagon effect adalah fenomena yang sering terjadi di dalam dunia maya, tak terkecuali bagi netizen Indonesia. Efek ini mengakibatkan orang lain yang menerima informasi tersebut ikut-ikutan dalam berita yang dikirimnya itu tanpa mencari validasinya terlebih dahulu.

Netizen Indonesia terpecah-pecah untuk mengeluarkan ujaran-ujaran kebencian dan provokasi terhadap pihak Israel, khususnya di dalam konten-konten di dalam media sosial. Netizen Indonesia seolah-olah tiada hentinya untuk memberi tekanan terhadap pihak yang dilawannya itu.

Banyak negara lain yang menyoroti perilaku dari netizen Indonesia ini yang tentunya bersifat serius. Serangan yang dilakukan biasanya dengan mengeluarkan ujaran kebencian dan ancaman serius di kolom komentar sebuah konten.

Permasalahannya, tidak semua yang mengikuti “demonstrasi daring” itu mengerti dan paham betul terkait isu yang sedang dibahas itu hingga berujung pada aksi pemboikotan terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan negara Israel, imbas dari konflik berkepanjangan itu.

Kini, netizen Indonesia memiliki stigma tersendiri akibat jejak rekam perilaku kontroversial yang dilakukan oleh warganet. Netizen Indonesia mendapatkan label sebagai netizen paling tidak ramah sedunia.

Berdasarkan laporan dari Digital Civility Index (DCI), netizen Indonesia menempati urutan paling bawah dalam perihal kesopanan. Ini adalah sebuah pencapaian yang tidak bisa dibanggakan, melainkan sangat memalukan. Hal tersebut jelas membuat miris karena pengguna media sosial dari Indonesia tak semuanya berusia dewasa.

Anak berusia dini pun juga sudah bisa mengakses media sosial. Sekali lagi, media sosial tidak memiliki batasan yang tetap dan pasti bagi para penggunannya.

Faktor-faktor penyebab nya yaitu seperti terlalu percaya pada media sosial sehingga tidak memilah-memilih informasi yang ada, fenomena FOMO (Fear Of Missing Out)[1] yang merebak di antara pengguna di media sosial, dan satu pihak yang mendominasi dan menguasai platform tertentu.

[1] Perasaan cemas atau khawatir yang muncul ketika kita ada sesuatu yang menarik atau penting sedang terjadi di sekitar kita, dan kita khawatir jika tidak ikut serta, kita akan kehilangan momen-momen berharga tersebut.

Selain itu, budaya “cancel culture”. Cancel Culture adalah sebuah bentuk ostrakisme[2] modern di mana seseorang dikeluarkan dari lingkaran sosial atau profesional baik secara daring di media sosial, di dunia nyata, atau keduanya ditujukkan bagi mereka yang tidak setuju atau mendukung aksi boikot.

[2] Sebuah sistem pengusiran sementara dari sebuah kota-negara (polis) di Yunani Kuno, khususnya di Athena bagi seseorang yang dianggap mengancam stabilitas atau demokrasi kota.

Kemudian, ada faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya fenomena ini, yaitu adanya “bandwagon  effect”. Bandwagon effect merupakan suatu fenomena psikologis yang membuat seseorang melakukan imitasi terhadap sikap maupun perilaku orang lain tanpa mengetahui validasi nya terlebih dahulu.

Saat ini, banyak warganet asal Indonesia terpengaruh oleh bandwagon effect ini. Terbukti ketika sebagian besar warganet Indonesia pernah menjadi bagian dari bandwagon effect ini.

Dewasa ini, fenomena bandwagon effect atau efek ikut-ikutan kian marak terjadi. Sebagian besar fenomena ikut-ikutan ini dilakukan oleh para remaja yang belum mengetahui fakta dan kebenaran dari suatu berita. Tanpa pemikiran yang matang, seorang remaja akan dengan mudah menangkap apa yang sedang terjadi dan dilakukan oleh banyak orang dianggap sebagai hal.yang wajar.

Padahal, secara pengolahan emosinya, remaja masih terlalu labil mengkondisikannya sehingga menyebabkan remaja akan terus mencoba untuk melakukannya. Dalam artikel ini, salah satu contoh konkretnya yaitu dengan “ikut-ikutan” dalam mengikuti tren boikot yang sedang terjadi tanpa mengetahui akar permasalahan yang ada dari konflik Israel dan Palestina terhadap negara Indonesia.

Media sosial hadir untuk mempermudah kehidupan dan memperbolehkan penggunanya untuk terekspos dengan informasi yang ada di kancah global. Di saat informasi yang menyebar begitu laju dan banyaknya opini menggiring, salah satu tantangan bagi pengguna adalah mereka harus tetap bijak dan memiliki pendirian.

Begitupun dengan konteks menyuarakan masalah yang terjadi di Israel dan Palestina ini, yaitu solidaritas memboikot perusahaan yang mendukung Israel. Aksi boikot dianggap sebagai bentuk simpati kepada korban di Palestina.

Inisiatif para warganet untuk memulai aksi yang menunjukkan kepekaan dan kepedulian terhadap yang berkekurangan merupakan hal yang patut dipuji, namun beberapa dari mereka yang melakukan aksi boikot kurang paham dan sadar atas apa yang mereka lakukan.

Bandwagon effect menjadi pendorong utama tindakan ini, karena rasa tidak ingin tertinggal warganet terhadap suatu kejadian. Untuk menanggulangi masalah ini, pemerintah dan pemangku kebijakan laman media sosial harus turut andil dalam menemukan solusi.

Pihak-pihak ini memiliki kewenangan untuk membatasi kericuhan yang terjadi di media sosial. Pemerintah dapat mengembangkan UU ITE ke ranah yang lebih spesifik serta mengimplementasikannya kepada masyarakat secara konkret.

Lalu, menggunakan sistem pendeteksi untuk akun-akun yang memicu keributan dan mengambil tindakan terhadap akun tersebut. Beberapa platform media sosial sudah menghadirkan banyak himbauan di dalam aplikasi, fitur ini dapat juga dibuat dengan versi pengingat bagi warganet untuk tetap bijak dalam mengeluarkan pendapat ataupun mengikuti sebuah tren yang ada.

Banyaknya berita atau informasi seperti berita ini juga dapat meningkatkan kesadaran mengenai sisi negatif dan positif tren media sosial. Aksi preventif pun harus dilakukan oleh pengguna tersebut sendiri. Etika dan moral serta sikap reflektif bisa menjadi cara utama bagi kita agar bisa bermedia sosial dengan bijak.

Kecanduan media sosial dapat menyebabkan akhir yang buruk yaitu dengan terbawa arus algoritma dan kehilangan prinsip diri. Maka, cara mengatasinya adalah dengan memahami makna penggunaan media sosial yang baik dan benar dan dilanjutkan dengan aksi konkretnya: mencari hobi baru, memperbanyak aktivitas di luar rumah, menyalakan notifikasi pembatasan jam bermain gadget, dan cara-cara baik lainnya.

Sumber: emito.net & EmbedSocial

 

Penulis:

  1. Bonaventura Hugo Hernowo
  2. Revanya Ginting
  3. ⁠Aginta Marannu Pandin

Siswa Kelas XII, SMA Kolese Gonzaga

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Referensi

https://www.bbc.com/indonesia/articles/cqep6rvnlgeo

https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240226153650-37-517653/raja-aplikasi-terbaru-di-ri-ternyata-bukan-whatsapp-instagram

https://data.goodstats.id/statistic/menilik-pengguna-media-sosial-indonesia-2017-2026-xUAlp

https://www.metrotvnews.com/read/bJECa69x-60-penduduk-indonesia-gemar-bermain-medsos

https://www.siloamhospitals.com/en/informasi-siloam/artikel/kecanduan-media-sosial

 

Jurnal:

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/download/29728/24908

https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRMK/article/view/1015

https://repository.um.ac.id/892/1/20.pdf

https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/954-fenomena-media-sosial-netizen-indonesia-dan-bandwagon-effect

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses