Pernahkah terpikir betapa kompleksnya kehidupan mahasiswa zaman sekarang ?. Jawa Tengah, di balik keindahan alamnya, menyimpan cerita kelam.
Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa di Jawa Tengah tidak hanya menciptakan bayangan suram, tetapi juga menyorot dua mata pisau yang seakan-akan menyayat nadi para mahasiswa, yaitu tekanan akademis dan tekanan sosial.
Mahasiswa tak lagi hanya berdiri di atas tuntutan akademis, tetapi juga di bayang-bayangi tuntutan sosial yang mencekik.
Di balik foto-foto kekinian dan postingan di media sosial, terdapat realitas yang menyeramkan. Apa yang sebenarnya terjadi ? Mari menggali apa yang menjadi akar dari tragedi ini.
1. Ekspektasi Akademis
Di era globalisasi, mahasiswa dituntut untuk terus berlomba dalam ranah akademis. Tumpukan tugas, ujian yang tak kunjung usai, dan persaingan ketat menjadi menu sehari-hari bagi para mahasiswa.
Mahasiswa tidak hanya dihadapkan pada text book, tetapi juga pada tekanan untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik.
Menuntut ilmu” tak lagi sekadar memetik pengetahuan, melainkan juga menjalani pertempuran setiap harinya untuk menjaga nilai, mengikuti standar dan ekspektasi akademis.
Hal ini membuat kuis terasa seperti ujian antara hidup dan mati, serta setiap tugas terasa seperti pertandingan. Mahasiswa berusaha untuk tidak tenggelam di tengah arus informasi dan ekspektasi yang membanjiri dari segala arah.
2. Tekanan Sosial di Era Digital
Dunia digital, khususnya media sosial, membuka pintu bagi keterhubungan global tetapi juga menjadi sumber ekspektasi tak realistis.
Tekanan sosial pun menjadi peran utama pada kisah ini. Foto-foto yang sedap dipandang dan pencapaian gemilang orang di media sosial seringkali menjadi jalan menuju jurang perbandingan dan perasaan rendah diri.
FOMO” atau rasa takut ketinggalan tren, menciptakan dorongan untuk selalu terlihat bahagia, sukses, dan bergaya di dunia maya.
Ekspektasi keluarga, teman sebaya, dan masyarakat menambahkan tekanan pada mahasiswa. Harapan untuk tampil sempurna di mata dunia maya menjadi beban berat yang seringkali tak terlihat, tetapi merasuk dalam setiap detik kehidupan mereka.
Mahasiswa harus menjadi multi-talenta, menjaga citra tanpa cela di era di mana satu kesalahan bisa menjadi bahan olokan di dunia maya.
Tak hanya itu, mahasiswa yang merasa terpinggirkan karena prestasinya tak mencolok di media sosial. Rasa tidak diakui dan dihargai membuatnya seringkali terbenam dalam stres hingga depresi.
3. Mengurai Benang Kusut: Solusi dan Upaya Pencegahan
Perguruan tinggi di Jawa Tengah harus menjadi garda terdepan dalam memerangi maraknya kasus bunuh diri ini.
Langkah-langkah kongkrit seperti peningkatan layanan kesehatan mental di kampus, pelatihan kepada mahasiswa untuk mengenali tanda stres, dan pembentukan komunitas dukungan dapat menjadi langkah awal yang efektif.
Pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung kesejahteraan mahasiswa.
Program pendukung psikologis, pelatihan untuk menangani tekanan, dan kampanye kesehatan mental bisa menjadi aksi nyata yang diambil untuk menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi mahasiswa.
4. Membuka Pintu Percakapan: Peran Konseling dan Dukungan Mental
Peningkatan layanan kesehatan mental di kampus, seperti konseling dan dukungan psikologis, dapat menjadi langkah proaktif. Seminar tentang manajemen stres dan kesehatan mental bisa menjadi langkah preventif.
Mengintegrasikan konseling dan dukungan mental di kampus bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan yang mendesak.
Mahasiswa perlu merasa nyaman untuk membicarakan beban yang mereka rasakan tanpa takut dihakimi.
Lingkungan kampus harus mampu menjadi ‘rumah’ yang aman untuk membuka pintu percakapan perihal kesehatan mental.
Program konseling, kelompok dukungan, dan seminar tentang manajemen stres dapat menjadi langkah-langkah yang efektif.
Dengan menciptakan ruang di mana mahasiswa bisa saling mendukung, kita bisa merombak stigma seputar kesehatan mental dan membantu mereka yang merasa terkubur dalam tekanan.
5. Bersama-sama Membangun Support di Lingkungan: Panggilan kepada Perguruan Tinggi, Pemerintah, dan Masyarakat
Mengakhiri maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa bukan hanya tugas perguruan tinggi atau pemerintah saja.
Hal Ini adalah tugas bersama untuk membangun masyarakat yang peduli, kampus yang mendukung, dan lingkungan di mana mahasiswa bisa merasa aman tanpa harus merasa terkubur dalam tekanan.
Maka perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan masyarakat bekerjasama bahu membahu bisa membantu menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan mahasiswa.
Masyarakat juga memiliki andil besar dalam membentuk norma dan menentukan sikap terhadap stigma kesehatan mental.
Kampanye untuk meningkatkan kesadaran di masyarakat, pendidikan tentang stres dan tekanan mental, serta upaya kolektif untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dapat menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa.
6. Menciptakan Ruang Bertumbuh Tanpa Harus Terkubur dalam Tekanan
Terkubur dalam tekanan bukanlah takdir yang harus diterima mahasiswa. Ini adalah tantangan yang dapat diatasi jika semua berusaha menciptakan lingkungan di mana pertumbuhan dapat dicapai tanpa harus membayar harga yang terlalu mahal (nyawa).
Dengan memahami dan mengapresiasi perjuangan mahasiswa, kita bisa membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
Ini adalah panggilan kepada semua pihak untuk memahami bahwa di balik prestasi setiap mahasiswa selalu tersimpan cerita yang tak terlihat dipermukaan, tetapi patut untuk diperhatikan.
Terkubur dalam tekanan menjadi urgensi dan membutuhkan respon serta perubahan yang tanggap dari berbagai pihak.
Mari bersama-sama membangun masa depan di mana mahasiswa di Jawa Tengah dan di seluruh dunia dapat berkembang tanpa harus terkubur dalam tekanan.
Penulis: Vania Rahma Putri
Mahasiswa Hukum, Universitas Diponegoro
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News