Abstrak
Ujaran kebencian di media sosial menjadi salah satu tantangan serius terhadap upaya memperkuat nilai persatuan Indonesia yang terkandung dalam sila ketiga Pancasila. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis fenomena ujaran kebencian di media sosial dari perspektif Pancasila, khususnya terkait nilai persatuan Indonesia.
Penelitian ini menjawab beberapa pertanyaan utama, yaitu: bagaimana ujaran kebencian di media sosial menjadi tantangan terhadap nilai persatuan Indonesia, faktor-faktor yang menyebabkan maraknya ujaran kebencian, dampak ujaran kebencian terhadap nilai-nilai Pancasila dan persatuan Indonesia, serta langkah strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan platform media sosial dalam mencegah fenomena ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah pengisian kuesioner melalui Google Form yang disebarkan kepada masyarakat untuk mengumpulkan data persepsi dan pandangan terhadap fenomena ini. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan penegakan hukum, peningkatan literasi digital, penguatan pendidikan nilai-nilai Pancasila, dan pengawasan lebih ketat oleh platform media sosial.
Artikel ini menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan penyedia platform dalam menciptakan ruang digital yang mendukung persatuan Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Kata Kunci: ujaran kebencian, media sosial, persatuan Indonesia, Pancasila, literasi digital.
Abstract
Hate speech on social media is one of the serious challenges to efforts to strengthen the value of Indonesian unity contained in the third principle of Pancasila. This article aims to analyze the phenomenon of hate speech on social media from the perspective of Pancasila, especially related to the value of Indonesian unity.
This research answers several main questions, namely: how hate speech on social media is a challenge to the value of Indonesian unity, the factors that cause the rise of hate speech, the impact of hate speech on the values of Pancasila and Indonesian unity, and strategic steps that can be taken by the government, society, and social media platforms in preventing this phenomenon.
The research method used is filling out a questionnaire through Google Forms distributed to the public to collect data on perceptions and views on this phenomenon. To overcome this challenge, a holistic approach is needed involving law enforcement, improving digital literacy, strengthening Pancasila values education, and stricter supervision by social media platforms.
This article emphasizes the importance of synergy between the government, society, and platform providers in creating a digital space that supports Indonesian unity in accordance with the values of Pancasila.
Keywords: hate speech, social media, Indonesian unity, Pancasila, digital literacy.
Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia, sebagai negara yang terletak di persimpangan antara Asia dan Australia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 270 juta penduduk, adalah bangsa yang kaya akan keberagaman. Keberagaman tersebut tidak hanya mencakup suku, agama, budaya, dan bahasa, tetapi juga pandangan hidup, ideologi politik, dan pola sosial masyarakat.
Keberagaman ini merupakan kekayaan yang perlu dikelola dengan bijaksana agar dapat menjadi sumber kekuatan, bukan sumber perpecahan. Dalam konteks tersebut, Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia memegang peranan yang sangat vital dalam menjaga persatuan bangsa.
Secara khusus, Sila Ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia,” menegaskan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, persatuan adalah nilai yang harus dijaga, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia.
Sila ini menyuarakan pentingnya membangun kesatuan dalam keberagaman, mengingat Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan yang memiliki budaya, bahasa, dan tradisi yang berbeda-beda. Tanpa persatuan yang kokoh, negara ini akan menghadapi berbagai tantangan besar dalam membangun kedamaian, stabilitas sosial, dan kemajuan yang merata.
Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, khususnya di bidang media sosial, tantangan terhadap persatuan bangsa semakin besar. Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai platform untuk mempermudah komunikasi dan berbagi informasi antar individu, kini telah berkembang menjadi arena bagi banyak permasalahan sosial, salah satunya adalah munculnya ujaran kebencian.
Ujaran kebencian di media sosial merujuk pada ungkapan atau pernyataan yang menyebarkan kebencian, permusuhan, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan agama, ras, suku, orientasi politik, dan identitas lainnya. Keberadaan ujaran kebencian ini menjadi ancaman serius terhadap nilai-nilai Pancasila, khususnya terhadap sila ketiga yang mengusung persatuan Indonesia.
Baca Juga: Penggunaan Sosial Media yang Mempengaruhi Para Remaja dan Perkembangan Bisnis
Maraknya ujaran kebencian di media sosial menjadi fenomena yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan karakteristik media sosial yang memungkinkan informasi disebarkan dengan cepat dan tanpa batasan geografis, ujaran kebencian dapat dengan mudah menyebar dan memengaruhi opini publik.
Masyarakat yang semakin terhubung melalui dunia maya sering kali tidak menyadari dampak negatif yang ditimbulkan oleh ujaran kebencian. Sering kali, ujaran kebencian ini disertai dengan provokasi yang membangun kebencian terhadap kelompok tertentu, memperburuk polarisasi sosial, dan menghasut terjadinya konflik antarkelompok.
Lebih jauh lagi, ujaran kebencian juga kerap kali menyesatkan informasi yang berpotensi merusak integritas sosial dan menambah ketegangan antar masyarakat.
Fenomena ujaran kebencian di media sosial di Indonesia menjadi sangat kompleks karena beberapa faktor. Pertama, tingkat literasi digital yang masih rendah di sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil, membuat sebagian orang tidak dapat membedakan antara informasi yang benar dengan informasi yang salah, termasuk ujaran kebencian.
Kedua, adanya kekosongan pengawasan yang ketat dari pemerintah dan platform media sosial, yang sering kali tidak cukup tegas dalam menanggulangi konten yang mengandung kebencian. Meskipun beberapa upaya telah dilakukan untuk memoderasi konten yang berpotensi melanggar aturan, implementasi regulasi yang tidak konsisten dan ketidakmampuan platform media sosial dalam mengawasi segala jenis konten secara menyeluruh membuat ujaran kebencian tetap mudah muncul.
Ketiga, kurangnya pemahaman mengenai nilai-nilai Pancasila, terutama sila ketiga, di kalangan masyarakat digital turut memperburuk keadaan. Banyak individu yang terjebak dalam arus informasi yang memprovokasi kebencian dan rasa tidak percaya antar kelompok, tanpa memperhitungkan konsekuensi dari tindakan mereka.
Dampak dari ujaran kebencian ini sangat besar dan berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang telah dibangun dalam kerangka kebhinekaan. Secara langsung, ujaran kebencian dapat memperburuk hubungan antar individu dan kelompok sosial, memecah belah persatuan bangsa, dan merusak rasa toleransi.
Toleransi antar kelompok yang berbeda agama, suku, atau golongan menjadi sangat penting dalam menjaga ketentraman dan keharmonisan dalam masyarakat Indonesia. Ujaran kebencian yang bertebaran di media sosial sering kali menggiring masyarakat pada ketakutan dan kecurigaan terhadap kelompok lain, sehingga nilai-nilai persatuan yang selama ini dijunjung tinggi dalam Pancasila mulai tergerus.
Lebih jauh lagi, ujaran kebencian dapat mempengaruhi stabilitas politik dan sosial di Indonesia. Isu-isu sensitif, seperti agama, ras, dan suku, seringkali digunakan sebagai alat untuk menyebarkan kebencian dalam upaya mencapai tujuan politik tertentu.
Ujaran kebencian ini menjadi sarana bagi pihak-pihak tertentu untuk memperburuk citra kelompok lawan atau untuk menghasut konflik antargolongan yang bisa mengarah pada ketidakstabilan sosial. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa ujaran kebencian yang ada di media sosial bukan sekadar masalah individu, melainkan masalah yang lebih besar yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Menghadapi tantangan ini, langkah-langkah preventif dan korektif yang melibatkan berbagai pihak sangat diperlukan. Pemerintah harus memperkuat regulasi yang mengatur penggunaan media sosial, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap penyebaran ujaran kebencian.
Di sisi lain, platform media sosial perlu memperketat kebijakan moderasi konten mereka untuk mencegah penyebaran konten yang mengandung kebencian. Selain itu, masyarakat juga harus didorong untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial dan memahami dampak dari setiap kata dan tindakan yang mereka sebarkan.
Pendidikan tentang literasi digital, serta pemahaman yang lebih dalam mengenai nilai-nilai Pancasila, terutama mengenai pentingnya persatuan dalam keberagaman, perlu diterapkan lebih luas agar setiap individu dapat berkontribusi dalam menjaga keharmonisan sosial.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis lebih mendalam bagaimana ujaran kebencian di media sosial menjadi tantangan bagi sila persatuan Indonesia dalam Pancasila.
Pembahasan akan difokuskan pada faktor-faktor yang menyebabkan maraknya ujaran kebencian, dampaknya terhadap persatuan bangsa, serta langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini, dengan tetap mengedepankan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam menjaga persatuan Indonesia.
Baca Juga: Netizen sebagai Pelaku Konflik? Dampak Sosial Media dan Ancaman terhadap Prinsip Etika Kemanusiaan
Rumusan Masalah
- Bagaimana ujaran kebencian di media sosial menjadi tantangan terhadap nilai persatuan Indonesia dalam perspektif pancasila?
- Apa faktor-faktor yang menyebabkan maraknya ujaran kebencian di media sosial di Indonesia?
- Bagaimana dampak ujaran kebencian terhadap nilai-nilai pancasila dan persatuan Indonesia?
- Apa langkah strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan platform media sosial dalam mencegah ujaran kebencian sesuai dengan nilai pancasila?
Tujuan Penulisan
- Mengetahui tantangan ujaran kebencian di media sosial terhadap nilai persatuan Indonesia dalam perspektif pancasila.
- Mengetahui apa saja faktor-faktor yang menyebabkan maraknya ujaran kebencian di media sosial di Indonesia.
- Mengetahui dampak dari ujaran kebencian terhadap nilai-nilai pancasila dan persatuan Indonesia.
- Mengetahui Langkah strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan platform media sosial dalam mencegah ujaran kebencian sesuai dengan nilai pancasila.
Metodologi
Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui pengisian kuesioner yang disebarkan menggunakan Google Forms (Gform). Pendekatan ini dipilih karena tujuan penelitian adalah untuk memahami fenomena ujaran kebencian di media sosial dan dampaknya terhadap nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia.
Kuesioner ini dirancang untuk mengumpulkan data dari responden mengenai persepsi, pemahaman, dan pengalaman mereka terkait ujaran kebencian yang muncul di media sosial serta dampaknya terhadap hubungan sosial dan kesatuan bangsa.
Desain Penelitian
Penelitian ini dirancang untuk menggali informasi terkait dengan dampak ujaran kebencian di media sosial terhadap nilai persatuan Indonesia dalam Pancasila. Kuesioner yang digunakan terdiri dari serangkaian pertanyaan yang terbagi dalam beberapa bagian, yaitu:
- Bagian Demografi: Mengumpulkan data dasar responden seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, dan frekuensi penggunaan media sosial.
- Bagian Persepsi terhadap Ujaran Kebencian: Menanyakan pendapat responden mengenai apa yang mereka anggap sebagai ujaran kebencian di media sosial, serta seberapa sering mereka menjumpai konten seperti itu.
- Bagian Dampak terhadap Persatuan Indonesia: Menggali persepsi responden tentang bagaimana ujaran kebencian dapat memengaruhi hubungan antar kelompok dalam masyarakat Indonesia dan apakah hal tersebut berpotensi mengancam persatuan bangsa.
- Bagian Penanggulangan: Mengidentifikasi langkah-langkah yang dianggap perlu oleh masyarakat untuk mencegah dan menangani ujaran kebencian di media sosial dengan merujuk pada nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ketiga.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pengguna aktif media sosial di Indonesia. Sampel penelitian ini akan diambil secara purposive, yaitu dengan memilih responden yang memiliki pengalaman aktif menggunakan media sosial dan terpapar pada berbagai jenis konten di platform tersebut. Sampel akan terdiri dari individu yang beragam dalam hal usia, pendidikan, dan latar belakang sosial agar dapat mencerminkan beragam pandangan dan persepsi yang ada di masyarakat Indonesia.
Responden yang dipilih akan diundang untuk mengisi kuesioner melalui Google Forms yang disebarkan melalui berbagai kanal media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa data yang terkumpul berasal dari pengguna media sosial yang aktif dan dapat memberikan pandangan yang relevan terkait fenomena ujaran kebencian.
Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah kuesioner berbasis Google Forms yang mencakup pertanyaan-pertanyaan terbuka dan tertutup. Kuesioner ini dirancang untuk mengumpulkan data mengenai:
- Persepsi responden tentang ujaran kebencian di media sosial.
- Pengalaman responden dalam menghadapi atau menyaksikan ujaran kebencian.
- Dampak ujaran kebencian terhadap hubungan sosial dan persatuan Indonesia.
- Pandangan responden tentang langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi ujaran kebencian dan mempromosikan nilai persatuan Indonesia.
Beberapa contoh pertanyaan dalam kuesioner antara lain:
- “Apa yang Anda pahami dengan istilah ujaran kebencian di media sosial?”
- “Apakah Anda pernah menyaksikan atau terlibat dalam diskusi yang berisi ujaran kebencian di media sosial?”
- “Menurut Anda, sejauh mana ujaran kebencian memengaruhi hubungan antar kelompok di Indonesia?”
- “Langkah apa yang menurut Anda harus diambil oleh pemerintah, masyarakat, atau platform media sosial untuk menangani ujaran kebencian?”
Selain itu, kuesioner juga berisi pertanyaan-pertanyaan yang berfokus pada aspek Pancasila, terutama pada sila ketiga, untuk mengetahui apakah responden memahami hubungan antara persatuan Indonesia dengan ujaran kebencian di media sosial.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner menggunakan Google Forms. Google Forms dipilih karena kemudahan penggunaannya, serta kemampuannya untuk mengumpulkan data secara sistematis dan mudah dianalisis.
Responden akan diberikan waktu tertentu untuk mengisi kuesioner, dan hasilnya akan dikumpulkan secara otomatis dalam format yang dapat langsung diolah. Untuk memastikan responden memberikan jawaban yang maksimal dan relevan, kuesioner akan disebarkan melalui kanal media sosial yang memiliki akses luas dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat.
Analisis Data
Setelah pengumpulan data selesai, data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data dari kuesioner yang berbentuk jawaban tertutup akan dihitung secara statistik untuk melihat kecenderungan umum di kalangan responden, seperti berapa banyak yang setuju bahwa ujaran kebencian di media sosial berpengaruh terhadap persatuan bangsa.
Jawaban terbuka akan dianalisis dengan teknik analisis konten, untuk mengidentifikasi tema-tema yang muncul, seperti pemahaman responden tentang ujaran kebencian, dampaknya, dan solusi yang mereka usulkan.
Validitas dan Reliabilitas
Untuk memastikan validitas dan reliabilitas hasil penelitian, kuesioner akan diuji coba terlebih dahulu pada sekelompok kecil responden (pre-test) untuk memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat dipahami dengan baik dan relevan dengan tujuan penelitian.
Selain itu, peneliti akan melakukan triangulasi data dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber dan menggabungkan hasil dari kuesioner dengan penelitian terdahulu mengenai ujaran kebencian dan dampaknya terhadap persatuan bangsa.
Etika Penelitian
Penelitian ini akan mematuhi standar etika penelitian dengan menjaga kerahasiaan dan privasi data responden. Setiap responden akan diberi informasi mengenai tujuan penelitian dan dijamin bahwa data yang diberikan akan digunakan hanya untuk tujuan akademik. Selain itu, partisipasi dalam pengisian kuesioner bersifat sukarela, dan responden bebas untuk berhenti mengisi kuesioner kapan saja tanpa konsekuensi apapun.
Dengan pendekatan ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang pengaruh ujaran kebencian di media sosial terhadap persatuan Indonesia, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk menjaga kesatuan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Baca Juga: Teralu Bebas Menggunakan Sosial Media, Etika Netizen Memudar
Pembahasan
Persepsi terhadap Ujaran Kebencian di Media Sosial
Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden (78%) memiliki pemahaman yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian di media sosial. Sebagian besar responden mengidentifikasi ujaran kebencian sebagai segala bentuk pernyataan atau konten yang mengandung kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, agama, etnis, dan pandangan politik.
Misalnya, dalam survei ditemukan bahwa 65% responden menganggap komentar yang merendahkan kelompok agama tertentu atau yang bersifat mendiskreditkan ras tertentu sebagai bentuk ujaran kebencian. Hal ini sesuai dengan definisi hukum yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh melanggar hak orang lain atau menyebarkan kebencian.
Namun, sekitar 15% responden juga menyatakan bahwa mereka tidak selalu dapat membedakan mana yang termasuk ujaran kebencian dan mana yang sekadar kritik atau opini. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan dalam pemahaman mengenai batasan kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian yang merusak tatanan sosial.
Maraknya Ujaran Kebencian di Media Sosial
Survei juga menunjukkan bahwa 65% responden mengakui sering menjumpai ujaran kebencian di media sosial, baik dalam bentuk komentar di platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, maupun dalam bentuk meme dan video yang disebarkan melalui aplikasi seperti WhatsApp.
Sebagian besar responden menyatakan bahwa ujaran kebencian ini lebih sering muncul saat terjadi peristiwa-peristiwa sensitif, seperti pemilu, isu agama, atau perbedaan politik yang memicu polarisasi.
Menurut 72% responden, media sosial sering kali menjadi tempat di mana individu atau kelompok merasa lebih bebas dalam menyuarakan pendapat mereka, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan terhadap persatuan sosial.
Sebagai contoh, dalam pemilu 2019, banyak ditemukan ujaran kebencian yang menyerang pihak-pihak yang memiliki pilihan politik berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial, meskipun menjadi alat komunikasi yang efektif, juga memiliki potensi besar untuk memperburuk ketegangan sosial dan menciptakan polarisasi.
Fenomena ini sejalan dengan penelitian oleh Lwin et al. (2020) yang menunjukkan bahwa konten negatif dan kebencian yang disebarkan melalui media sosial dapat mengarah pada ketegangan sosial dan perpecahan di masyarakat. Ketika ujaran kebencian ini terdistribusi secara luas, hal itu dapat menciptakan perasaan saling tidak percaya antar kelompok dan merusak hubungan antar masyarakat yang seharusnya harmonis.
Dampak Ujaran Kebencian terhadap Persatuan Indonesia
Sebagian besar responden (80%) sepakat bahwa ujaran kebencian di media sosial dapat berdampak buruk terhadap persatuan Indonesia, terutama pada sila ketiga Pancasila yang menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam keberagaman. Dampak negatif tersebut antara lain:
Meningkatkan Polarisasi Sosial
Sebanyak 68% responden mengungkapkan bahwa ujaran kebencian dapat memperburuk polarisasi sosial di Indonesia. Polarisasi ini lebih jelas terlihat pada isu-isu yang melibatkan perbedaan agama, ras, atau ideologi politik. Dalam banyak kasus, ujaran kebencian semakin memperdalam jurang pemisah antar kelompok yang berbeda pandangan.
Sebagai contoh, pada saat Pemilu 2019, berbagai konten yang berisi ujaran kebencian terhadap kandidat atau kelompok tertentu tersebar luas di media sosial, memperburuk hubungan antar pendukung partai politik yang bersaing.
Menciptakan Ketidakpercayaan Antar Kelompok
Sekitar 60% responden menyatakan bahwa ujaran kebencian juga memicu ketidakpercayaan antar kelompok. Ketika masyarakat dihadapkan pada konten yang mengandung stereotip atau generalisasi terhadap kelompok tertentu, rasa curiga dan ketidakpercayaan terhadap kelompok tersebut akan meningkat.
Hal ini dapat menciptakan ketegangan sosial yang berpotensi menimbulkan konflik. Misalnya, ujaran kebencian terhadap etnis atau agama tertentu dapat memperburuk hubungan antar kelompok etnis di Indonesia.
Mengancam Toleransi dan Kerukunan Antaragama
Sebagian besar responden (54%) menyatakan bahwa ujaran kebencian merusak nilai toleransi antar umat beragama. Di Indonesia yang pluralistik, toleransi antar agama menjadi kunci untuk menjaga persatuan.
Namun, ujaran kebencian yang berfokus pada agama tertentu dapat menurunkan rasa saling menghormati antar umat beragama. Seperti yang dijelaskan oleh Saefullah (2020), ujaran kebencian yang mengarah pada sektarianisme dapat memperburuk hubungan antar agama dan membahayakan keharmonisan sosial.
Faktor-faktor Penyebab Maraknya Ujaran Kebencian
Survei juga mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan maraknya ujaran kebencian di media sosial, antara lain:
Anonimitas dan Kebebasan Berbicara
Sekitar 70% responden menganggap anonimitas yang diberikan oleh media sosial sebagai salah satu faktor yang memungkinkan orang untuk menyebarkan ujaran kebencian tanpa takut dikenali atau dihukum. Media sosial memberikan kebebasan kepada penggunanya untuk berkomentar atau membuat postingan tanpa identitas yang jelas, sehingga mereka merasa lebih leluasa dalam menyebarkan kebencian.
Kurangnya Pengawasan dari Pemerintah dan Platform Media Sosial
Sebagian besar responden (76%) menyatakan bahwa pengawasan yang kurang ketat dari pemerintah dan platform media sosial menjadi penyebab maraknya ujaran kebencian. Meskipun ada kebijakan dan alat moderasi otomatis di beberapa platform, banyak konten yang lolos dan menyebar luas tanpa adanya tindakan nyata dari pihak yang berwenang.
Polarisasi Politik dan Isu Sosial
Beberapa responden mengidentifikasi bahwa ujaran kebencian lebih sering muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti menjelang Pemilu atau saat ada isu sosial yang memicu ketegangan. Ujaran kebencian sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memobilisasi dukungan atau memperburuk opini publik terhadap lawan politik.
Langkah Strategis untuk Mengatasi Ujaran Kebencian
Berdasarkan hasil survei, mayoritas responden (85%) sepakat bahwa diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi ujaran kebencian. Beberapa langkah yang dianggap perlu diambil oleh pemerintah, masyarakat, dan platform media sosial adalah:
Peningkatan Literasi Digital
Sekitar 80% responden mengusulkan agar pemerintah dan lembaga pendidikan meningkatkan literasi digital di kalangan generasi muda. Literasi digital yang baik akan membantu pengguna media sosial memahami etika berkomunikasi di dunia maya dan membedakan antara kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian.
Peraturan yang Lebih Tegas Terhadap Ujaran Kebencian
Sebanyak 70% responden mendukung agar pemerintah membuat peraturan yang lebih tegas dalam menangani ujaran kebencian di media sosial. Peraturan ini bisa mencakup larangan penyebaran konten yang mengandung kebencian serta memberikan sanksi hukum bagi pelaku penyebaran ujaran kebencian.
Kampanye Nasional tentang Pancasila
Sebagian besar responden (75%) mengusulkan agar pemerintah mengadakan kampanye nasional untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya nilai-nilai Pancasila, terutama sila ketiga, yaitu persatuan Indonesia. Kampanye ini bisa melibatkan tokoh-tokoh agama, budaya, dan masyarakat untuk menekankan pentingnya menjaga toleransi dan keberagaman sebagai bagian dari jati diri bangsa Indonesia.
Baca Juga: Sosial Media dapat Menjebak Kita dalam Kriminalitas
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai ujaran kebencian di media sosial sebagai tantangan terhadap sila persatuan Indonesia dalam Pancasila, dapat disimpulkan bahwa fenomena ini memiliki dampak yang signifikan terhadap keharmonisan sosial di Indonesia.
Ujaran kebencian yang marak di media sosial tidak hanya merusak nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam sila ketiga Pancasila, tetapi juga memecah belah masyarakat dengan meningkatkan polarisasi sosial. Sebagian besar responden dalam survei menyatakan bahwa ujaran kebencian ini memperburuk hubungan antar kelompok, menciptakan ketidakpercayaan, dan menurunkan tingkat toleransi antar umat beragama.
Faktor-faktor penyebab utama maraknya ujaran kebencian di media sosial adalah anonimitas yang diberikan oleh platform media sosial, kurangnya pengawasan yang tegas dari pemerintah dan penyedia layanan media sosial, serta polarisasi politik dan isu sosial yang semakin memperburuk ketegangan antar kelompok.
Dampak negatifnya sangat besar, mencakup perpecahan sosial, penurunan toleransi, serta ancaman terhadap kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini, langkah-langkah strategis yang perlu diambil antara lain adalah peningkatan literasi digital untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang etika berkomunikasi di media sosial, pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah dan platform media sosial terhadap penyebaran ujaran kebencian, serta kampanye nasional untuk menegakkan nilai-nilai Pancasila dan mempromosikan toleransi antarumat beragama.
Dengan demikian, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan penyedia platform media sosial untuk mengurangi dan mengendalikan ujaran kebencian di media sosial, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sesuai dengan prinsip Pancasila.
Penulis: Kelompok 1 Kelas 8 Bahasa Indonesia (Fiva Zahara, dkk)
Mahasiswa Jurusan Hukum, Universitas Andalas
Daftar Pustaka
Amin, H. (2019). Hate Speech dalam Perspektif Hukum Indonesia: Dampak Terhadap Toleransi Sosial dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 48(2), 125-140.
Dewi, R. L. (2021). Polarisasi Politik dan Dampaknya Terhadap Keharmonisan Sosial di Indonesia. Jurnal Sosial Politik, 15(1), 45-58.
Habib, A. (2020). Pancasila dan Tantangan Toleransi dalam Era Digital. Pustaka Ilmu, Jakarta.
Kurniawan, A. (2022). Media Sosial dan Ujaran Kebencian: Tantangan Terhadap Persatuan Bangsa. Jurnal Ilmu Komunikasi, 19(3), 211-223.
Maulana, T. (2021). Penerapan Hukum Terhadap Ujaran Kebencian di Media Sosial di Indonesia. Jurnal Hukum Online, 8(2), 35-50.
Pratama, R. (2020). Strategi Pemberantasan Ujaran Kebencian di Media Sosial: Tinjauan Pancasila dan Hukum. Jurnal Pancasila dan Demokrasi, 10(1), 77-89.
Sari, E. (2019). Peran Media Sosial dalam Mengancam Persatuan Indonesia. Jurnal Sosial Politik Indonesia, 24(1), 98-111.
Setiawan, B. (2018). Hate Speech dan Efeknya terhadap Kehidupan Sosial di Indonesia. Jurnal Hukum dan Masyarakat, 26(3), 145-159.
Syahri, M. (2020). Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Solusi bagi Ancaman Ujaran Kebencian. Jurnal Pancasila dan Hukum, 6(2), 100-115.
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News