Sejarah Banten sebagai salah satu pusat kebudayaan di Indonesia menyimpan berbagai cerita tentang peran penting ulama. Banyaknya ulama yang berpengaruh dalam kehidupan sosial politik, budaya bahkan gugatan tentang penafsiran-penafsiran agama.
Dalam masyarakat seperti Banten yang mengalami penetrasi islam sangat religius dan menjadikan islam sebagai identitas kebudayaan masyarakat Banten. Namun, lemahnya pengetahuan mengenai sosok ulama perempuan membuat para masyarakat sedikit mengetahui hal tersebut.
Selama ini yang kita ketahui tentang ulama hanya saja dari kalangan seorang laki-laki. Banyak yang tidak mengetahui tentang peran ulama perempuan Banten yang berpengaruh. Meskipun mereka sering kali berada di balik layar, pengaruh mereka dalam masyarakat dan keluarga sangat signifikan.
Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa ulama perempuan sering kali dianggap lemah dan kurang diakui, meskipun mereka memiliki kontribusi yang besar dalam pembentukan nilai-nilai keagamaan dan sosial. Sebuah problematika yang menjadikan seorang ulama perempuan menjadi tidak terlihat salah satunya adalah kesetaraan gender.
Baca Juga: Muhammad bin Abdul Wahab: Pencetus Pemikiran Ekstrem dalam Dunia Islam
Menurut Nur Hasan, Alumnus Islamic Studies, International University of Africa, Sudan. Penulis buku Khazanah Ulama Perempuan Nusantara mengungkapkan, Salah satu tokoh tertua ulama perempuan Banten yang berpengaruh yakni Nyi Hj. Arnah Cimanuk (1876-1923), beliau lahir pada tahun 1876.
Sosok ulama perempuan Banten yang diposisikan dari Mekah untuk masyarakat Banten. Di mana Nyi Hj. Arnah Cimanuk sebagai sebuah mata rantai penting di dalam transmisi intelektualitas ulama perempuan Islam, terutama dalam bidang ilmu qira’at, dari periode Syekh Nawawi al-Bantani kepada generasi berikutnya.
Dalam penelitian Mufti Ali seorang guru besar UIN SMH Banten dengan baik menemukan bahwasanya keulamaan Nyi Hj. Arnah juga mendalami ilmu fikih, hadis, tafsir dan tata bahasa Arab, selain ilmu qira’at dan tarekat, dari ulama-ulama Banten kelas satu yang tinggal di Mekah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Tb. Ismail, KH. Ahmad Jaha, Syekh Marzuki, Syekh Arshad bin Alwan, dan Syekh Arsyad bin As’ad.
Keulamaan Nyi Hj. Arnah setara dengan tujuh syekh tersebut di dalam kemahsyuran penguasaan ilmu-ilmu keislaman (Islamic sciences). Pandangan ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Aisyah Aminy seorang anggota DPR RI/ MPR RI, pada tahun 1977 hingga tahun 2004 mengemukan pandangan mengenai kesetaraan gender bahwasanya “kesetaraan perempuan dan laki-laki adalah hal yang sangat mungkin terjadi”.
Menurutnya, tradisi Islam menyebutkan bahwa kesetaraan bisa diperoleh, tetapi tidak identik, sehingga perempuan dan laki-laki harus saling mengisi (partnership) dalam organisasi multifungsi ketimbang saling bersaing (competition) dalam masyarakat yang berfungsi tunggal.
Lebih lanjutnya Nur Hasan menguraikan bahwasannya Nyi Hj. Arnah Cimanuk yang dapat menguasai berbagai ilmu yang didapatkaan dari Mekah, sanad keulamaannya sampai sekarang masih terus diberikan kepada para santri yang belajar qira’at.
Semua sanad qira’at para santriwati di Pesantren Riyadul Banat di Kadu Peusing, Pandeglang, dan Pesantren Daarul Qur’an di Warunggunung, Rangkasbitung, Lebak, mengerucut kepada anak satu-satunya, yaitu KH. Emed Bakri sebagai seorang penyebar qira’at hafs pertama di Pandeglang.
KH. Emed Bakri sangat dikenal sebagai ulama pengajar qira’at dan penganut tarekat yang berpuasa hampir seumur hidupnya. Selain itu, Nyi Hj. Arnah diduga sebagai pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang rutin membaca dala’il al-khairat karya Imam Jazuli. Inilah awal kyai perempuan Banten dari Mekah untuk masyarakat Banten, terutama wilayah Pandeglang dan Lebaki.
Sebuah problematika yang menjadi titik lemah pandangan sejarah tentang ulama perempuan Banten yakni terdapat beberapa di antaranya:
Perbedaan Gender
Perbedaan gender adalah problematika mengenai pandangan bahwa ulama atau tokoh agama mengharusnya seorang laki-laki untuk memimpin. Hal ini menyebabkan kurangnya pengakuan terhadap kontribusi perempuan di bidang keagamaan.
Akses Pendidikan
Walaupun sudah ada kemajuan dalam bidang pendidikan, perempuan masih menghadapi kendala dalam mengakses pendidikan tinggi di bidang agama baik dalam masalah internal ataupun eksternal, terutama di daerah-daerah tertentu.
Keterwakilan
Dalam banyak organisasi keagamaan, peran perempuan sering kali kurang terwakili dalam posisi kepemimpinan, sehingga suara dan perspektif mereka tidak didengar secara optimal.
Konservatisme
Konservatisme terdapat beberapa kalangan masih memegang pandangan konservatif yang menganggap peran perempuan dalam agama terbatas, sehingga mereduksi potensi mereka sebagai ulama.
Jaringan
Kurangnya dukungan jaringan untuk ulama perempuan belum sekuat ulama laki-laki, sehingga mereka kesulitan untuk berkembang dan berkolaborasi.
Media dan Representasi
Media lebih mefokuskan pada ulama laki-laki, sehingga mengabaikan prestasi dan kontribusi perempuan dalam konteks keagamaan.ii
Baca Juga: Pemikiran Pendidikan Islam Fazlur Rahman dan Kaitannya dengan Pendidikan Modern di Indonesia
Adapun upaya untuk mengatasi kelemahan ini memerlukan kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk institusi pendidikan, komunitas, dan masyarakat luas untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi ulama perempuan.
Beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi kelemahan pandangan sejarah terhadap hal tersebut yakni dengan adanya pendidikan inklusif dengan menyusun kurikulum yang menghargai kontribusi ulama perempuan, serta menyediakan kesempatan yang sama bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran dan pengajaran.
Pendukung komunitas juga diperlukan agar masyarakat berperan aktif dalam mendukung ulama perempuan, seperti melalui seminar, diskusi, dan forum yang membahas peran mereka dalam konteks agama dan sosial.
Bahkan kampanye kesadaran serta penguatan kebijakan juga di perlukan agar meningkatkan kesadaran tentang pentingnya peran ulama perempuan melalui media sosial dan kampanye publik untuk mengubah pandangan dan stigma yang mungkin dapat mendorong pembentukan kebijakan yang mendukung peran ulama perempuan dalam lembaga keagamaan dan komunitas.
Melalui jaringan dan mentoring juga dapat membangun jaringan antara ulama perempuan dan tokoh-tokoh agama serta komunitas juga membantu dalam berbagi pengalaman dan memberikan dukungan. Dengan kolaborasi yang baik antar berbagai pihak, lingkungan yang lebih inklusif dapat tercipta, memberikan kesempatan bagi ulama perempuan untuk berkontribusi secara maksimal.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa lemahnya posisi ulama perempuan di Banten tidak hanya dipengaruhi oleh pandangan, tetapi juga oleh interpretasi sejarah yang seringkali meminggirkan kontribusi mereka. Meskipun banyak perempuan memiliki peran penting dalam sejarah keagamaan dan pendidikan, pandangan yang patriarkal sering kali mengaburkan keberadaan dan pengaruh mereka.
Oleh karena itu, pentingnya kita untuk terus mengkaji dan menggali lebih dalam peran ulama perempuan dalam konteks sejarah dan keagamaan. Dengan adanya upaya kolaboratif dari beberapa pihak, kita tidak hanya menghargai kontribusi mereka, tetapi juga membuka jalan bagi penguatan posisi ulama perempuan di masa depan, sehingga dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Penulis: Hani Amalia Rizki
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Referensi:
i Hasan, N 2022 Islami.Co https://islami.co/nyai–hj–arnah–cimanuk–ulama–perempuan–ahli–qiraatdaribanten/ 27 Oktober 2024
ii Zohriah,, A 2004 ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/331323751_KESETARAAN_GENDER_DI_BANTEN_DALAM_PAND ANGAN_KIYAI_DAN_JAWARA 27 Oktober 2024
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News