Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Melalui Program Integrasi Layanan Primer (ILP)

Urgensi ILP: Jawaban atas Fragmentasi dan Beban Ganda Penyakit

Indonesia kini menghadapi double burden of disease, yakni meningkatnya TBC penyakit menular seperti TBC dan DBD bersamaan dengan melonjaknya penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi (34,1%) dan diabetes (10,9%) pada penduduk dewasa (Riskesdas, 2018; WHO CCS Indonesia, 2020–2025).

Kondisi ini menuntut sistem pelayanan kesehatan yang tidak hanya kuratif, tetapi juga berbasis promotif dan preventif, serta menjangkau seluruh siklus hidup individu.

Program-program kesehatan selama ini sering berjalan terpisah dan tumpang tindih. Hal ini menyebabkan inefisiensi, duplikasi kegiatan, dan pemborosan sumber daya, khususnya di daerah dengan keterbatasan SDM dan dana.

Di sinilah ILP hadir sebagai bentuk reformasi pelayanan, menyatukan berbagai program ke dalam satu kunjungan terpadu dan pendekatan lintas usia.

Bacaan Lainnya

Transformasi pelayanan kesehatan primer di Indonesia tengah memasuki babak baru melalui kebijakan Integrasi Layanan Primer (ILP) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/2015/2023.

Kebijakan ini bertujuan mengintegrasikan layanan Posyandu Balita, Posyandu PTM, dan Posyandu Lansia ke dalam satu sistem layanan yang sistematis, komprehensif, dan berkelanjutan.

Dalam pandangan saya, ILP adalah langkah strategis yang perlu didukung penuh, namun tidak dapat dilepaskan dari tantangan struktural dan implementatif yang nyata di lapangan.

Baca juga: Analisis SWOT Implementasi Posyandu Prima di Indonesia

Fakta Lapangan: ILP Tidak Sederhana Dijalankan

Meskipun gagasan ILP sangat ideal, kenyataannya tidak semua puskesmas mampu mengimplementasikannya dengan optimal. Menurut evaluasi Kementerian Kesehatan tahun 2023:

1. Hanya 64% puskesmas yang telah melaksanakan ILP.

2. Dari jumlah tersebut, 60–70% berhasil, namun 30–40% mengalami kegagalan karena kurangnya SDM, keterbatasan anggaran, belum terintegrasinya sistem informasi, dan resistensi internal (Kemenkes RI, 2023).

Sebagai contoh positif, UPT Puskesmas Pesantren II di Kota Kediri sukses melaksanakan ILP dengan pelayanan lintas usia dalam satu posyandu, serta pemanfaatan aplikasi ASIK secara efektif.

Kuncinya terletak pada pelatihan intensif kader, dukungan kepala puskesmas, dan infrastruktur digital memadai (Sosialisasi ILP, 2023).

Sebaliknya, puskesmas di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) seperti di Papua dan NTT gagal melaksanakan ILP karena keterbatasan jaringan internet, minimnya pelatihan digital, serta SDM yang tidak memadai.

Layanan tetap berjalan secara terpisah, bertentangan dengan semangat integrasi (Evaluasi Nasional ILP, 2023).

Baca juga: Good Corporate Governance: Kunci Pengelolaan Rumah Sakit yang Transparan dan Akuntabel dalam Peningkatan Layanan Kesehatan dalam Negeri

Belajar dari Luar Negeri: Integrasi Harus Didukung Teknologi dan Sistem

Negara seperti Inggris melalui Primary Care Networks (CPNs) dan Australia dengan Primary Health Networks (PHNs) telah membuktikan bahwa integrasi layanan primer yang berhasil sangat bergantung pada keterlibatan komunitas, sistem informasi digital, dan tata kelola yang kuat (NHS, 2021; Dept. of Health Australia, 2022).

Australia, misalnya, mengedepankan perencanaan layanan berbasis data populasi dan penggunaan teknologi untuk mendeteksi kebutuhan kesehatan masyarakat lokal.

Indonesia bisa mengadaptasi pendekatan serupa, dengan peningkatan kapasitas digitalisasi dan sistem informasi kesehatan nasional (Satu Sehat).

Opini dan Rekomendasi: ILP Layak Didukung, tapi Harus Disesuaikan dengan Konteks Lokal

Saya berpendapat bahwa ILP adalah kebijakan dengan arah yang tepat, namun implementasinya perlu lebih realistis dan adaptif terhadap kondisi lokal.

Tidak semua wilayah memiliki infrastruktur dan kapasitas SDM yang setara. Karena itu, pemerintah perlu:

1. Menyediakan dukungan teknis berkelanjutan, terutama untuk daerah 3T.

2. Meningkatkan akses internet dan digitalisasi melalui program lintas sektor (kerja sama dengan Kominfo, PLN, dll.).

3. Melibatkan masyarakat dan kader secara bermakna, bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi juga penggerak perubahan perilaku.

4. Memberikan insentif bagi puskesmas yang berhasil, dan pendampingan untuk yang masih tertinggal.

Penutup

Transformasi layanan primer melalui ILP bukan hanya tentang menyatukan layanan, tetapi juga tentang membangun fondasi sistem kesehatan yang lebih efisien, adil, dan responsif terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

Dengan dukungan kebijakan yang inklusif dan sumber daya yang memadai, ILP bisa menjadi instrumen utama untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.

Baca juga: Komunikasi Kesehatan yang Efektif sebagai Kunci Perubahan Pola Makan Masyarakat Indonesia

 

Penulis: Anisa Catur Wijayanti, SKM., M.Epid.

Mahasiswa Jurusan S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses