Visi Jamaluddin Al-Afghani terhadap “Renaisans” Islam: Analisis Kritis Dunia Islam Kontemporer

Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani (Sumber: Picasa).

Pada abad ke-18 Masehi ketika umat Islam menjalin kontak dengan dunia Barat mereka dibuat sangat terkejut saat melihat kemajuan yang dicapai oleh bangsa Eropa.

Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang mempelajari ilmu pengetahuan dari dunia Islam telah mencapai kemajuan yang signifikan, bahkan mengalahkan umat Islam sendiri dalam peperangan-peperangan seperti yang terjadi antara Kerajaan-Kerajaan di Eropa dengan Kesultanan Turki Utsmani.

Padahal bangsa Eropa sendiri mulai berfokus terhadap ilmu pengetahuan pada abad ke-14, ditandai dengan munculnya sebuah gerakan kebudayaan yang dinamai dengan “Renaisans”.

Bacaan Lainnya
DONASI

Hal ini membuat para ulama merenungkan usaha apa yang perlu dilakukan oleh umat Islam untuk mencapai kembali kemajuan yang mereka raih sebelumnya di periode klasik dulu. Salah satu sosok penting dalam pembaharuan Islam ialah Jamaluddin Al-Afghani.

Riwayat Hidup

Jamaluddin al-Afghani adalah salah satu dari sekian banyak tokoh pembaharu Islam. Beliau merupakan tokoh pembaharu Islam yang brilian dan pionir dalam menjawab tantangan Islam terhadap modernitas. Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin al-Afghani bin Safar.

Ia merupakan keturunan dari Sayyid Ali al-Tirmidzi, jika ditelusuri nasabnya akan sampai pada Husain Bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. Hal ini terlihat dari gelar Sayyid yang disandangnya. Ia lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan wafat di Istanbul, Turki pada tahun 1897.

Sedari kecil, al-Afghani mendapatkan pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri. Ayahnya mengajarkan al-Afghani mengaji al-Qur’an, bahasa Arab, dan sejarah. Bahkan, ayahnya mendatangkan seorang guru yang ahli dalam bidang Fiqih, Tasawuf, Hadis, Tafsir, dan Tauhid.

Dengan intelegensi yang sangat luar biasa, di usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang Ilmu Islam mulai dari filsafat, ushul fiqh, sejarah, metafisika, medis, mistik, sains, tasawuf hingga astronomi. Selain terampil dan cakap dalam menguasai ilmu pengetahuan, al-Afghani juga mahir dalam berbahasa Arab, Turki, Persia, Inggris, dan Rusia.

Di usia yang baru menginjak 22 tahun, ia mulai berkiprah sebagai pembantu pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Setelah itu, ia menjadi penasihat Ali Khan pada tahun 1864 dan diangkat menjadi Perdana Menteri pada masa pemerintahan Azam Khan.

Namun karena campur tangan Inggris dalam urusan politik di Afghanistan, ia meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke India pada tahun 1869. Hanya dalam waktu setahun, ia pindah dan tinggal di Turki dan diangkat menjadi anggota Majelis Pendidikan Turki oleh Ali Pasha, hingga ia memutuskan untuk pindah ke Iran dan diangkat sebagai Menteri Penerangan.

Pada tahun 1876, Inggris kembali ikut campur dalam urusan politik di Mesir. Hal itu membuat al-Afghani mendirikan partai al-Hizb al-Wathani (Partai Nasional) pada tahun 1879, sebagai respon terhadap kemelut politik-kenegaraan di masa itu. Selang beberapa bulan di Mesir, ia memutuskan untuk pergi ke Paris, Prancis. Di sana, aktivitas politiknya berkembang dengan mendirikan perkumpulan al-Urwat al-Wutsqa.

Di tahun 1892, atas undangan dari Sultan Abdul Hamid, al-Afghani memutuskan untuk berangkat menuju Istanbul. Di sana, ia bekerja sama dengan Sultan Abdul Hamid dalam bidang pemerintahan.

Namun, kerja sama ini tidak mencapai tujuan yang sebenarnya, karena Sultan masih ingin mempertahankan kekuasaan otokrasi. Karena ketakutannya terhadap pengaruh al-Afghani sangat besar, akhirnya Sultan Abdul Hamid membatasi kebebasan al-Afghani sampai ia wafat pada tahun 1897.

Pan-Islamisme sebagai Sebuah Tantangan dalam Menjawab Dominasi Barat terhadap Dunia Islam

Konsep-konsep pembaruan yang dikemukakan oleh al-Afghani ialah; Pertama, musuh utama adalah penjajahan Barat yang merupakan kelanjutan dari perang salib; Kedua, umat Islam harus menentang penjajahan di mana dan kapan saja; Ketiga, untuk mencapai tujuan itu, umat Islam harus bersatu atau Pan-Islamisme.

Pan Islamisme adalah sebuah gagasan yang menyatakan bahwa semua umat Muslim harus bersatu menghadapi dominasi Barat. Dalam pengertian luas, Pan-Islamisme bermakna solidaritas antara seluruh muslim di dunia. Tema perjuangan yang terus dikobarkan oleh al-Afghani adalah semangat melawan kolonialisme dengan berpegang teguh kepada tema-tema ajaran Islam sebagai pedoman.

Dalam Pan-Islamisme tema-tema yang dikaji antara lain seputar perjuangan melawan absolutisme para elit penguasa, berfokus terhadap pengembangan sains dan teknologi, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, menguatkan kembali iman dan akidah, dan bersatu dalam melawan kolonial asing.

Gagasan ini berangkat dari permaslahan  yang dialami oleh umat Islam. Kemunduran umat Islam bukanlah disebabkan karena Islam itu sendiri. Menurut al-Afghani umat Islam mundur karena telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar Islam lagi asing bagi Islam.

Ajaran-ajaran asing itu dibawa oleh orang-orang yang berpura-pura mempunyai keyakinan-keyakinan yang menyesatkan didukung oleh hadis-hadis buatan.

Selain itu, kemunduran umat Islam disebabkan oleh lemahnya ikatan persaudaraan di antara umat Islam. Nilai-nilai persaudaraan umat Islam telah terputus, bukan hanya dikalangan orang awam saja, tetapi juga dikalangan para ulama.

Menurut al-Afghani usaha untuk memperbaiki permasalahan yang terjadi ialah dengan cara melenyapkan pemahaman keliru yang dianut umat pada umumnya, dan kembali kepada inti ajaran Islam yang sebenarnya.

Maka untuk menjawab tantangan tersebut persatuan umat Islam mesti diwujudkan kembali. Umat Islam akan memperoleh kembali kemajuan apabila mereka bersatu dan melakukan kerja sama. Persatuan dan kerja sama adalah pondasi yang sangat penting dalam Islam.

Inilah makna kerja sama yang merupakan bentuk solidaritas tertinggi kaum muslimin, yang sementara ini menurut al-Afghani telah terpecah belah akibat ketidakmahiran para penguasa. Dengan kata lain, al-Afghani masih menganggap agama sebagai alat pemersatu yang paling kuat.

Ditambah lagi dengan penyerangan dan kekejaman yang dilakukan oleh negara-negara Barat kepada negara-negara Timur untuk mencegah tumbuhnya kekuatan negara-negara Timur. Menyebabkan segala sesuatu yang membawa kepada kemajuan dari negeri Islam, ditumpas habis dengan segala kekuatan, walaupun dengan jalan perang sekali pun.

Oleh karena itu, al-Afghani menyerukan agar seluruh negara Islam perlu bersatu dalam suatu pertahanan bersama guna membela kedudukan mereka dan dari keruntuhannya. Untuk mencapai hal tersebut, umat Islam harus mempunyai kepandaian terhadap kemajuan yang dicapai oleh bangsa Barat.

Dengan kata lain, untuk mencapai ide-idenya, al-Afghani menuangkan dalam tulisan yang dipublikasikan dalam majalah al-Urwat al-Wuqsa saat ia tinggal di Prancis. Pertama, ia mengusahakan bahwa rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.

Kedua, orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat/derajat budi luhur. Ketiga, rukun Iman harus menjadi pegangan hidup dalam kehidupan manusia. Keempat, setiap generasi umat harus ada lapisan istimewa yang bertujuan memberikan pendidikan dan pengajaran pada manusia-manusia yang dan juga memerangi hawa nafsu jahat dalam menegakkan disiplin keagamaan.

Bisa dibilang, pemikiran al-Afghani mempunyai pemikiran yang berperan penting dalam dunia Islam. Signifikansi ini terletak pada daya jangkauan pemikiran al-Afghani yang multinasional. Selain itu, umat Islam benar-benar merasa tercambuk untuk menyadari atas perlunya gerakan fisik material dan intelek-spiritual dalam membangun kembali obsesi kemajuan peradabannya.

Penulis: Alfian Dwi Laksono
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Referensi

Asmuni, Y. (1982). Aliran Modern Dalam Islam: Mengenal Pokok-Pokok Pemikiran Para Pemukanya. Surabaya: al-Ikhlas.

Nasution, H. (1992). Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

Nasution, H. (1996). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.

Sani, A. (1998). Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI