Masalah sexual harassment bukan menjadi permasalahan yang baru saat ini.Masifnya penggunaan media sosial menjadi salah satu platform yang bagi sebagian orang dimanfaatkan untuk sesuatu yang tidak baik salah satunya pelecehan seksual. Seperti kasus tenggelamnya kapal selam Nanggala 402, terdapat komen yang tidak senonoh pada platform YouTube yang ditujukan pada istri korban. Hal-hal kecil seperti ini banyak dipermainkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, mereka menggunakan media sosial tanpa menghiraukan adab-adabnya.
Sexual harassment merupakan perilaku tercela, tidak diinginkan, dan membahayakan korbannya yang dapat terjadi di mana saja, bahkan tempat umum sekalipun. Sexual harassment yang kita ketahui umumnya hanya banyak terjadi pada kaum wanita, namun faktanya tanpa kita ketahui sexual harassment pada pria banyak terjadi. Selain itu, Sexual harassment dapat terjadi pada siapa pun terlepas dari gender seseorang, dapat dilakukan oleh wanita terhadap wanita, wanita terhadap pria, pria terhadap pria, dan pria terhadap wanita.
Baca Juga: Peran Psikolog Forensik dalam Kasus Pelecehan Seksual
Chomaria (2014) menyatakan bahwa sexual harassment tidak hanya terjadi melalui kontak fisik saja namun juga secara verbal, seperti menunjukkan gambar yang berbau seksual, memegang bagian tubuh orang lain, pelecehan melalui telepon, komentar di media sosial, dan cat calling. Data yang di dapatkan dari komnasperempuan.go.id bahwa kekerasan terus meningkat tahun 2019 terdapat 126 kasus dan pada tahun 2020 meningkat menjadi 510. Bentuk kekerasan seksual sebesar 48% (479 kasus).
Fitzgerald’s dan rekannya (Fulero& Wrightsman, 2008) megklasifikasi perilaku sexual harassment, sebagai berikut:
- Pelecehan Gender.
- Perilaku yang tidak sopan namun bebas dari sanksi.
- Penyuapan seksual, janji dengan pemberian hadiah.
- Ancaman, digunakan untuk pemaksaan.
- Penyerangan seksual.
Banyak korban yang tidak berani untuk melaporkan sexual harassment karena kurangnya pengetahuan dan masyarakat yang masih menganggap hal ini bukan hal yang besar. Sexual harassment seperti gunung es, yang mana hanya terlihat sedikit di permukaan. Namun, sangat besar saat kita melihat faktanya. Korban menganggap sexual harassment sebagai hal yang menjijikkan, memalukan, menyinggung, dan menakutkan. Mengakibatkan korban menjadi stres, self-esteem menurun, tidak percaya diri, aktivitas sehari-hari terganggu dan bahkan sampai gangguan stres pasca-trauma. Stres seseorang berbeda-beda tergantung pada individu tersebut saat menerima stimulus. Hal tersebut dapat mengganggu kerja tubuh dari yang ringan sampai yang paling kronis. Stres pasca trauma (PTSD) merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga mengakibatkan traumatis (Bahrudin, 2010).
Baca Juga: Dampak Pelecehan Seksual Terhadap Psikologis
Maraknya sexual harassment yang terjadi di Indonesia harusnya membuka mata masyarakat dan pemerintah untuk terus menggencarkan psikoedukasi, Pendidikan moral dan penanganan yang lebih memumpun. Pentingnya psikoedukasi seks untuk meningkatkan pengetahuan tentang jenis kelamin, cara menjaga, keamanan, dan pencegahan terjadinya sexual harassment. Psikoedukasi seks lebih baik diberikan kepada anak sedini mungkin, melalui pendidikan formal dan pendidikan informal. Masyarakat sigap dan menyadari pentingnya masalah sexual harassment dan tidak meremehkan pernyataan korban. Belum menjadi prioritas dalam menanggulanginya. Sexual harassment dapat berdampak sangat besar pada korban. Undang-undang Hukum pidana dapat digunakan untuk mengatasi perilaku yang tidak sesuai di masyarakat luas. Jika tidak ada peraturan yang pasti dalam penanganan sexual harassment ini, maka akan sulit menentukan hukuman yang tepat untuk pelaku, sehingga pelaku menjadi jera.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bahrudin, Udin dan Utami, Sulistiyati B. (2010). Stres dan penyakit kardiovaskuler pada korban bencana alam: insiden, patofisiologis, dan penanganan. Vol. 18 XXII.
[2] Chomaria, N. (2014). Pelecehan Anak, Kenali dan Tangani, Menjaga Buah Hati dari Sindrom. Solo: tiga Serangkai
[3] Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2008). Forensic psychology. Cengage Learning.
Niken Fitri Anjani
Mahasiswa Psikologi
Universitas Pendidikan Indonesia
Editor: Diana Pratiwi