Tiga peristiwa berbeda —satu dari dunia fiksi dan dua lainnya dari sejarah nyata— memiliki benang merah yang kuat tentang penindasan terhadap pengetahuan.
Apa yang terjadi ketika pengetahuan menjadi ancaman bagi kekuasaan? Pertanyaan ini melintasi batas ruang dan waktu, menggema dalam narasi fiksi, sejarah, bahkan realitas modern. Dalam upaya melindungi otoritas, sering kali kekuasaan mengorbankan kebebasan intelektual dengan menghapus warisan ilmu pengetahuan yang begitu penting untuk masa depan manusia.
Di dunia fiksi, kita mengenal Tragedi Ohara dalam anime One Piece, sebuah kisah menyentuh tentang kehancuran pusat penelitian dan ilmu pengetahuan yang diduga ini bukan hanya cerita fiksi belaka melainkan cerminan dari sejarah dunia yaitu, kisah yang terjadi di Baghdad, Irak pada tahun 1258, dibakarnya perpustakaan Islam terbesar bernama Baitul Hikmah yang mana dari peristiwa ini mengakhiri masa keemasan peradaban Islam.
Serta, tidak jauh dari masa modern, Indonesia pun menyaksikan kisah tragis serupa melalui pembakaran perpustakaan pribadi Pramoedya Ananta Toer. Koleksi karya-karya sang sastrawan besar dibakar, meninggalkan jejak luka atas kebebasan berekspresi yang terkekang.
Tragedi Ohara
Ohara adalah sebuah pulau kecil yang dikenal sebagai pusat pengetahuan dan penelitian di dunia One Piece. Penduduknya, terutama para arkeolog, mendedikasikan hidup mereka untuk mempelajari sejarah yang terlupakan, khususnya Abad Kekosongan (Void Century).
Di pusat penelitian ini terdapat “Pohon Pengetahuan,” (serupa perpustakaan besar) yang menyimpan banyak sekali buku dan informasi berharga. Para arkeolog ini percaya bahwa sejarah tersebut menyimpan rahasia penting tentang dunia, termasuk asal-usul Pemerintah Dunia. Salah satu tokoh sentral dalam tragedi ini adalah Nico Robin, yang menjadi saksi dari dedikasi penduduk Ohara untuk mengungkap kebenaran.
Pemerintah dunia melihat penelitian yang dilakukan oleh para arkeolog di Ohara sebagai ancaman serius bagi kekuasaan mereka. Mereka khawatir jika Abad Kekosongan terungkap, legitimasi mereka sebagai penguasa akan terancam.
“Penelitian oleh para arkeolog Ohara telah mencapai tingkat yang tidak pernah kita bayangkan, pengetahuan bisa ditransfer, jangan biarkan itu keluar dari pulau! Musnahkan seluruh yang tinggal di Ohara! Atas nama keadilan!” Ucap pemimpin pemerintah dunia (One Piece, eps: 227).
Untuk mencegah hal ini, Pemerintah Dunia mengeluarkan perintah Buster Call, yaitu sebuah operasi militer besar-besaran yang dirancang untuk menghancurkan Ohara hingga tak bersisa. Armada besar Angkatan Laut dikerahkan untuk menyerang dan menghancurkan Ohara.
Pulau itu dibombardir dengan tembakan meriam yang mengakibatkan seluruh arkeolog dan ilmuwan tewas hingga hanya tersisa runtuhan dan hanya Nico Robin yang selamat. Ini menjadi salah satu tindakan paling brutal yang ditampilkan dalam One Piece.
Peristiwa Baitul Hikmah
Pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah, Baghdad bukan hanya pusat politik dan ekonomi, tetapi juga pusat intelektual dunia. Salah satu simbol paling gemilang dari era tersebut adalah Baitul Hikmah—sebuah perpustakaan sekaligus pusat penelitian yang menjadi mercusuar pengetahuan di dunia Islam.
Di tempat ini, teks-teks dari berbagai peradaban, seperti Yunani, India, Persia, dan China, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, membuka cakrawala baru dalam ilmu pengetahuan. Serta tersimpan ribuan naskah berharga yang mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari astronomi, matematika, kedokteran, hingga filsafat.
Namun, di balik kemegahan tersebut, takdir yang tragis menanti. Pada tahun 1258, ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad, Baitul Hikmah menjadi salah satu sasaran utama, yang dihancurkan tanpa belas kasihan.
Baca juga: Buku Non Fiksi dan Contoh Buku Non Fiksi
Dalam serangan brutal tersebut, perpustakaan yang megah ini dibakar habis dan manuskrip-manuskrip yang menyimpan pengetahuan berharga dari berbagai peradaban dilemparkan ke Sungai Tigris, hingga airnya disebut berubah warna oleh tinta dari buku-buku itu. Tragedi ini membawa dampak besar bagi peradaban dunia Islam.
Dengan hilangnya Baitul Hikmah, kesinambungan intelektual yang telah dibangun selama berabad-abad terputus. Banyak karya-karya besar yang hanya tersisa melalui salinan di tempat lain, sementara yang lainnya benar-benar hilang tanpa jejak.
Pembakaran Perpustakaan Pramoedya
Di tengah hiruk-pikuk sejarah modern Indonesia, salah satu tragedi yang memiliki dampak besar adalah pembakaran perpustakaan pribadi Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan legendaris, yang karya-karyanya telah membuka jendela dunia tentang realitas sosial dan politik Indonesia, harus mengalami pukulan berat ketika koleksi berharga miliknya dihancurkan.
Pada pemerintahan orde baru buku-buku yang dianggap mengandung dan terindikasi paham komunisme akan dibakar oleh Angkatan Darat. Pertengahan Oktober 1965, pada malam hari segerombolan massa secara mendadak datang menyerbu rumah Pram dengan melemparkan batu yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur.
Lalu, satu peleton tentara datang dan segera mengangkut Pram ke truk. Dia sempat dipukul popor senapan beberapa kali sampai tidak sadarkan diri.
“Pada saat itu istri saya habis melahirkan di tempat lain. Dia diberitahu oleh seorang tetangga bahwa saya ditahan. Dia segera pulang ke rumah, tapi sudah tidak bisa masuk rumah lagi. Pada saat itulah dia menyaksikan pembakaran kertas-kertas saya di belakang rumah, termasuk delapan naskah yang belum diterbitkan. Seluruh isi perpustakaan saya dibakar. Pembakaran naskah tersebut adalah hal yang tidak akan bisa saya maafkan! Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya budaya mereka. Bertolak-belakang dengan budaya menulis karena merupakan kerja kreatif.” ujar Pram dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006).
Karya-karya Pram beserta arsip dan perpustakaan pribadi yang telah dibakar oleh Angkatan Darat ikut lenyap seperti jilid dua dan tiga trilogi Gadis Pantai, Sejarah Perempuan Indonesia mengenai Kartini, Sejarah Bahasa Indonesia, beberapa cerita pendek dan buku hariannya.
Belum lama ini pada acara Ubud Writers & Readers Festival yang diadakan pada tanggal 23-27 Oktober 2024, Adik Pramoedya yaitu Soesilo Toer sempat menyatakan “Bacalah! bukan bakarlah! karena di tahun 65 ada total 50 buku Pram dibakar”. Setiap buku yang terbakar adalah hilangnya pemikiran, ide, dan suara yang seharusnya dapat memberikan inspirasi bagi generasi mendatang.
Paralel antara Tiga Tragedi
Ketika kita memikirkan tragedi Ohara, kehancuran Baitul Hikmah, dan pembakaran perpustakaan Pramoedya, kita sebenarnya melihat jalinan yang menghubungkan fiksi dan sejarah. Meskipun berasal dari konteks yang berbeda, ketiga peristiwa ini memiliki kesamaan yang kuat: penindasan terhadap pengetahuan dan kebebasan berpendapat.
Tragedi Ohara dalam One Piece adalah contoh nyata bagaimana fiksi bisa menggambarkan isu-isu penting. Dalam cerita itu, pencarian kebenaran berujung pada kehancuran, mirip dengan banyak individu dan kelompok dalam sejarah yang berjuang untuk mengungkap fakta namun menghadapi penindasan.
Di sisi lain, pembakaran Baitul Hikmah dan perpustakaan Pramoedya menunjukkan betapa rentannya pengetahuan di hadapan kekuatan yang ingin menindasnya. Keduanya mengingatkan kita bahwa sejarah tidak hanya tertulis dalam buku, tetapi juga dalam tindakan dan keputusan yang diambil oleh masyarakat.
Akhirnya, kita diingatkan bahwa setiap usaha untuk menindas pengetahuan akan berujung pada kerugian yang lebih besar bagi umat manusia. Keterkaitan antara fiksi dan sejarah mendorong kita untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku dalam menjaga dan melestarikan pengetahuan.
Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa suara-suara kritis dan pengetahuan yang berharga tidak akan pernah hilang, baik dalam dunia fiksi maupun kenyataan.
Penulis: Arianti Talib
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News