Bahan Bakar Minyak atau yang biasa disingkat dengan BBM telah menjelma menjadi kebutuhan pokok bagi kita saat ini.
Jumlah kebutuhannya pun semakin bertambah seiring dengan perkembangan waktu. Hampir setiap aktivitas dan pekerjaan, menuntut kita untuk terus melibatkan BBM sebagai penunjang dan penggerak di dalamnya.
Tak pandang siapa konsumennya, mulai dari orang yang berpenghasilan rendah hingga tinggi, mulai dari negara berkembang hingga negara maju, baik untuk keperluan individu sampai kebutuhan kolektif, semua membutuhkan ketersediaan dari BBM.
Terlebih pasca pandemi covid-19 yang menyerang hampir seluruh dunia, kembalinya sektor-sektor pekerjaan yang melibatkan BBM, semakin menunjukkan eksistensi dan kebermanfaatan bahan ini sebagai input atau energi masukan.
Hal ini tentu menimbulkan sebuah kondisi under supply dibandingkan dengan demand-nya atau kelebihan permintaan akibat gaya hidup dan kebutuhan yang semakin meningkat.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kekayaan alam berupa minyak. Namun, sangat disayangkan ketidakmampuan sumber daya manusianya untuk mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam tersebut, memaksa Indonesia untuk impor minyak dari negara lain.
Kondisi ini tentu turut memengaruhi harga jual karena menyelaraskan harga minyak dunia. Hal ini terlihat dari peristiwa konflik Rusia dan Ukraina beberapa waktu yang lalu membawa dampak yang cukup besar untuk dunia dan negara-negara di sekitarnya, termasuk dengan Indonesia.
Salah satu yang dapat kita hadapi dalam ranah kestabilan perekonomian adalah dengan meningkatnya harga minyak dunia yang otomatis berimbas pada harga BBM dalam negeri. Sehingga harga jual BBM dalam negeri tak bisa lagi sama seperti harga sebelum terjadinya kenaikan harga minyak dunia.
Kenaikan ini berimbas pula dengan harga jual yang diterima oleh konsumen, sehingga biaya konsumsi atau pengeluaran meningkat serta kemampuan daya beli menurun, terlebih untuk golongan masyarakat berdaya beli rendah.
Pemerintah sebagai regulator mau tidak mau akan merespon keadaan ini, karena pada dasarnya perekonomian dan segala aspek pendukung di dalamnya selalu berkaitan dengan pemerintah, terlebih saat terjadi kegagalan pasar.
Melalui berbagai proses tarik ulur mekanisme pasar dan proses serta berbagai upaya, pemerintah selalu berusaha untuk menciptakan keseimbangan pasar hingga pada kesejahteraan kehidupan masyarakat.
Dalam kondisi ini, subsidi adalah salah satu alternatif kebijakan untuk mengurangi kegagalan mekanisme pasar. Selain itu, subsidi juga digunakan untuk mendorong daya beli masyarakat agar tetap pada kondisi yang tidak jauh dari sebelumnya sehingga stabilitas harga masih dapat terpantau aman.
Subsidi juga dianggap sebagai alat yang dapat meminimalisasi ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat, utamanya kesenjangan masyarakat berdaya beli tinggi dan rendah.
Akibat dari permasalahan kebutuhan dan harga yang beriringan meningkat inilah, pemerintah merespon dengan menaikkan jumlah anggaran subsidi hingga tiga kali lipat dari jumlah semula, dengan niat baik agar masyarakat kelas bawah tetap memperoleh BBM dengan harga normal.
Namun sangat disayangkan, kenaikan subsidi tiga kali lipat masih belum mampu menutupi dan mengejar total harga permintaan BBM dari masyarakat.
Lagi dan lagi, kebijakan yang seharusnya menjadi solusi bagi permasalahan BBM malah membawa permasalahan baru.
Bagaimana tidak, subsidi yang semestinya jatuh pada golongan yang layak atau dalam kutip tidak mampu, malah dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali.
Banyaknya konsumsi BBM subsidi yang tinggi ini memicu penekanan pada anggaran negara hingga melebihi batasnya apabila diteruskan.
Tingginya permintaan dan penekanan anggaran negara inilah yang akhirnya mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan menaikkan harga BBM. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk menutupi defisit anggaran negara.
Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM sontak membuat masyarakat terkejut dan mengeluh. Memang keputusan ini bukan yang pertama kali dijadikan solusi, tetapi hal ini terus menimbulkan sikap kontra hingga pada penolakan secara langsung dari masyarakat itu sendiri.
Masyarakat memikirkan dampak selanjutnya yang akan terjadi setelah adanya kenaikan harga BBM sebagai bahan penunjang yang sangat penting dalam kehidupan.
Salah satu hal yang paling ditakuti adalah adanya susulan kenaikan harga pada komoditas lain. Dapat kita bayangkan kenaikan BBM yang berperan sebagai input dari sebuah pekerjaan (total cost), akan turut menaikkan harga output (price) yang dihasilkan atau dijual kepada konsumen.
Kita ambil contoh pada layanan ojek, saat bahan bakarnya naik, tarif harga yang dipasang kepada konsumen akan naik mengikuti.
Ketika kita berpikir lebih dalam, kenaikan harga BBM yang berimbas pada kenaikan harga kebutuhan atau komoditi lain ini dapat menyebabkan permasalahan mikro hingga makro dalam bidang perekonomian.
Bagaimana tidak, dalam lingkup mikro kenaikan kebutuhan ini akan berakibat pada penurunan permintaan masyarakat, utamanya golongan berdaya beli rendah.
Otomatis saat permintaan masyarakat menurun, pendapatan yang diterima oleh produsen pun turut menurun.
Ketika kita melihat dalam lingkup makro, kenaikan BBM ini dapat menurunkan GDP riil Indonesia, meningkatkan jumlah pengangguran, serta bisa pula berdampak pada inflasi.
Untuk itulah, saat ini pemerintah memperbaiki sistem bantuan yang ditujukan kepada golongan masyarakat berdaya beli rendah dengan cara memberikan bantuan tunai langsung dengan harapan dapat membantu mereka dalam menghadapi kondisi ekonomi.
Penulis: Veronica Febri Andini
ASP 1-04 PKN STAN