Bangunlah Mahasiswa

mahasiswa
Ilustrasi: istockphoto

Dari masa ke masa, waktu ke waktu, mahasiswa atau kaum intelektual muda yang tak pernah berhenti berjuang.

Terhitung dari tahun 1908 ketika para pemuda dan mahasiswa membuat suatu organisasi pergerakan yang diberi nama Boedi Oetomo, organisasi ini dibentuk tidak lain dan tidak bukan atas dasar keresahan, yang mana pemuda terdahulu sadar akan bagaimana mempertahankan kesejahteraan, kemakmuran, serta keadilan sosial.

Yang di mana terus berkelanjutan mulai aksi heroik di tahun 1966, 1974, hingga 1998. Di mana pada tahun itu aksi pemuda mampu menumpas segala bentuk ketidakadilan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Namun seiring berjalannya waktu, kini sikap mahasiswa terkikis oleh zaman, di mana para pemuda seolah sudah terkena Virus “APATISME”. Virus yang sudah menginfeksi mahasiswa pada masa sekarang ini. Terlihat pada kurangnya antusiasme mereka terhadap dinamika yang tejadi.

Terbukti dengan kurangnya minat mahasiswa untuk mengikuti organisasi mahasiswa (ORMAWA). Seketika itu pula menekankan, bahwa citra seorang mahasiswa lenyap. Mereka hanya akan menjadi robot-robot akademisi yang egois, luput akan asal-usulnya yang dilahirkan darimana, tak berguna memang.

Satu-satunya sikap yang diambil adalah merekonstruksikan marwah mahasiswa, yang tugasnya sebagai representasi masyarakat.

Mengutip dari catatan harian sosok tokoh pergerakan kampus, Soe Hok Gie berkata, “Hanya ada dua pilihan menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih menjadi manusia merdeka”. Hidup adalah soal pilihan, dan pilihan adalah menentukan sikap.

Begitu banyak sekali dinamika yang dihadapkan, contoh terdekat adalah persoalan kampus. Belum tentang eksternal kampus yang mewajibkan kita untuk turut serta terlibat di dalamnya. Menjadi mahasiswa tidak hanya kuliah, lalu pulang.

Bukan hanya sekadar mengejar IPK sehingga luput dari permasalahan yang ada. Mengingat tanggung jawab mahasiswa bukan hanya persoalan nilai atau akademik, namun jauh lebih besar dari itu.

Mendengar Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berbunyi Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian. Itu semua tidak terlepas dari fungsi dan peran mahasiswa, yang di mana mahasiswa harus bisa menjadi Agent of change, Agent of social, dan Agent of control.

Kalian semua merupakan cikal bakal pemimpin baru yang diharapkan mampu menjadi inisiator perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Apabila terdapat permasalahan di negara ini mahasiswa harus menjadi pioner untuk mengatasi permasalahan sehingga sanggup menjawab tantangan yang begitu berat, untuk kita mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kini, virus APATISME yang telah menggrogoti tubuh mahasiswa telah menjadikan pemuda keluar dari marwahnya, pemuda yang tidak lagi identik dengan KRITIK, melainkan pemuda yang hanya tunduk dan patuh pada segala bentuk penindasan.

Mengutip kata-kata dari bapak proklamator kita, Ir. Soekarno bahwa, “tujuan Pendidikan yaitu mempertajam pengetahuan, memperkuat kemauan, dan memperhalus perasaan.”

Pengetahuan bukan berarti hanya soal akademik dan IPK bagus, lalu mendapatkan pekerjaan layak, kemauan bukan berarti hanya mementingkan diri sendiri sehingga lupa bahwa kita merupakan representasi dari masyarakat namun kata “memperhalus perasaan” kini sirna, mereka lebih takut bahwa mereka hanya menjadi petani sawah ataupun tukang cangkul, sedangkan mereka lupa ketika mereka menjadi orang yang berlimpah harta pun mereka membutuhkan makan dari petani dan tukang gali kubur ketika mereka mati.

Mengutip dari catatan harian tokoh pahlawan revolusioner, Tan Malaka berkata, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”.

Jangan kau bilang mahasiswa itu agen perubahan jika melihat sikapmu hari ini. Apakah kamu peduli dengan temanmu yang tidak mampu bayar kuliah? Jangan sebut dirimu dewasa ketika melihat kemiskinan, kamu hanya prihatin dan iba! Sebenarnya, siapa dirimu mahasiswa?

Steve Jobs penemu Apple memutuskan untuk mengakhiri kuliahnya, Bill Gates memilih untuk mendirikan bisnis saja dan Mark Zuckerberg penemu Facebook memutuskan untuk keluar kampus tanpa gelar. Tiga pahlawan teknologi itu meneguhkan bukti betapa pendidikan tinggi adalah jamuan membosankan.

Tak ada petualangan, kurang mampu memayungi ide-ide segar dan menjauh dari kenyataan sosial. Perlu rasanya saya ingatkan kembali. Di ujung masa kuliahmu kau hanya mendapatkan selembar kertas yang berisikan transkrip dan selembar yang berisikan kata “selamat kau lulus”.

Masa depan tidak bisa ditentukan oleh selembar kertas itu. Kau harus ingat pengangguran sarjana itu ekornya sampai di barisanmu. Oleh karena teruslah mencari hal-hal baru, karena mahasiswa ketika selesai masanya dia harus bisa lebih dari sekadar peneliti, lebih dari sekadar pengajar. Tapi kalian harus bisa menjadi pemimpin.

Bagaimanakah kamu bisa lupa, bahwa jalanan itu dulu menjadi panggung para mahasiswa yang membawa ide perubahan, membawa ide pembangunan, mereka memenuhi jalan karena peduli, dan mengerti siapa mahasiswa.

Kini, tiang-tiang yang dulu membawa pesan dan ide untuk perubahan, sekarang tergantikan dengan wajah para politik untuk mengemis suara dan iklan kampus yang menawarkan segala fasilitas yang “katanya” menjanjikan lulus tepat waktu lalu mendapat pekerjaan layak.

Siapa yang bisa menjanjikan itu semua? Lihatlah perangai dosenmu, tanyakan pada mereka, apa kesibukannya selain mengajar? Mengapa mereka susah sekali ditemui? Lalu, di mana karya intelektual mereka selama ini? Tanyakan itu semua pada dosenmu.

Apakah kamu tidak geram? Kalian dituntut untuk patuh pada perintah mereka? Diatur pakaian kita, bahkan sampai rambut kita. Seolah mahasiswa harus berpenampilan rapi layaknya seorang melamar pekerjaan.

Buta kita semua atas keadaan rakyatnya sendiri. Orang miskin oleh fakultas agama dikatakan harus dikasihani dan ditolong. Fakultas ekonomi menyebut kemiskinan karena kemalasan dan rendahnya etos kerja. Fakultas hukum menyebutnya sebagai sasaran ketidakadilan. Lalu Fisip mengatakannya dengan efek pembangunan industri.

Singkatnya, kemiskinan hanya pantas diperlakukan dalam tiga langkah; mencintai, membantu, dan empati. Gelembung kemiskinan tak bisa dibicarakan dalam ruang kuliah yang wangi dan menawan. Biarkan orang miskin diperlakukan oleh kampus dengan bantuan beasiswa tanpa adanya aksi solidaritas dari sekitarnya.

Mengutip kata-kata Victor Serge, pesan untuk mahasiswa, “Kau ingin menjadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan hukum kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah di sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tak mengerti bahwa tugasmu adalah sangan berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam.”

Wildan atha N

Penulis: Wildan Atha N.
Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI