Behind the Story of Sunni vs Shia Conflict

Sunni vs Shia
Sumber Gambar: Obsession News.

Merujuk pada pekembangan zaman yang diiringi dengan penyebaran informasi yang begitu cepat, ketika suatu berita atau cerita mudah sekali menjadi pemantik dalam memicu konflik dan diterima secara utuh oleh para pembaca.

Menilik pada konflik Sunni dan Syiah, ketegangan konflik telah meyusup ke ranah politik dan sosial di kawasan Timur Tengah. Konflik ini menimbulkan adanya potensi perpecahan yang dapat berimbas pada ranah-ranah lainnya.

Perdebatan yang terus meluas menilai bahwa konflik ini bukanlah sekadar perbedaan kepercayaan saja, melainkan juga melibatkan aspek historis dan pengaruh regional yang kompleks. Jika membaca berita mengenai Sunni dan Syiah sudah pasti yang terlintas adalah konflik mengenai agama, padahal bukan hanya agama yang digulingkan dalam konflik tersebut.

Bacaan Lainnya
DONASI

Motif utama pemicu konflik ini adalah kekuasaan yang didapatkan dengan cara melegitimasi dan meraih kepercayaan dengan cara mengeruhkan politik dan isu agama. Kemudian, timbulah penyimpangan yang didukung dengan propaganda agama yang kontroversial.

Perdebatan dimulai dengan munculnya perbedaan perspektif yang dipicu oleh sejarah Islam. Esensi perdebatan ini adalah perselisihan jawaban dari pertanyaan suksesi kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dari pertanyaan tersebut, timbulah berbagai jawaban dan perspektif yang berbeda-beda di antara kaum yang kemudian menjadi penyebab konflik.

Perspektif Sunni yang berasal dari negara Arab Saudi, Mesir, dan Turki mempercayai bahwa pewaris kepemimpinan Islam sebaiknya dipilih melalui pemilihan. Sedangkan, perspektif Syiah yang berasal dari negara Iran dan Irak menilai bahwa pewaris kepemimpinan Islam sudah seharusnya berasal dari garis keturunan langsung Nabi.

Kedua perspektif ini memicu konflik politik regional dan semakin diperparah dengan pengaruh perebutan kekuasaan di Timur Tengah. Dalam merespons konflik ini, terdapat tendensi yang besar diantara Arab Saudi dan Iran.

Kedua negara tersebut juga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dan kelompok-kelompok yang semakin memperpanjang konflik. Akibatnya, konflik semakin panas, meningkatkan kekerasan, memperumit upaya perdamaian, dan mengguncang stabilitas kawasan Timur Tengah.

Konflik Sunni-Syiah sering kali tercermin dalam berbagai konflik regional yang lebih besar. Di Suriah, perang saudara antara rezim yang didukung oleh Iran dan pemberontak yang didukung oleh Arab Saudi telah menyebabkan penderitaan massal dan memicu krisis pengungsi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ketegangan ini bukan hanya tentang perbedaan perspektif. Konflik antara Sunni dan Syiah telah menjadi semakin dipolitisasi dan dieksploitasi oleh kelompok-kelompok ekstremis untuk menciptakan konflik yang lebih besar, menyebarkan ideologi kebencian, dan memperkuat agenda mereka sendiri.

Ketika kita memahami dan menggali lebih dalam akar dari konflik ini, kita menyadari bahwa konflik Sunni-Syiah memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar perbedaan keyakinan. Ini tentang politik, kekuasaan, pengaruh regional, dan perjuangan geopolitik.

Untuk menemukan jalan keluar dari lingkaran konflik yang tak berujung ini, langkah-langkah diplomasi, dialog antar-agama, dan komitmen untuk memahami perbedaan serta membangun toleransi menjadi sangat penting.

Perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah tidak akan terwujud kecuali jika kita mampu mengatasi konflik yang telah menghambat pertumbuhan, keamanan, dan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah ini.

Penulis: Raisa Adisti
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI