Bullying dan hate speech di kalangan pemuda menjadi permasalahan sosial yang semakin memprihatinkan, terutama pada era digital seperti saat ini.
Kemajuan teknologi dan media sosial memberikan kemudahan bagi individu untuk berkomunikasi, namun juga membuka peluang bagi perilaku merugikan seperti perundungan dan ujaran kebencian.
Pada tahun 2024, JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia) melaporkan adanya 573 insiden kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah, dan pesantren.
Kekerasan atau bullying tetap menjadi masalah utama, dengan 285 kasus bullying tercatat pada tahun 2023.
Kedua tindakan ini tidak hanya berdampak pada kondisi psikologis korban, tetapi juga memengaruhi lingkungan sosial secara keseluruhan.
Rasa takut, rendah diri, hingga depresi sering kali dialami oleh korban bullying dan hate speech, yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan pribadi serta interaksi sosial mereka.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, terutama generasi muda, untuk lebih memahami dampak negatif dari perilaku ini dan membangun budaya komunikasi yang lebih positif dan inklusif.
Bullying adalah suatu perilaku yang dilakukan dengan sengaja untuk menyakiti atau merendahkan orang lain, baik melalui tindakan langsung maupun dengan cara yang tidak tampak jelas.
Di kalangan remaja, perilaku ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti perundungan fisik maupun verbal.
Bullying bisa terjadi di lingkungan sekolah, media sosial, atau bahkan dalam pergaulan sehari-hari.
Dampaknya sangat serius, di mana korban bisa merasa terasingkan, kehilangan rasa percaya diri, hingga mengalami depresi.
Perilaku ini sering kali berakar pada sikap intoleransi atau perasaan lebih unggul terhadap individu yang dianggap berbeda, baik dari segi fisik, latar belakang, keyakinan, maupun orientasi tertentu.
Di sisi lain, hate speech atau ujaran kebencian di kalangan remaja semakin marak seiring dengan perkembangan platform media sosial.
Ujaran kebencian ini dapat berupa serangan terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan ras, agama, gender, atau pandangan politik.
Fenomena ini sering kali memperburuk polarisasi sosial, bahkan berpotensi memicu konflik dan ketegangan dalam masyarakat.
Pemuda yang terus-menerus terpapar hate speech dapat mengembangkan sikap tidak toleran terhadap perbedaan, yang pada akhirnya dapat melemahkan keharmonisan sosial.
Penyebab utama dari bullying dan hate speech ini sering kali berkaitan dengan kurangnya pemahaman tentang empati dan toleransi.
Banyak pelaku yang tidak menyadari bahwa tindakan dan perkataan mereka dapat memberikan dampak emosional yang mendalam bagi korban.
Dalam beberapa kasus, pemuda mungkin menganggap bullying dan hate speech sebagai sesuatu yang biasa atau bahkan sebagai bentuk hiburan tanpa memahami konsekuensi jangka panjangnya.
Selain itu, faktor lingkungan keluarga, pendidikan, dan media sosial turut berperan besar dalam membentuk pola pikir serta perilaku mereka.
Lingkungan keluarga yang kurang harmonis atau minim edukasi tentang pentingnya menghargai perbedaan dapat menjadi pemicu terbentuknya sikap intoleran.
Begitu pula dengan sistem pendidikan yang kurang menanamkan nilai-nilai moral dan sosial sejak dini, yang membuat pemuda tidak memiliki kesadaran penuh akan pentingnya menghormati orang lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putri dkk. (2022) dalam artikel Pemahaman Mengenai Tindak Bullying and Hate Speech di Kalangan Pemuda Indonesia, terungkap bahwa tingkat pemahaman pemuda Indonesia terhadap konsep bullying dan hate speech masih tergolong rendah.
Dari hasil survei, hanya 38% responden mahasiswa yang memahami definisi hukum mengenai hate speech, sementara 62% lainnya masih menganggap tindakan cyberbullying sekadar candaan tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya terhadap korban.
Media sosial dapat memperburuk masalah ini karena memberikan ruang bagi individu untuk bersembunyi di balik anonimitas.
Banyak pemuda yang merasa aman dan terlindungi di balik layar, sehingga mereka lebih mudah mengungkapkan ujaran kebencian tanpa merasa takut akan konsekuensinya.
Ditambah lagi, algoritma media sosial sering kali memperkuat konten-konten negatif, membuat pengguna semakin terpapar dengan ujaran kebencian dan perundungan daring, yang pada akhirnya dapat memperburuk kondisi sosial di masyarakat.
Contoh kasus yang belum lama ini pernah terjadi di Indonesia yaitu pada Januari 2025, terjadi kasus perundungan di SMP Al Tamimi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Insiden ini melibatkan empat siswa kelas 9 yang melakukan tindakan kekerasan terhadap teman sekelas mereka, YW.
Peristiwa bermula dari saling dorong dan perebutan jaket milik YW, yang kemudian berujung pada tindakan kasar, termasuk menurunkan celana korban serta melakukan kekerasan fisik lainnya.
YW, yang merupakan yatim piatu dan tinggal bersama neneknya, mengalami trauma mendalam akibat kejadian tersebut dan menolak untuk kembali ke sekolah.
Kasus ini akhirnya diselesaikan melalui mediasi yang melibatkan pihak sekolah, keluarga korban, dan organisasi terkait, dengan penekanan pada pentingnya kesadaran akan bahaya bullying.
Pencegahan bullying dan hate speech di kalangan pemuda memerlukan kesadaran akan pentingnya empati, toleransi, dan sikap saling menghormati.
Pemuda harus memahami dampak dari tindakan mereka serta belajar menyelesaikan konflik secara sehat.
Pendidikan karakter dan kampanye anti-bullying di media sosial juga dapat membantu membangun budaya komunikasi yang lebih positif.
Selain itu, pemanfaatan media sosial harus dilakukan dengan bijak.
Pemuda perlu berpikir sebelum berbicara atau berkomentar agar tidak menyebarkan ujaran kebencian yang dapat merugikan orang lain.
Pemuda juga harus diajarkan untuk menghargai perbedaan, memahami dampak dari tindakan mereka terhadap orang lain, serta menyadari bahwa setiap individu memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat.
Dengan membangun lingkungan yang saling mendukung, risiko bullying dan hate speech dapat diminimalkan.
Selain itu, pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai moral dan etika dalam berkomunikasi sangat penting untuk membangun lingkungan yang sehat.
Kampanye anti-bullying dan hate speech melalui media sosial maupun komunitas juga dapat membantu menyebarkan pesan positif serta meningkatkan kesadaran tentang bahaya perundungan dan ujaran kebencian.
Dengan membangun budaya saling menghormati dan menyelesaikan konflik dengan cara yang bijak, pemuda dapat terhindar dari sikap agresif yang berujung pada bullying atau hate speech.
Peran media sosial juga tidak bisa diabaikan. Platform digital harus digunakan secara bijak untuk menyebarkan hal-hal positif, bukan sebagai sarana untuk merendahkan atau menyebarkan kebencian terhadap orang lain.
Kesadaran untuk berpikir sebelum berbicara atau berkomentar di dunia maya sangat penting agar interaksi sosial tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi orang lain.
Bullying dan hate speech merupakan masalah serius yang dapat berdampak negatif pada korban maupun masyarakat secara luas.
Perilaku ini sering kali berakar dari kurangnya empati, toleransi, serta pengaruh lingkungan yang tidak mendukung nilai-nilai positif.
Oleh karena itu, pencegahan harus dilakukan melalui edukasi, kesadaran sosial, dan pemanfaatan media dengan bijak.
Setiap individu memiliki peran dalam menciptakan lingkungan yang aman dan menghormati perbedaan.
Dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan, melaporkan tindakan bullying, serta membangun komunitas yang suportif, kita dapat membantu mengurangi kasus perundungan dan ujaran kebencian.
Bersama-sama, kita dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat dan harmonis bagi semua.
Sebagai solusi, penelitian Putri dkk. (2022) mengusulkan beberapa inovasi yang dapat diterapkan untuk mengurangi praktik bullying dan hate speech.
Di antaranya adalah program “Digital Empathy,” yaitu pelatihan penggunaan media sosial yang menanamkan nilai empati kepada peserta.
Selain itu, materi anti-bullying juga direkomendasikan untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum bimbingan konseling di sekolah, serta adanya sistem pelaporan terpadu berbasis aplikasi yang menjamin perlindungan identitas korban.
Implementasi nyata dari pendekatan ini terlihat pada program peer educator di SMA Negeri 3 Jakarta pada tahun 2024.
Program ini berhasil menurunkan angka kasus bullying sebesar 40% dalam kurun waktu enam bulan melalui diskusi rutin, pembentukan komunitas anti-hate speech di platform TikTok, serta kolaborasi dengan psikolog sekolah untuk pendampingan korban.
Penelitian ini menegaskan bahwa penanggulangan bullying dan hate speech memerlukan keterlibatan semua pihak, baik institusi pendidikan, pemuda, maupun orang tua.
Dengan sinergi antara individu, komunitas, dan kebijakan yang tepat, diharapkan ruang digital bagi generasi muda dapat menjadi lebih aman, sehat, dan membangun karakter yang kuat.
Penulis:
1. Violen Calista
2. Ogus Stanly Thio
3. Kelly Chou
4. Jasmine Tio
5. Ezy Jonathan
6. Bintana Wirasabilillah
7. Jacsen Tan
8. Chelsea Olivia Johan
9. Kelly
10. Celine Lu
11. Erica Jesslyn
12. Zulham Kurniawan
Mahasiswa Universitas Internasional Batam
Daftar Pustaka
GoKepri. (2022, Mei 29). Pemahaman mengenai bullying and hate speech di kalangan remaja. Diakses pada 17 Maret 2025, dari https://gokepri.com/pemahaman-mengenai-bullying-and-hate-speech-di-kalangan-remaja/
Hutagaol, R. W., & Tim Penulis. (2022). Bullying dan hate speech di kalangan pemuda. Prosiding National Conference for Community Service Project (NaCosPro), 4(1), 549-550. Diakses pada 17 Maret 2025, dari https://journal.uib.ac.id/index.php/nacospro/article/download/7004/2635
KBR. (2024, Maret 27). JPPI 2024: Kekerasan di lingkungan pendidikan melonjak lebih dari 100 persen. KBR. Diakses pada 17 Maret 2025, dari https://kbr.id/berita/terbaru/jppi-2024-kekerasan-di-lingkungan-pendidikan-melonjak-lebih-dari-100-persen
Media Mahasiswa Indonesia. (2025). Bullying dan Hate Speech di Kalangan Pemuda. Diakses pada 17 Maret 2025, dari https://mahasiswaindonesia.id/bullying-dan-hate-speech-di-kalangan-pemuda/
Tribun Tipikor. (2025, Januari 20). Kasus perundungan di SMP Al Tamimi Kabupaten Bandung: Mediasi berjalan damai dengan pesan penting tentang bahaya bullying. Diakses pada 17 Maret 2025, dari https://tribuntipikor.com/2025/01/20/kasus-perundungan-di-smp-al-tamimi-kabupaten-bandung-mediasi-berjalan-damai-dengan-pesan-penting-tentang-bahaya-bullying/
Putri, A., Sagita, R. P., & Hutagalung, F. (2022). Pemahaman mengenai tindak bullying and hate speech di kalangan pemuda Indonesia. NaCosPro (National Conference of Social & Political Issues), 4(1), 648–661. https://journal.uib.ac.id/index.php/nacospro/article/view/7019
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News