Abstrak
Artikel ini membahas bagaimana media sosial telah mengubah pola interaksi sosial masyarakat perkotaan secara signifikan. Dalam konteks sosiologis, media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga ruang sosial baru yang memengaruhi cara individu membangun relasi, mempersepsi identitas, dan membentuk solidaritas.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi literatur, artikel ini menunjukkan bahwa media sosial telah menciptakan transformasi dalam interaksi sosial yang bercirikan intensitas komunikasi digital, individualisasi relasi, dan munculnya komunitas virtual.
Dampak tersebut memiliki sisi positif seperti perluasan jaringan sosial dan pertukaran informasi cepat, namun juga menimbulkan tantangan berupa menurunnya kedalaman relasi antarindividu dan meningkatnya kesenjangan digital.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi digital, terutama media sosial, telah menjadi fenomena global yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk cara masyarakat berinteraksi.
Di kawasan perkotaan, di mana mobilitas tinggi dan waktu menjadi komoditas berharga, media sosial hadir sebagai solusi instan untuk menjalin dan mempertahankan relasi sosial. Namun, perubahan ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga membawa konsekuensi sosiologis yang mendalam.
Masyarakat kota yang sebelumnya bergantung pada tatap muka dalam berinteraksi kini mulai beralih ke komunikasi digital yang lebih cepat dan praktis. Pertanyaannya adalah, apakah perubahan ini memperkuat atau justru melemahkan kualitas hubungan sosial? Bagaimana media sosial memengaruhi pola komunikasi, keintiman, dan solidaritas dalam komunitas urban?
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sosiologis bagaimana media sosial mengubah pola interaksi sosial masyarakat perkotaan serta menelaah konsekuensi dari transformasi ini terhadap dinamika sosial di era digital.
Kerangka Teoretis
Dalam kajian sosiologi, interaksi sosial merupakan dasar dari pembentukan struktur sosial. Menurut Erving Goffman, kehidupan sosial dapat dipahami sebagai “pertunjukan” di mana individu memainkan peran dalam berbagai situasi.
Media sosial memperluas panggung ini ke dunia maya, menciptakan versi digital dari interaksi sosial. Selain itu, teori Jaringan Sosial (Social Network Theory) oleh Barry Wellman juga relevan dalam menjelaskan bagaimana hubungan sosial menjadi lebih berjejaring dan terfragmentasi melalui teknologi digital.
Baca juga: Kunci Sukses Bangun Karakter Moral di Tengah Gempuran Teknologi Digital
Anthony Giddens dalam konsep “modernitas terlambat” menyatakan bahwa masyarakat kontemporer mengalami disembedding, yaitu pelepasan interaksi sosial dari konteks lokal. Media sosial adalah salah satu bentuk konkret dari disembedding ini, karena memungkinkan komunikasi lintas ruang dan waktu tanpa pertemuan fisik.
Transformasi Pola Interaksi Sosial di Perkotaan
1. Perluasan Jaringan Sosial
Media sosial memungkinkan individu memperluas relasi melebihi batas geografis. Hal ini membuka akses ke informasi, peluang kerja, bahkan solidaritas lintas komunitas. Namun, perluasan ini sering kali bersifat superfisial, tanpa ikatan emosional yang kuat.
2. Individualisasi dan Representasi Diri
Interaksi di media sosial cenderung lebih berpusat pada representasi diri. Masyarakat kota berlomba menampilkan citra ideal tentang kehidupan mereka. Hal ini dapat mengaburkan batas antara realitas dan ilusi sosial, serta memengaruhi keaslian interaksi sosial.
3. Komunitas Virtual dan Solidaritas Baru
Munculnya komunitas berbasis minat di media sosial mengubah pola solidaritas dari yang bersifat teritorial menjadi asosiasional. Komunitas ini dapat sangat aktif secara digital, meskipun para anggotanya jarang bertemu secara langsung.
4. Menurunnya Interaksi Tatap Muka
Kesibukan dan kenyamanan teknologi mendorong masyarakat untuk lebih banyak berinteraksi secara daring daripada luring. Hal ini menyebabkan menurunnya frekuensi dan kualitas interaksi langsung, yang sebelumnya menjadi landasan hubungan sosial yang kuat.
Polarisasi dan Fragmentasi Sosial Algoritma media sosial dapat menciptakan “echo chamber” yang memperkuat pandangan tertentu dan melemahkan dialog lintas perbedaan. Akibatnya, masyarakat perkotaan menjadi lebih terpolarisasi dan kurang toleran terhadap keberagaman opini.
Dampak Positif dan Negatif
1. Dampak Positif:
- Mempermudah komunikasi dalam jaringan sosial yang kompleks.
- Meningkatkan partisipasi sosial dan kesadaran terhadap isu-isu publik.
- Menyediakan ruang ekspresi diri dan kreativitas bagi individu.
2. Dampak Negatif:
- Relasi sosial menjadi dangkal dan transaksional.
- Meningkatnya kecemasan sosial dan isolasi digital.
- Ancaman terhadap privasi dan keamanan data pribadi.
Simpulan
Media sosial telah menciptakan perubahan mendasar dalam pola interaksi sosial masyarakat perkotaan. Interaksi yang dahulu terikat oleh ruang dan waktu kini menjadi lebih cair, cepat, namun juga rentan kehilangan makna mendalam.
Relasi sosial menjadi semakin individualistik dan berbasis citra, sementara solidaritas mengalami pergeseran dari komunitas lokal ke komunitas virtual. Perubahan ini tidak sepenuhnya negatif, tetapi memerlukan kesadaran kritis agar media sosial digunakan secara bijak dan tetap mendukung kohesi sosial.
Secara sosiologis, fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi tidak netral; ia membentuk dan dibentuk oleh struktur sosial yang ada. Oleh karena itu, penting untuk terus mengkaji dampak jangka panjang media sosial terhadap kehidupan sosial masyarakat, khususnya di wilayah urban yang menjadi pusat modernisasi dan transformasi sosial.
Penulis: Rosalin Tan Subay
Mahasiswa Sosiologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News