Dinamika Arab Israel Pasca Arab Spring

Arab Israel Arab Spring

Penyerangan pemimpin ISIS Abu Bakr Al-Baghdadi pada Minggu 27 Oktober 2019 oleh tentara AS menjadi babak baru konflik panjang yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Penyerangan yang disaksikan langsung oleh Presiden AS Donald Trump dari situation room di Washington DC tersebut, menurut Donald Trump, merupakam hasil kerja banyak pihak (MSNBC, 27 Oktober 2019).

Trump dalam pidatonya pasca serangan yang disebut mampu melumpuhkan pemimpin ISIS tersebut menyampaikan terima kepada Rusia, Turki, Suriah, Irak dan Kelompok Kurdi Suriah. Dari pidato Trump terdapat sebuah fakta menarik terkait penyebutan secara spesifik kelompok Kurdi sebagai pihak yang membantu misi AS dalam menumpas ISIS di Timur Tengah, khususnya di wilayah Suriah.

Kelompok Kurdi yang beroperasi di wilayah Suriah disebut dengan sebutan SDF (Syrian Democratic Forces) merupakan kelompok militer yang dibentuk oleh YPG (Kelompok Pembela Rakyat Kurdi) untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah daerah otonomi khusus bagi etnis Kurdi di wilayah Suriah (Al Jazeera, 15 Oktober 2019).

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Sejarah Penemuan Minyak di Arab Saudi dan Dampaknya

Sebelum peristiwa serangan terhadap pemimpin ISIS berlangsung, pemerintah Turki memutuskan melakukan  serangan militer ke wilayah Suriah. Dari wilayah perbatasan Akcakale, Turki membombardir wilayah yang dikuasai  pasukan SDF dengan menggunakan serangan udara disusul serangan darat dengan bantuan tentara Free Syrian Army (FSA) (Yeni Safak, Oktober 2019; New York Times, 9 Oktober 2019).

Serangan militer Turki terjadi tidak lama setelah pasukan Amerika Serikat memutuskan untuk meninggalkan Suriah. Menurut Sekretaris Pertahanan AS, Mark Esper dalam keterangannya kepada CBS News bahwa “Posisi Amerika Serikat sudah tidak tertahankan lagi untuk keluar dari Suriah” untuk menjelaskan alasan dibalik keluarnya tentara AS yang berjumlah sekitar 1,000 orang yang selama ini ditugaskan untuk memerangi ISIS dengan menggandeng SDF (Al Monitor, 13 Oktober 2019).

Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan apa yang terjadi di Suriah dan sekitarnya saat ini. Keterlibatan negara-negara besar dalam konflik bersenjata di Suriah tampak kasat mata. Kendati demikian, negara-negara besar berupaya untuk menghindari konfrontasi langsung dengan negara besar lainnya. Oleh sebab itu maka kekerasan di kawasan ini sangat sulit diurai karena banyaknya tekanan eksternal.

Baca Juga: Kelompok Kurdi Syiah, Sunni, Asyur, Suku Arab di Irak, Maslawi

Tulisan ini berupaya menganalisa secara mendalam pola konflik yang terjadi di Suriah dan sekitarnya dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan menjelaskan bagaimana perang proxy atau ‘proxy warfare’ terjadi serta pihak-pihak yang terlibat dalam perang proxy.

Pada bagian awal tulisan, dijelaskan tentang sejarah awal Arab Spring yang memiliki dampak langsung bagi Suriah, kemudian dilanjutkan dengan analisa seputar reaksi aktor politik domestik yang tidak memiliki pandangan yang sama tentang transisi menuju demokrasi yang berujung pada konflik bersenjata. Di tengah konflik bersenjata yang berkepanjangan aktor internasional terlibat langsung dalam perang proxy, terutama Amerika dan Rusia.

Diikuti oleh aktor kawasan lainnya yang berada dalam posisi berseberangan dalam opsi penciptaan perdamaian di Suriah yang telah memakan korban ratusan ribu jiwa diikuti dengan jutaan pengungsi tersebar di Timur Tengah dan Eropa. Pada bagian akhir menawarkan sejumlah rekomendasi yang perlu untuk diimplementasikan guna mempercepat proses perdamaian di Suriah dan kawasan.

Pasca Arab Spring bukanlah sebuah fenomena baru di kawasan timur tengah, hal ini sudah terjadi sejak zaman jahiliyah di mana sering terjadi peperangan dan perebutan kekuasaan dan wilayah di antara mereka, akan tetapi terjadi pergeseran budaya dalam masyarakat Arab di sini yaitu kelompok kekerabatan yang merupakan ciri kelompok mereka sering disebut juga dengan kabilah telah bergeser menjadi kelompok okupasional yang lebih heterogen dengan kesamaan tujuan yang mampu mempengaruhi dan menggabungkan kelompok-kelompok tradisional.

Baca Juga: Diplomasi Arab-Israel Palestina-Israel: Konflik atau Penjajahan? Agama atau Politik?

Gerakan inilah yang menjadi dinamika kelompok sosial dengan kekuatan yang sudah disusun dalam kurun waktu tertentu karena masing-masing kelompok mempunyai rekam jejaknya masing-masing. Tetapi untuk merumuskan tatanan baru yang sangat diharapkan pasca Arab Spring perlu untuk kembali melihat rumusan pranata masyarakat Arab setidaknya dalam artikel ini diusulkan tiga langkah yang diharapkan mampu mengembalikan stabilitas kawasan ini, yaitu nilai dan norma, pola perilaku dan sistem hubungan yang sangat diharapkan Liga Arab mampu dan mau mengambil peranan ini sebagai institusi.

Nabilah Faradisah
Mahasiswa Bahasa dan Kebudayaan Arab
Universitas Al Azhar Indonesia

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI