Baduy adalah salah satu desa yang ada di Indonesia di wilayah Provinsi Banten Kabupaten Lebak Kecamatan Leuwidamar di Desa Kanekes (Cibeo). Suku Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda yang memiliki dua wilayah, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Kedua wilayah ini memiliki adat istiadat yang cukup ketat, salah aturan yang cukup terkenal adalah tidak diperkenankan untuk menggunakan dan memiliki teknologi, mengatur tata cara berpakaian dan tata cara hidup. Namun, pada Baduy dalam memiliki aturan yang cukup ketat untuk menjalankannya dibandingkan dengan Baduy Luar.
Baduy merupakan desa tradisional atau pra desa yang tipe desa pada masyarakatnya adalah suku terasing yang keseluruhan kehidupan masyarakatnya masih sangat bergantung kepada alam sekitarnya. Pada masyarakat Baduy interaksi cenderung tertutup atau kurang berkomunikasi dengan daerah lain.
Dengan demikian, sistem perhubungan dan pengangkutan tidak berkembang. Suku Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Prof. H. Judistira K. Garna, Ph.D., 1993).
Etnografi Garna tentang Kebudayaan Baduy
Suku Baduy dikenal sebagai penganut agama Sunda Wiwitan yaitu suatu kepercayaan lokal. Kepercayaan Sunda Wiwitan adalah aliran pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang biasa disebut animisme dan dinamisme. Wiwitan sendiri berarti sebagai awalan.
Jadi Sunda Wiwitan ini diyakini sebagai ‘agama’ masyarakat Sunda pada masa lampau. Meskipun begitu, Sunda Wiwitan juga tak lepas dari konsep monoteisme karena terdapat kekuasaan tertinggi yakni Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Sang Hyang Kersa adalah Dewa atau Tuhan Yang Maha Esa (setara dengan Maha Adhi Parabrahman dalam agama Hindu) yang diyakini oleh para pemeluk agama Sunda Wiwitan.
Ajarannya mendasarkan kepada kepercayaan atau ajaran Sunda Kuno yang dikenal dengan Pikukuh Tilu. Dalam ajaran Pikukuh tilu ini tersusun ajaran hubungan Trilogis, yaitu hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam. Kanekes mempercayai adanya Tuhan dan malaikat serta para nabi.
Kehidupan masyarakat Baduy sangat sederhana dan selalu menjaga kelestarian alam karena, hal tersebut menjadi salah satu cara ibadah dan rukun Sunda Wiwitan.
Konsep ketuhanan Sunda Wiwitan Suku Baduy serta sistem keagamaannya sangat jelas, mereka percaya dan meyakini kepada satu Tuhan “Gusti nu Maha Suci Allah nu Maha Kuasa” dan mereka meyakini sebagai umat Nabi Adam serta mengakui Nabi Muhammad sebagai saudara muda dari Nabi Adam.
Sunda Wiwitan ini merupakan agama sinkretis antara Islam dan Hindu. Serta, merupakan hasil akulturasi, yakni adanya perpaduan antara agama lokal Suku baduy dan agama Islam, Baduy dibagi menjadi dua yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Baduy Luar merupakan orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan Suku Baduy. Tidak seperti Baduy Luar, warga Baduy Dalam masih memegang teguh pada adat istiadat nenek moyang. Mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar.
Namun, pada era ini kemurnian masyarakat Baduy sudah mulai luntur karena beberapa faktor, salah satu faktor yang paling memberikan dampak adalah faktor interaksi yaitu karena interaksi dengan masyarakat luar Baduy.
Interaksi masyarakat Baduy dengan masyarakat luar atau para travel (wisata) memberikan suatu dampak perubahan sosial bagi masyarakat Baduy sendiri. Sehingga telah terjadi islamisasi dan modernisasi yang masuk dalam Suku Baduy membuat sedikit perubahan dalam kehidupan masyarakat Suku Baduy terutama Baduy Luar.
Baduy telah terkenal sebagai destinasi wisata budaya di Indonesia, sehingga membuat interaksi antara orang-orang Baduy berubah menjadi dinamis. Akibat dari interaksi ini akan ada dampak yang cukup signifkan terhadap masyarakat Baduy, salah satunya adalah tata cara berpakaian.
Masyarakat Baduy Luar adalah salah satu yang mengalami perubahan sosial yang cukup cepat karena pada dasarnya di wilayah ini mempunyai aturan adat yang cukup longgar dibandingkan Baduy Dalam. Orang Baduy Luar memakai pakaian khas, yaitu dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala berwarna biru.
Namun, pada hasil pengamatan obervasi penulis melihat bahwa saat ini sebagian besar orang-orang Baduy Luar sudah tidak memakai pakaian khas mereka, yaitu pakaian serba hitam dan ikat kepala hitam.
Saat ini mereka sudah memakai pakaian seperti orang di luar Baduy pada umumnya dan orang Baduy Luar sudah terbiasa memakai alas kaki.
Dalam hal tata cara berpakaian, orang Baduy Luar sudah mengalami perubahan sosial karena interaksi yang intensif dengan para pengunjung wisata dan hal ini bisa dilihat dari cara berpakaian orang Baduy Luar yang sudah memakai baju orang luar Baduy pada umumnya.
Pada masyarakat Baduy Dalam masih menerapkan sistem adat yang cukup ketat dan harus dipatuhi oleh semua masyarakatnya. Untuk aturan tata cara berpakaian, masyarakat Baduy Dalam diwajibkan memakai baju dengan ciri khas warna putih alam dan ikat kepala warna putih.
Pada hasil pengamatan obervasi penulis selama di Baduy Dalam, tepatnya di Kampung Cibeo, terlihat bahwa seluruh masyarakat Baduy Dalam masih memakai pakaian khas mereka, yaitu dengan baju berwarna putih dan ikat kepala putih dan masyarakatnya tidak memakai alas kaki atau bias dikatakan masih mengikuti aturan adat.
Ketika selama proses pengambilan data wawancara dan obervasi di Baduy, proses penggunaan bahasa sedikit terkendala karena ada beberapa masyarakat Baduy yang tidak berbahasa Indonesia dengan baik. Namun, tidak banyak pula masyarakat Suku Baduy yang sudah fasih menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Untuk penggunaan bahasa sendiri, terdapat perbedaan proporsi antara Baduy Luar dan Dalam. Di wilayah Baduy Luar atau tepatnya di Kampung Kaduketuk yang letaknya sangat dekat dengan terminal Ciboleger masih terlihat banyak warga yang bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Namun ketika sampai di tempat bermalam atau tepatnya di Desa Kaduketer, sebagian warganya cukup tertutup dan belum lancar untuk menggunakan bahasa Indonesia.
Ketika sampai di desa ini, pengunjung lebih baik menggunakan bahasa Sunda untuk mempermudah komunikasi karena jika pengunjung memaksakan menggunakan bahasa Indonesia, maka itu akan menyulitkan proses komunikasi.
Pendapat Hasil Pengambilan Observasi di Baduy, Terdapat Perbedaan Dinamika Budaya Baduy Dalam dan Baduy Luar. Yaitu sebagai berikut:
1. Tradisi dan Norma Adat
Baduy Dalam secara tradisi dan norma masih berpegang teguh terhadap adat istiadat nenek moyangnya. Sedangkan, Baduy Luar secara tradisi dan norma telah dipengaruhi oleh budaya modern.
2. Ciri Khas Suku Baduy
Baduy Dalam memiliki ciri khas berpakaian yaitu memakai baju warna putih, ikat kepala warna putih, dan tidak memakai alas kaki. Sedangkan, Baduy Luar memiliki ciri khas yaitu dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala berwarna biru dan menggunakan alas kaki.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam adat Suku Baduy adalah memelihara dan menjaga alam dengan tidak mengubah, apalagi merusaknya. Baduy dalam masih menjunjung tinggi nilai kearifan lokal. Sedangkan Baduy Dalam mengalami perubahan sosial terjadi proses islamisasi dan modernisasi untuk menuju era globalisasi.
Dikarenakan faktor interaksi sosial, salah satu faktor yang paling memberikan yaitu karena interaksi dengan masyarakat luar Baduy. Interaksi masyarakat Baduy dengan masyarakat luar atau para travel (wisata) memberikan suatu dampak perubahan sosial bagi masyarakat Baduy sendiri.
Penulis: Revly Haiqal Bais (11230150000073)
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News