Efek Diderot dan Perangkap Konsumsi: Mengapa Satu Pembelian Mengarah ke Lainnya?

Efek Diderot dan Perangkap Konsumsi: Mengapa Satu Pembelian Mengarah ke Lainnya?
Sumber: freepik.com

Pernah ngga sih, awalnya hanya ingin membeli satu barang, tetapi berakhir dengan membeli lebih banyak dari yang direncanakan?

Misalnya, kamu membeli hoodie baru, lalu merasa celana yang kamu miliki tidak cocok dengan hoodie tersebut, dan akhirnya membeli celana, lalu berpikir, “Wah, sepatunya juga harus nyambung nih.”

Nah, selamat! Kamu baru saja masuk ke dalam yang namanya Efek Diderot, yaitu sebuah konsep psikologis dan sosial yang mejelaskan bagaimana satu pembelian dapat memicu rangkaian pembelian lainnya demi menjaga konsistensi atau estetika gaya hidup.

Artikel ini akan membahas apa itu Efek Diderot, bagaimana cara kerjanya, dampaknya terutama bagi mahasiswa dengan anggaran terbatas, serta bagaimana cara menghindarinya.

Bacaan Lainnya

Apa Sih Efek Diderot Itu?

Mengutip buku Atomic Habits karya James Clear, istilah “Diderot Effect” berasal dari kisah Denis Diderot, seorang filsuf Prancis abad ke-18.

Suatu hari, Diderot mendapat hadiah jubah mewah. Tapi karena jubah itu terlihat terlalu “wah” dibanding barang-barang di rumahnya, dia mulai mengganti semua perabotnya biar kelihatan selaras.

Baca Juga: Pengaruh Kemudahan Transaksi dalam Konsumsi Masyarakat

Akibatnya? Dia jatuh miskin gara-gara boros. Secara sederhana, Efek Diderot adalah kecenderungan kita untuk terus membeli barang lain setelah satu pembelian awal hanya karena ingin semuanya terlihat “cocok”.

Kok Bisa Gitu?

Karena manusia secara alami ingin terlihat konsisten, baik secara visual maupun identitas.

Keinginan untuk tampil matching, aesthetic, dan sejalan dengan tren mendorong konsumsi berlebihan.

Bagi mahasiswa, hal ini bisa muncul karena tekanan sosial, ekspektasi media sosial, hingga kebutuhan pencitraan diri. Padahal, itu bisa jadi awal dari jebakan konsumsi.

Budaya Konsumerisme Digital dan Peran Media Sosial

Dalam era digital, Efek Diderot tak hanya dipicu oleh pembelian fisik semata, tetapi juga dipercepat oleh eksposur berlebihan terhadap media sosial.

Instagram, TikTok, dan marketplace digital menciptakan standar visual tertentu yang tak jarang memicu dorongan untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Baca Juga: Dampak Globalisasi Konsumerisme: Maraknya Penjualan iPhone 15

Algoritma platform digital secara khusus dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan minat pengguna—yang berarti jika kamu sekali tertarik pada outfit aesthetic, kamu akan terus melihat rekomendasi barang-barang serupa.

“Media sosial memperkuat perilaku konsumsi dengan menampilkan versi ideal dari gaya hidup,” jelas Schor (2020) dalam bukunya After the Gig.

Gaya hidup yang ditampilkan sering kali menjadi tolok ukur keberhasilan atau kebahagiaan, sehingga mendorong individu, terutama mahasiswa, untuk mengejar kepemilikan barang sebagai bagian dari pencitraan digital.

Tak hanya itu, fenomena ini diperkuat oleh konsep “social comparison theory” dari Festinger (1954), yang menyatakan bahwa manusia cenderung menilai diri mereka berdasarkan perbandingan dengan orang lain.

Dalam konteks ini, mahasiswa bisa merasa tertinggal jika teman-temannya tampak lebih fashionable, lebih rapi, atau memiliki barang-barang kekinian, meskipun realitas finansial mereka berbeda.

Contoh pada Mahasiswa

  • Membeli tote bag baru, lalu merasa perlu membeli tempat pensil, notes, dan botol minum yang senada.
  • Membeli handphone, lalu membeli case yang lucu, kabel charger warna-warni, ring light, bahkan meja belajar baru.
  • Punya outfit baru, lalu merasa feed Instagram butuh konsep ulang. Akhirnya beli background, tripod, dan lighting tambahan.

Baca Juga: Sosial Media Marketing: Sebuah Cara Kekinian dalam Membangun Brand Awareness

Dampaknya

Efek Diderot dapat menjadi jebakan konsumsi yang berdampak serius, terutama bagi mahasiswa yang memiliki keterbatasan finansial dan rentan terhadap pengaruh sosial serta tren. Berikut beberapa dampaknya:

Anggaran Bulanan Menjadi Kacau

Efek Diderot mendorong pembelian impulsif dan bertahap yang menguras keuangan tanpa disadari.

Dalam psikologi ekonomi, ini termasuk dalam bounded rationality di mana individu tidak selalu membuat keputusan berdasarkan logika atau perencanaan jangka panjang.

Kesulitan Menabung

Karena dana habis untuk melengkapi “koleksi” barang agar tampak konsisten atau estetik, kebiasaan menabung menjadi terganggu.

Psikologi ekonomi menyebut fenomena ini sebagai present bias yakni kecenderungan lebih menghargai kesenangan saat ini daripada manfaat jangka panjang seperti menabung.

Selalu Merasa Kurang, meski Barang Sudah Banyak

Ini berkaitan dengan konsep hedonic adaptation, yaitu ketika kepuasan terhadap barang baru cepat memudar dan memicu keinginan untuk membeli lagi demi mendapatkan sensasi yang sama.

Akibatnya, terjadi siklus konsumsi yang tak berujung. Dalam psikologi ekonomi, ini disebut juga sebagai consumption treadmill.

Baca Juga: 7 Cara Mengatasi Homesick Mahasiswa Baru yang Terbukti Efektif

Identitas Diri Tergantung pada Barang

Efek Diderot juga menciptakan ilusi bahwa nilai diri ditentukan oleh kepemilikan barang.

Psikologi ekonomi menyebut ini sebagai consumer identity theory, di mana pembelian digunakan sebagai alat membentuk atau memperkuat citra diri.

Hal ini bisa menyebabkan harga diri bergantung pada simbol eksternal, bukan pada nilai internal.

Stres dan Kecemasan Finansial

Ketika pengeluaran melebihi batas, mahasiswa bisa mengalami tekanan mental, yang berdampak pada kualitas belajar, hubungan sosial, hingga kesehatan mental.

Psikologi ekonomi menekankan pentingnya financial well-being, yaitu kondisi ketika seseorang merasa aman dan puas terhadap situasi keuangannya.

Efek Diderot dan Lingkaran Psikologis yang Tak Disadari

Ketika seseorang membeli barang baru dan memicu pembelian tambahan, ia masuk dalam pola “behavioral reinforcement”, yaitu ketika perilaku konsumsi memberikan kepuasan sesaat sehingga ingin diulang.

Menurut Kahneman (2011) dalam Thinking, Fast and Slow, hal ini berkaitan dengan sistem berpikir cepat (System 1) yang impulsif dan emosional.

Baca Juga: PPN 12%, Apakah ini Langkah yang Tepat untuk Meningkatkan Daya Beli Masyarakat?

Ketika membeli barang baru terasa menyenangkan, otak otomatis ingin mengulangi sensasi tersebut, tanpa pertimbangan logis.

Dalam konteks mahasiswa, ini bisa memperburuk kecenderungan emotional spending, yakni membeli bukan karena butuh, melainkan sebagai pelarian dari stres akademik, kesepian, atau tekanan sosial.

Jika tidak diantisipasi, hal ini bisa mengarah pada kecanduan belanja ringan (compulsive buying), yang meskipun tidak ekstrem, tetap berdampak pada stabilitas mental dan keuangan.

Cara Menghindari Efek Diderot dengan Solusi Berbasis Psikologi Positif (Mindful Consumption)

Alih-alih sekadar menahan diri, mahasiswa bisa mulai menerapkan prinsip mindful consumption, yaitu kesadaran penuh terhadap motivasi, dampak, dan kebutuhan sebelum membeli.

Kabat-Zinn (2003) menyebutkan bahwa kesadaran (mindfulness) dapat membantu seseorang merespon dorongan impulsif dengan lebih reflektif, bukan reaktif.

Cobalah teknik sederhana seperti:

  1. Journaling belanja, untuk mencatat apa yang dibeli dan alasannya.
  2. Latihan gratitude, agar tidak selalu merasa kekurangan dan lebih menghargai apa yang sudah dimiliki.
  3. Digital detox sementara, mengurangi paparan konten konsumtif dari media sosial.
  4. Sadar saat ingin membeli sesuatu: Tanyakan kepada diri sendiri, “Apakah aku butuh barang ini, atau hanya ingin melengkapi pembelian sebelumnya?”
  5. Tunda keputusan pembelian: Beri jeda beberapa hari sebelum memutuskan membeli barang tambahan.
  6. Fokus pada fungsi, bukan hanya estetika: Penting untuk tampil keren, tapi jangan sampai mengorbankan kebutuhan pokok.
  7. Susun anggaran belanja: Buat daftar prioritas, catat pengeluaran, dan batasi belanja impulsif.

Baca Juga: Mudahnya Belanja dengan Paylater: FOMO sebagai Pemicu Pemborosan

Efek Diderot mungkin terlihat sepele, berawal dari satu pembelian kecil yang tampaknya tidak berdampak besar.

Namun, jika tidak disadari, efek ini bisa menjadi pintu masuk ke pola konsumsi berlebihan yang merugikan secara finansial maupun psikologis, terutama bagi mahasiswa dengan keterbatasan anggaran.

Melalui pemahaman konsep ini dari sudut pandang psikologi ekonomi, kita jadi lebih sadar bahwa keputusan membeli sering kali tidak rasional, dan sangat dipengaruhi oleh dorongan emosional serta tekanan sosial.

Hidup tidak harus selalu matching atau estetik demi memenuhi ekspektasi lingkungan atau media sosial.

Yang lebih penting adalah membuat keputusan konsumsi yang bijak, sesuai kebutuhan, dan tetap menjaga keseimbangan antara gaya hidup dan kesehatan finansial.

Jadi, sebelum kamu menambahkan item ke keranjang belanja, coba tanyakan lagi: “Aku butuh ini, atau cuma ingin semuanya terlihat sepadan?”

Baca Juga: Pengaruh Bermain Judi Online terhadap Kesehatan Mental Mahasiswa

Kesimpulan

Efek Diderot menggambarkan bagaimana satu pembelian kecil dapat memicu rangkaian pembelian lain demi menjaga keselarasan gaya hidup, yang sering kali berdampak buruk secara finansial dan psikologis, terutama bagi mahasiswa.

Dalam konteks budaya konsumtif dan tekanan media sosial, perilaku ini dipengaruhi oleh dorongan emosional, pencitraan diri, dan perbandingan sosial yang tak disadari.

Efek ini bisa menyebabkan anggaran berantakan, kesulitan menabung, kecemasan finansial, dan identitas diri yang bergantung pada barang.

Untuk menghindarinya, pendekatan psikologi positif seperti mindful consumption sangat penting agar mahasiswa dapat membeli dengan kesadaran, bukan dorongan impulsif.

Kesadaran akan motivasi dan kebutuhan sebelum membeli adalah langkah awal menuju keputusan konsumsi yang lebih sehat, seimbang, dan berkelanjutan.

 

Penulis:
1. Debby Pamikasih
2. Ayuningrum Tri Haryono
3. Medy Afrione Harahap
Mahasiswa Prodi Psikologi, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

 

Referensi

Clear, J. (2018). Atomic Habits. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Schor, J. B. (2020). After the Gig: How the Sharing Economy Got Hijacked and How to Win It Back. University of California Press.

Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117–140.

Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Kabat-Zinn, J. (2003). Mindfulness-based interventions in context: Past, present, and future. Clinical psychology: Science and practice, 10(2), 144–156.

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses