Fashion Androgini: Dari Pemberontakan Budaya hingga Tantangan Kontemporer

Feminis
Ilustrasi: istockphoto

Androgynous Fashion dan Perannya di Dunia

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia, banyak budaya yang turut berkembang dan berubah di sekitar kita. Salah satunya dalam hal berpakaian, atau kerap disebut fashion. Pada awalnya gaya berpakaian bersifat restriktif dan diatur berdasarkan kelompok identitas seorang.

Contohnya, hanya seorang laki-laki yang dapat menggunakan celana dan setelan jas, dan seorang perempuan hanya dapat menggunakan rok dan pakaian bernuansa feminim. Lalu, pada tahun 1840 atau kerap disebut Victorian Era di Inggris, mulai terjadi perkembangan busana sedikit demi sedikit.

Para kaum wanita mulai menginkorporasikan pakaian yang dinilai “maskulin” ke dalam pakaian olahraga mereka, tetapi perubahan ini masih bersifat kecil dan terbatas. Kemudian, pada tahun 1950, diikuti dengan gerakan pembebasan feminis yang sedang terjadi, lahirlah istilah Androgynous Fashion, atau sering disebut Gaya Androgini.

Bacaan Lainnya
DONASI

Gaya Androgini merupakan salah satu gerakan serta terobosan yang terlahir dalam dunia perbusanaan. Gaya ini tidak mempedulikan pemakainya, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakainya dan ditampilkan sebagai gaya berpakaian yang bukan maskulin ataupun feminim, kerap disebut sebagai gender neutral fashion.

Gaya Androgini ini awalnya merupakan sebuah gerakan untuk mendobrak perbedaan gender yang sudah lama ada di budaya sosial kita. Budaya yang dulunya sangat mengikat stigma gender dengan bagaimana seorang harus berpakaian, yang justru membuat sebuah gap antar kelompok, menyebabkan adanya ketidaksetaraan gender.

Mula-mula, gaya androgini hanya dikenal di Amerika dan Eropa barat, mengingat bahwa gaya ini tercipta di lingkup kedua wilayah tersebut. Tetapi, dengan berkembangnya pemikiran masyarakat,  juga karena teknologi yang bergerak maju, gaya androgini ini makin tersebar dan ikut dikenal oleh masyarakat luas. Salah satunya di belahan Asia, seperti Indonesia.

Dari Simbol Perlawanan Menjadi Style

Gaya androgini pertama kali masuk di Indonesia pada masa orde baru dalam bentuk celana jeans. Pada masa pemerintahan orde baru tepatnya dari tahun 1966 sampai 1998 merupakan masa kepemimpinan presiden Soeharto di mana politik dan ideologi yang cenderung ke barat-baratan menjadi gaya kepemimpinan utamanya yang diberikan kepada rakyat sehingga terjadinya globalisasi dari barat yang akhirnya sampai di Indonesia.

Akibat masuknya budaya barat ke Indonesia yang disebabkan globalisasi yang pada style ini akhirnya mencapai Indonesia. Walaupun demikian dalam pelaksanaannya rezim orde baru tetap saja merupakan suatu rezim yang otoriter.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, pada masa pemerintahan Soeharto, terdapat pengaturan yang ketat dalam perkembangan diri anak muda khususnya dalam mencari jati diri di mana anak muda tidak boleh sembarangan memakai baju atau menggunakan gaya tertentu karena menurut pemerintah tidak sesuai dengan semangat bangsa.

Hal ini akhirnya menimbulkan perlawanan dalam diri anak muda itu sendiri, hingga akhirnya berbagai macam bentuk demonstrasi dilakukan sebagai bentuk protes terhadap rezim orde baru, dan uniknya adalah pada masa itu masyarakat Indonesia khususnya kaum muda melakukan protes dalam bentuk yang tidak disangka-sangka yaitu lewat fashion.

Ya betul lewat fashion mereka menyerukan kebebasan dan sebagai bentuk protes, jeans menjadi sebuah lambang bagi kaum muda untuk menyerukan dan menentang orde baru dan seperti yang kita tau jeans adalah salah satu style androgini di mana pemakainya bisa laki-laki ataupun perempuan.

Penggunaan jeans sebagai lambang perlawanan bukan tanpa sebab tapi dikarenakan oleh budaya populer yang menggema di masa itu lebih tepatnya pada tahun 1970an. Pada masa itu penyanyi-penyanyi seperti Elvis Presley, James Dean, dan bahkan film-film barat pada masa itu menunjukan celana jeans sebagai pakaian wajib dan mungkin diserap menjadi lambang kebebasan.

Penyajian budaya ini akhirnya mulai berakar di Indonesia dan dianggap menjadi sebuah tren fashion yang baru bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi kaum muda.

Penggunaan style androgini atau spesifiknya celana jeans di Indonesia kian berkembang dari bentuk protes menjadi suatu hal yang bersama-sama dinikmati semua kalangan hingga akhirnya style androgini tidak sebatas celana jeans lagi tapi berkembang menjadi penggunaan kaos oblong yang bisa dipakai baik laki-laki ataupun perempuan dan berbagai macam style gender neutral di Indonesia.

Penyerapan budaya baru ini bukan tanpa hambatan karena bila dilihat ke belakang untuk pertama kali kaum laki-laki dan perempuan bisa berpakaian sama dan tentunya sangat berbeda seperti yang dihayati golongan orde lama di mana cara berpakaian masih sangat kolot atau bisa diartikan gender spesifik. Di sini kita bisa melihat adanya culture lag dan culture shock di masyarakat Indonesia.

Bagi mereka yang tidak terbiasa melihat fashion ini tentu saja akan merasa bingung dan merasa aneh, perasaan ini merupakan tanda adanya culture shock di Indonesia dan bisa berakhir menjadi culture lag seperti yang terjadi di daerah pedesaan di mana mereka lebih sulit menerima gaya fashion ini karena mungkin tidak sesuai dengan norma yang ada di sana misalnya saja seperti penggunaan celana pendek pada wanita yang sangat ditentang oleh golongan tua karena dianggap tidak sopan dan terlalu vulgar. Hal ini membuat terjadinya kesenjangan dalam budaya atau dikenal sebagai cultural lag.

Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa dalam penyerapannya ke dalam budaya Indonesia terdapat hambatan yang membuat suatu budaya baru tidak mudah diterima masyarakat sekitar. Hal ini disebabkan adanya sistem baru yang masuk ke dalam sistem lama yang sudah lebih dahulu ada dan dibangun lebih dulu. Perbedaan ini akhirnya menciptakan konflik.

Bentuk Penyimpangan dan Efeknya

Style Androgini merupakan budaya yang sudah berkembang di dunia, bahkan Indonesia. Karena efek globalisasi lah yang membuat budaya ini tersebar luas. Style ini sebenarnya ada hal dan nilai positifnya, karena style ini menjunjung tinggi kesetaraan gender. Namun di setiap budaya, pasti ada penyimpangannya yang membuat hal ini terlihat negatif.

Salah satunya adalah, gangguan identitas gender (Gender Dysphoria). Gender Dysphoria adalah kondisi individu merasa tidak nyaman antara identitas gender mereka. Penyebabnya berkaitan dengan faktor neurologis, genetik, hormonal, lingkungan, dan psikologis.

Kebanyakan penyimpangan style androgini itu dari faktor psikologis, dan juga lebih banyak terjadi oleh laki-laki. Banyak yang salah menangkap istilah style androgini ini. Tidak semua busana itu bisa dijadikan style androgini.

Bentuk penyimpangannya seperti, laki-laki banyak yang menggunakan crop top dan busana lainnya yang sebenarnya adalah busana untuk perempuan. Tetapi banyak laki-laki yang memakai busana perempuan dan menganggapnya merupakan style androgini.

Jika ini dibiarkan terus, yang ada individu tersebut akan lupa dengan identitas aslinya dan bisa mempengaruhi perkembangan identitas seseorang. Individu mungkin mengalami konflik internal yang kuat antara identitas gender yang mereka rasakan dan identitas gender yang mereka alami secara fisik. Maka itulah terciptalah istilah seperti “bencong”, “banci”, dan lain sebagainya.

Selain itu, efek salah menangkap arti androgini adalah menimbulkan stereotip gender. Masih banyak masyarakat yang mempunyai anggapan bahwa laki-laki itu harus bersikap agresif dan maskulin dan perempuan harus bersikap lembut dan feminin.

Sehingga jika mereka melihat seorang pria yang menunjukkan sifat yang dianggap “feminin” atau seorang wanita yang menunjukkan sifat yang dianggap “maskulin” dianggap tidak normal.

Karena stereotip inilah yang membuat masyarakat tidak menerima istilah androgini ini karena mereka menganggap bahwa hal ini adalah hal yang menyimpang. Apalagi pada daerah yang masih memegang erat kepercayaan, norma, dan nilai masyarakat. Sehingga, perspektif mengenai gender masih sangat tradisional.

Saran

Karena stereotip masyarakat, banyak komentar negatif yang dilakukan oleh masyarakat seperti  penolakan masyarakat terhadap androgini. Hal ini bisa kita sebutkan, diskriminasi. Komentar negatif merupakan bentuk diskriminasi terhadap androgini.

Di Indonesia, androgini itu merupakan kaum minoritas yang dikelompokkan berdasarkan identitas gender dan orientasi seksual. Diskriminasi terhadap androgini pada umumnya terdiri dari dua bentuk kekerasan simbolik dan kekerasan struktural.

Tetapi yang paling banyak kita jumpai adalah kekerasan simbolik yang melibatkan penggunaan kata-kata seperti “banci” dan “LGBT merajalela”. Karena banyaknya respon negatif  berupa penolakan masyarakat tentang androgini yang dianggap penyimpangan, kita sebagai manusia itu harus sadar bahwa tidak semua itu harus di-”androginikan”. Harus ada batasnya.

Penulis:
1. Amana Fatima Azzahra Sosronegoro
2. Amadeus Cellovino Sanouoruyu Fau
3. Stanislaus Rafael Putra Sumartono
Siswa Jurusan IPS SMA Kolese Gonzaga

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI