Biografi Kartosuwirjo
S.M. Kartosuwirjo sebuah nama gabungan dari namanya sendiri, ayah dan kakeknya. Nama aslinya adalah Sekarmadji, ayahnya Maridjan dan kakeknya Karto Suwirjo. Ayahnya seorang pegawai keraton dari Kesultanan Solo.
Seorang yang paham sejarah, pekerjaannya sebagai petugas pemeliharaan barang-barang sejarah termasuk buku-buku sejarah yang ditulis oleh orang-orang zaman dahulu. Memang masih ada hubungan darah kesultanan, baik dengan Kesultanan Solo maupun Demak.
Sekarmaji Maridjan Kartosoewirjo begitu nama lengkap S.M. Kartosoewirjo. Kartosoewirjo dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Baca Juga: Biografi K. H. Udung Abdurahman Ya’kub (Tokoh SI Kabupaten Bandung)
Cepu merupakan daerah kecil antara Blora dan Bojonegoro, atau sebuah daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga mempunyai akulturasi budaya antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ayah beliau yaitu Maridjan Kartosoewirjo pada masa itu jabatannya disamakan dengan sekretaris distrik.
Kartosoewirjo memiliki kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an dan kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika itu di Indonesia terbentuk berbagai serikat buruh.
Pencarian pemikiran
Kartosoewirjo mempelajari (menyimpan) karya-karya Marxis? Dari mana Ia memperoleh tulisan-tulisan itu? Kartosoewirjo mempunyai seorang paman bernama Marko Kartodikromo, tokoh komunis (PKI) seangkatan dengan Alimin, Tan Malaka, Semaun, dan Darsono.
Marko inilah yang memberikan buku-buku itu kepada Kartosoewirjo. Juga melalui pamannya inilah Kartosoewirjo tertarik pada Marxisme. Tetapi, kenapa Ia tertarik? Tampaknya Marxisme (dan Komunisme) di zaman itu merupakan sebuah ideologi anti kolonialisme-imperialisme dan berpihak kepada rakyat tertindas.
Inilah yang menjadi daya tarik marxisme-komunisme bagi kaum pergerakan ketika itu. Maka, tidak terlalu mengejutkan bila banyak tokoh pergerakan-termasuk yang beragama Islam-yang mempelajari dan terinspirasi ideologi itu (terutama marxisme).
Baca Juga: Rosa Luxemburg & Marsinah Pejuang Kaum Perempuan: Pendekatan Feminis Marxis
Di antara tokoh pergerakan itu antara lain: Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Misbach, dan Kartosoewirjo. Tentang pengetahuan Islamnya S.M. Kartosuwiryo berbeda dengan tokoh-tokoh Islam lainnya yang mendapatkan pengetahuan tentang Islam melalui pedidikan pesantren/ madrasah-madrasah.
Maka beliau mendapatkannya dangan cara autodidak (belajar sendiri) dan sering berkonsultasi pribadi dengan ‘ulama-ulama’ yang konsekuen dan sholeh. Bermodalkan semangat Islam yang mengalir dalam dirinya yang ditanamkan orang tuanya semenjak kecil, beliau terus mempelajari dan mendalami Al Islam, melalui buku-buku yang ada pada saat itu.
Kesibukan kuliahnya dalam bidang ilmu fisika yang cukup berat itu, tidak menghalangi dari usaha menggali Islam. Setelah dikeluarkannya dari NIAS, kesempatan mempelajari Al Islam semakin luas apalagi setelah tinggal dengan Cokroaminoto, mulai tahun 1927-1929. Beliau juga banyak mewarisi sifat-sifat kepemimpinan Cokroaminoto, terutama dalam ketegasannya memegang prinsip kebenaran (Al Haq).
Gagasan dan Pemikiran Politik Kartosuwirjo
Setelah kita membaca biografinya dengan seksama, dapat kita simpulkan bahwa Kartosuwirjo merupakan sosok aktivis dengan berbagai pengalaman yang akhirnya membentuk beberapa pemikiran yang bisa dikatakan sama, tetapi juga berbeda dengan beberapa tokoh.
Hal tersebut memang diwajarkan, karena setiap orang mempunyai pemikiran masing-masing. Kartosuwirjo memiliki keperibadian yang kuat dan tak segan meninggalkan sebuah organisasi apabila sudah tidak sejalah lagi dengan pemikirannya.
Ia memperjuangkan kemajuan umat Islam dengan caranya yang radikal, tetapi sosoknya juga banyak dicintai oleh masyarakat. Setelah mencari dan menganalisis beberapa artikel, buku, dan jurnal yang membahas mengenai pemikiran beliau dapat dipaparkan sebagai berikut:
Baca Juga: Menyoal Kembali Pemaknaan Radikal
Pemikiran Modernis-Revivalis
Kartosuwirjo merupakan seseorang yang terlebih dahulu menerima pengaruh barat sejak kecil melalui sekolah pribumi yang didirikan oleh Belanda. Karena kedudukan dan posisi ayahnya, Ia mampu bersekolah di sekolah Belanda dan mendapat pengaruh barat.
Tetapi pengaruh barat yang Ia dapatkan tidak lantas membuatnya menjadi pihak yang pro terhadap pemerintah kolonial. Memasuki bangku NIAS (Nederlandsche Indische Artsen School), Kartosuwirjo mulai tertarik dan membaca buku mengenai Marxisme yang kemudian mempengaruhi pemikirannya dan menjadikan Ia sosok yang anti kolonialisme-imperialisme.
Hal yang menjadi daya tarik adalah Marxisme identik dengan pemikiran atheismenya, dan Kartosuwrjo mampu menyaring hal tersebut dengan baik. Ia kemudian mulai mempunyai keinginan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kolonialisme-imperialisme dan membuat kehidupan mereka lebih baik.
Di satu sisi Ia sebagai seseorang penganut Marxisme yang memperjuangkan kesejahteraan masyarakat yang tertinas, disisi lain Ia sebagai seseorang yang mempelajari agama secara otodidak. Ia hanya memiliki semangat untuk mempelajari Islam yang ditanamkan orang tuanya sejak kecil.
Semangat Islam itu Ia bawa kemanapun, dan semangat tersebut terus bertambah seiring dengan bergurunya Ia kepada Kyai Yusuf Tadjri dan Kyai Ardi Wisastro. Melalui mereka ia belajar agama Islam dengan pemurniannya yakni kembali kepada Al-Qur’an dan ajaran Rasulullah SAW.
Baca Juga: Fleksibilitas Ilmu Fiqih
Kesimpulan
Kartosuwiryo merupakan seorang tokoh dengan pemikiran modernis-revivalis. Ia merupakan seorang tokoh yang luar biasa karena mampu menyeimbangkan antara pengaruh Barat dan Islam, Ia juga mempunyai sikap kepemimpinan yang baik, berpihak kepada masyarakat yang teraniaya, dan independen, serta tidak mudah goyah.
Perjuangannya untuk masyarakat dalam bentuk tulisan, pemikiran maupun organisasi menjadi sebuah bukti akan kemuliaan dirinya. Kendati demikian, mendirikan sebuah negara di dalam sebuah negara merupakan sebuah ancaman bagi kedaulatan negara tersebut.
Hal tersebut yang juga terlintas dalam fikiran pemerintah tatkala NII di Proklamirkan. Padahal jika kita tinjau, yang membela masyarakat Jawa Barat pada saat wilayah Pasundan diserahkan kepada Belanda sebagai imbas dari perundingan Renville adalah TII.
Pengabdiannya kepada masyarakat dapat dilihat dari waktu 13 tahun yang dihabiskan oleh pemerintah guna memberantas gerakan TII. Dan pada akhirnya berhasil karena masyarakat turun tangan, hal tersebut dapat membuktikan bahwa NII mendapat tempat di hati masyarakat.
Mungkin saat ini Kartosuwiryo dianggap sebagai pemberontak yang membangkang dari pemerintahan NKRI. Tetapi terlepas dari itu, Ia merupakan sosok yang ingin membela masyarakat yang teraniaya dan sosok yang mempunyai pemikiran luar biasa, mampu menyeimbangkan dua ideologi dalam fikiran kita tentunya tidak mudah.
Penulis: Arini Fidya Rachman
Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Editor: Ika Ayuni Lestari