Menyoal Kembali Pemaknaan Radikal

Masih hangat di telinga kita tentang rilis tujuh kampus yang terpapar radikalisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Adapun tujuh kampus tersebut ialah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Brawijaya (UB) serta Institut Teknologi Surabaya (ITS).

Mungkin sebagian masyarakat ada yang menyepakati namun sebagian masyarakat rasanya kurang menyepakati rilis tersebut. Apalagi jika rilis tersebut tidak disertai dengan hasil kajian atau pengamatan dari BNPT sehingga bisa saja memunculkan kecurigaan​ di masyarakat terutama mahasiswa tentang rilis tersebut.

Bacaan Lainnya
DONASI

Belum lagi ternyata BNPT beberapa waktu lalu menggeledah bahkan menangkap beberapa terduga teroris di kampus yang tidak termasuk dalam rilis BNPT. Hal tersebut semakin menimbulkan pertanyaan yang besar mengenai hasil rilis BNPT.

BNPT harusnya lebih jujur dan terbuka dengan rilis yang mereka keluarkan. BNPT harusnya menyampaikan alasan atau hasil penelitian yang menyebabkan tujuh kampus tersebut dapat disebut terpapar radikalisme.

Namun, di luar pembahasan tujuh kampus yang terpapar radikalisme, saya sendiri sebenarnya ingin mempersoalkan penyebutan kata radikal yang selalu dikaitkan dengan hal yang negatif semisal teroris atau paham terorisme.

Karena hakikatnya makna radikal sendiri secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu radix yang berarti akar, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan radikal yaitu secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Dosen Filsafat UGM, Dr. Ali Mudhofir juga mengartikan radikal sebagai proses berfikir secara kompleks sampai ke akar-akarnya sampai kepada esensi, hakikat atau substansi yang difikirkan.

Kata “radikal” sendiri muncul di panggung politik kira-kira abad ke-18 di Eropa dan ke-19 di Amerika Serikat.

Kata ini bergaung saat Revolusi Perancis (1787-1789). Banyak di antara mereka yang berada di barisan penentang Raja menyebut diri sebagai “kaum radikal”. Salah satunya adalah gerakan Jacobin.

Saat itu, parlemen Perancis terbagi dua kubu: semua penentang raja duduk di sebelah kiri, sedangkan pendukung raja duduk di sebelah kanan. Nah, karena semua kaum radikal duduk di sebelah kiri, maka istilah radikal biasanya mengacu pada individu, organisasi atau partai politik yang berfaham kiri.

Di Inggris, pada 1802, salah satu faksi di tubuh Partai Liberal menamai dirinya “kaum radikal”. Mereka memperjuangkan reformasi parlemen, hak pilih dan dipilih bagi semua orang tanpa terkecuali.

Tokoh besar macam Thomas Paine hingga David Lloyd George dikaitkan dengan sejarah gerakan radikal Inggris. Famplet Thomas Paine, The Rights of Man, adalah manifesto radikal pada zamannya.

Di Amerika Serikat, istilah radikal muncul seiring dengan perjuangan penghapusan perbudakan dan penegakan keadilan sosial. Beberapa tokoh abolisionis radikal, seperti John Brown, menuntut penghapusan perbudakan sekaligus penghapusan pemilikan pribadi.

Setelah Perang Sipil (1861-1865), istilah radikal dipergunakan secara luas di Amerika. Terutama karena adanya faksi dalam Partai Republik yang menganjurkan distribusi jutaan hektar tanah untuk bekas budak.

Pemikiran radikal berkontribusi besar dalam memberadabkan Amerika Serikat, terutama dalam menghilangkan perbudakan, rasialisme, dan penindasan kelas. Pemikiran radikal menjadi motor gerakan hak-hak sipil, feminis, gerakan lingkungan dan hak-hak buruh.

Tradisi radikal telah melahirkan tokoh besar macam John Brown, Martin Luther King, Malcom X, Mumia Abu-Jamal (Black Pather) hingga pemimpin gerakan buruh macam Cesar Chavez.

Istilah “radikal” sangat terhormat dalam sejarah Indonesia. Orang Belanda yang menjadi pengeritik pedas kolonialisme Belanda, seperti Eduard Douwes Dekker (Multatuli) dan Ernest Douwes Dekker, sering disebut “radikal”.

Dalam pergerakan, radikal menjadi cap bagi gerakan yang tidak berkompromi dengan kolonialisme. Sebutan lainnya adalah non-koperasi. Gerakan radikal alias non-koperasi adalah antitesa dari gerakan moderat yang cenderung kompromis dan mengemis kebaikan pada penguasa kolonial.

Tokoh-tokoh kunci pergerakan nasional, seperti Tjipto Mangungkusumo, Ernest Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat, juga digolongkan sebagai nasionalis-radikal.

Indische Partij, partai yang didirikan oleh Tjipto, Suwardi dan Douwes Dekker, diilhami oleh semangat nasionalisme-radikal, yang tidak lagi terperangkap pada kesempitan cara pandang etnis maupun agama. Mereka juga keluar dari jebakan pengkotak-kotakan pribumi dan non-pribumi. Mereka memperjuangkan sebuah nation Hindia yang merdeka dan demokratis, dimana semua suku bangsa dan ras memilik hak yang sama di dalamnya.

Cap radikal juga melekat pada tokoh-tokoh di barisan kiri (komunis), seperti Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Haji Misbach, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Musso, Alimin dan lain-lain.

Jadi, seperti dikatakan Soe Hok Gie dalam buku, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, “kaum radikal itu berasal dari segala golongan.”Bisa kaum nasionalis, agamis, apalagi komunis.

Sukarno, tokoh terkemuka pergerakan nasional, malah menganjurkan radikalisme. Dalam risalahnya di tahun 1933, Mencapai Indonesia Merdeka, dia menjelaskan pengertian radikal dengan sangat tepat.

Radikalisme, – teram­bil dari perkataan radix, yang artinya akar -, radikalisme haruslah azas machtsvorming Marhaen: berjoang tidak setengah-setengahan tawar-menawar tetapi terjun sampai ke akar-akarnya kesengitan antitese, tidak setengah-setengahan hanya mencari “untung ini hari” sahaja tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-imperialisme sampai ke akar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau mengadakan pero­bahan-perobahan yang kecil-kecil sahaja tapi mau mendirikan masyarakat baru sama sekali di atas akar-akar yang baru, – berjoang habis-­habisan tenaga membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru di atas akar-akar yang baru,” tulis Sukarno.

Bagi Sukarno, perjuangan kaum Marhaen haruslah bernyawakan radikalisme, berazaskan radikalisme, agar tidak tergelincir pada reformisme dan kompromi yang merugikan masa depan perjuangan kaum marhaen. Disamping bersenjatakan machtvorming dan massa-aksi.

Karena itu, Sukarno menganjurkan partainya, Partai Nasional Indonesia (PNI), menjadi partai radikal.

“…maka partai sendiri lebih dulu harus partai yang bewust, partai yang sedar, partai yang radikal. Hanya partai yang bewust dan sedar dan radikal bisa membikin massa menjadi bewust dan sedar dan radikal. Hanya partai yang demikian itu bisa menjadi pelopor yang sejati di dalam pergerakan massa, dan membawa massa itu dengan selekas-lekasnya kepada kemenangan dan keunggulan,” tulisnya.

Jadi, agak aneh jika ada partai yang mengaku pewaris ajaran Sukarno ikut-ikut mengutuki radikalisme. Partai itu bukan hanya buta sejarah, tetapi kurang membaca tulisan-tulisan Sukarno. Atau jangan-jangan lembar-lembar tulisan Sukarno sudah jadi pembungkus kacang?

Tidak bisa dimungkiri, Indonesia merdeka sebagian besar karena pengorbanan kaum radikal. Mereka yang dibunuh, dibui, dan dibuang.

Maka dari itu sebagai Umat Islam yang mencoba untuk selalu taat dan berpegang teguh kepada prinsip, saya merasa penggunaan kata radikal tidaklah tepat, saya lebih menyarankan kepada BNPT agar menggunakan kata ekstrim dibanding kata radikal. Adapun upaya deradikalisasi lebih tepatnya diganti menjadi kata moderasi

Karena moderasi atau moderat sendiri sangat melekat dengan aktivitas yang tidak menyimpang dan berupaya untuk selalu berbuat adil serta menjadi penengah atau “wasatiyyah” hal tersebut pun termaktub dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143 yaitu itu “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (Umat Islam), umat yang “wasatha” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Sehingga tidak ada lagi pengecapan keliru semisal teroris kepada Umat Islam yang berupaya menjalankan agamanya dengan memegang teguh prinsip (radikal) Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Muhammad Ridha
Ketua Umum IMM Kota Depok

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI