Generasi Muda dan Dilema Partisipasi Politik: Peduli atau Apatis?

Peran Generasi Muda dalam Politik.
Peran Generasi Muda dalam Politik.

Generasi muda saat ini menghadapi dilema besar dalam keterlibatan politik. Di satu sisi, mereka semakin sadar akan ketimpangan sosial, korupsi, dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Di sisi lain, mereka juga dihadapkan pada kenyataan bahwa sistem politik yang ada seringkali tampak stagnan dan tidak memberikan ruang bagi perubahan yang berarti.

Kesenjangan antara harapan dan realitas ini memunculkan pertanyaan: apakah generasi muda masih bisa berkontribusi secara nyata, ataukah mereka akan semakin menjauh dari politik dan memilih sikap apatis?

Haile Selassie, mantan Kaisar Ethiopia, pernah menyatakan: “Sepanjang sejarah, ketidakbertindakan dari mereka yang seharusnya bisa bertindak; ketidakpedulian dari mereka yang seharusnya tahu lebih baik; keheningan suara keadilan saat itu paling dibutuhkan; itulah yang memungkinkan kejahatan untuk menang.”

Kutipan ini menggambarkan bahwa sikap apatis bukanlah sikap netral, melainkan bagian dari problematika yang memperpanjang dominasi sistem yang tidak berpihak pada perubahan.

Bacaan Lainnya

Meskipun banyak anak muda kecewa dengan sistem politik yang ada, ketidakpedulian justru memperburuk keadaan karena memberikan kesempatan bagi kelompok yang sudah mapan untuk terus menguasai ruang politik.

Selain itu, sejarah telah membuktikan bahwa perubahan sosial-politik yang besar sering kali dimulai oleh anak muda yang memiliki semangat untuk mengubah keadaan. Revolusi di berbagai negara, mulai dari Perancis hingga Indonesia pada 1998, tidak lepas dari peran generasi muda yang berani menentang ketidakadilan.

Kesadaran politik di kalangan anak muda bukan hanya sekadar tren sesaat, tetapi juga cerminan dari keinginan mereka untuk memiliki masa depan yang lebih baik. Namun, tanpa tindakan nyata, kesadaran ini hanya akan menjadi wacana tanpa dampak yang signifikan.

Baca Juga: Generasi Muda: Agen Pendidik Politik Beradab

Pendidikan Politik: Apakah Sudah Cukup?

Salah satu akar masalah dari skeptisisme politik generasi muda adalah kurangnya pendidikan politik yang kritis. Sistem pendidikan di Indonesia masih cenderung memberikan pemahaman politik yang bersifat deskriptif, seperti struktur pemerintahan dan proses pemilu, tetapi kurang membekali anak muda dengan kemampuan berpikir kritis terhadap kebijakan publik dan sistem demokrasi secara lebih luas.

Saya pernah membaca kutipan dari Nelson Mandela, seorang pemimpin perjuangan anti-apartheid dan presiden pertama Afrika Selatan yang terpilih secara demokratis: “Populasi yang terdidik, tercerahkan, dan terinformasi adalah salah satu cara paling pasti untuk menjaga kesehatan demokrasi.”

Ini menunjukkan bahwa tanpa pendidikan politik yang baik, generasi muda tidak akan memiliki alat untuk menantang status quo dan mencari alternatif bagi sistem yang ada.

Di banyak negara, anak muda menjadi motor perubahan berkat edukasi politik yang kuat. Contohnya, di Hong Kong, gerakan pro-demokrasi yang dipimpin oleh anak muda seperti Joshua Wong menunjukkan bagaimana pemahaman politik yang mendalam bisa menjadi landasan bagi gerakan sosial yang besar.

Di Indonesia, gerakan Reformasi 1998 juga tidak terlepas dari peran mahasiswa yang memiliki kesadaran politik tinggi. Namun, dengan semakin pragmatisnya politik dan merajalelanya oligarki, anak muda saat ini sering kali merasa bahwa suara mereka tidak lagi berpengaruh.

Pendidikan politik yang baik seharusnya tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga melalui diskusi publik, seminar, serta keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan. Masyarakat yang memiliki pemahaman politik yang matang cenderung lebih aktif dalam menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintahnya.

Oleh karena itu, penting bagi institusi pendidikan dan organisasi masyarakat untuk menciptakan ruang-ruang diskusi yang mendorong anak muda untuk lebih aktif dalam memahami dan berpartisipasi dalam politik.

Baca Juga: Dari TikTok ke TPS: Bagaimana Media Sosial Membentuk Pilihan Politik Generasi Muda

Jalan Alternatif: Gerakan Sosial dan Aktivisme

Jika jalur politik formal terasa mengecewakan, maka jalur nonformal seperti gerakan sosial dan aktivisme menjadi alternatif yang semakin relevan. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan tidak selalu berasal dari dalam sistem, tetapi juga dari tekanan sosial yang terus-menerus dilakukan oleh masyarakat sipil.

Pendidikan politik dan kesadaran sosial bisa menjadi senjata ampuh bagi generasi muda untuk menciptakan perubahan tanpa harus bergantung pada sistem politik yang mereka anggap korup atau tidak efektif.

Di era digital saat ini, media sosial menjadi alat yang sangat berpengaruh dalam mendorong perubahan sosial. Kampanye digital seperti #IndonesiaGelap atau #TolakRUUTNI telah membuktikan bahwa generasi muda bisa membentuk opini publik dan memobilisasi gerakan besar tanpa harus berada di dalam parlemen atau partai politik.

Namun, aktivisme digital saja tidak cukup. Diperlukan tindakan konkret seperti advokasi kebijakan, keterlibatan dalam organisasi sosial, dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah agar dampak yang dihasilkan lebih nyata.

Selain media sosial, bentuk aktivisme lainnya seperti demonstrasi damai, petisi daring, dan kampanye kesadaran publik juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi kebijakan.

Baca Juga: Ketertarikan dan Kepedulian Generasi Muda terhadap Politik Indonesia

Beberapa gerakan sosial yang berhasil membawa perubahan di Indonesia adalah gerakan antikorupsi yang melibatkan masyarakat luas serta inisiatif lokal yang menekan pemerintah daerah untuk lebih transparan.

Ini menunjukkan bahwa meskipun sistem politik formal bisa terasa tertutup bagi anak muda, masih ada ruang untuk berkontribusi dalam perubahan melalui cara-cara alternatif.

Dilema antara peduli atau apatis dalam politik bukanlah sesuatu yang bisa dijawab dengan sederhana. Generasi muda memang menghadapi tantangan besar, tetapi mereka juga memiliki potensi luar biasa untuk menciptakan perubahan. Dalam menghadapi sistem yang penuh tantangan, apatisme bukanlah solusi.

Jika politik formal terasa mengecewakan, maka jalur pendidikan, aktivisme, dan gerakan sosial bisa menjadi ruang bagi anak muda untuk tetap berkontribusi. Yang terpenting adalah menemukan cara yang paling sesuai untuk berpartisipasi, tanpa harus terjebak dalam pragmatisme yang menghilangkan idealisme.

Generasi muda bukan sekadar saksi dari perjalanan politik bangsa, tetapi aktor utama yang memiliki peran krusial dalam menentukan arah masa depan. Dengan kesadaran, pendidikan, dan aksi nyata, generasi muda bisa membuktikan bahwa mereka bukan hanya bagian dari sistem, tetapi juga arsitek masa depan yang lebih baik.

Penulis: Andi Nur’ Afiat Rusdi
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses