Ilmu Tanpa Nilai? Pancasila sebagai Penjaga Arah Inovasi

Yogyakarta, Indonesia - 23 Mei 2021 : Bergandengan Tangan dengan Garuda Pancasila, Simbol Nastional Indonesia. Hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus. Terisolasi di atas putih
Ilmu Tanpa Nilai? Pancasila sebagai Penjaga Arah Inovasi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era globalisasi dan revolusi digital, menjadikan Indonesia berada di tengah situasi yang penting.

Kemajuan dalam IPTEK adalah hal yang pasti dan tidak dapat terelakkan. Di sisi lain pondasi yang kokoh sangat jelas diperlukan agar dapat menjaga moral, etika dan nilai-nilai luhur suatu bangsa.

Pondasi yang dimaksud adalah Pancasila. Dalam hal ini, Pancasila tidak hanya sebagai dasar negara Indonesia tetapi juga sebagai pembimbing arah pengembangan ilmu dan pendidikan.

Tantangan: Ilmu Tanpa Nilai

Indonesia saat ini tengah dihadapkan dengan berbagai tantangan serius dalam pemahaman peran Pancasila dan keterkaitannya dalam pengembangan ilmu.

Bacaan Lainnya

Pancasila masih dianggap sebagai formalitas dalam pendidikan, bukan sebagai hal yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam mengimbangi perjalanan kemajuan teknologi. Pancasila masih ditempatkan di ruang yang terpisah, seolah bukan bagian dari cara berpikir ilmiah.

Padahal, jika benar diterapkan, Pancasila dapat membentuk insan akademik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak secara moral.

Nilai Pancasila seharusnya tidak hanya diajarkan secara teoritik, tetapi dihayati dan diwujudkan dalam setiap tindakan, termasuk dalam aktivitas ilmiah. Tanpa nilai, ilmu bisa berubah menjadi alat dominasi, eksploitasi, bahkan ketidakadilan.

Pancasila sebagai Landasan Pendidikan dan Riset

Pendidikan yang ideal tidak hanya mengembangkan pengetahuan, tetapi juga proses yang membentuk karakter dalam setiap individu dan bangsa. Nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila seharusnya mampu menjadi pondasi yang kokoh untuk menghadapi kemajuan zaman.

Dalam praktiknya, pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia masih banyak berfokus pada pencapaian akademik semata publikasi ilmiah, indeks sitasi, paten, dan pengakuan internasional. Meskipun hal ini penting, orientasi semacam ini bisa berujung pada pragmatisme yang mengabaikan nilai-nilai luhur.

Generasi muda saat ini cenderung terjebak dalam budaya hedonis, individualis dan menginginkan semua hal menjadi mudah dan instan akibat kemajuan teknologi tanpa memperhatikan nilai luhur. Di sinilah Pancasila memiliki peran sebagai penyaring etika dalam mengembangkan ilmu dan teknologi.

Dalam hal ini setiap individu harus dapat memahami bahwa nilai moral dan etika Pancasila menjadi penuntun agar ilmu yang dikembangkan dapat menjadi sarana kemaslahatan manusia, bukan hanya sebagai alat pencari keuntungan ekonomi.

Penerapan prinsip yang terkandung dalam Pancasila memastikan bahwa inovasi-inovasi yang ada tidak merusak kebudayaan, tidak memudarkan identitas bangsa, dan tidak menjatuhkan martabat manusia.

Baca Juga: Pancasila dan Prinsip Musyawarah: Gugatan terhadap Legislasi Kilat di Indonesia

Integrasi Pancasila dan IPTEK

Pancasila yang dipahami, dihayati dan diamalkan akan membentuk karakter setiap individu. Nilai kebersamaan, tanggung jawab, nasionalisme, dan toleransi dalam keragaman budaya, bahasa, ras dan agama sangat berpengaruh.

Dengan menerapkan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari dapat menuntun manusia untuk menentukan sikap dalam pengembangan ilmu dan konteks kekinian, dari penggunaan media sosial, penggunaan AI, hingga etika-etika digital maupun non digital.

Pendidikan karakter menjadi pendekatan strategis, dan lingkungan manusia harus mendukung pembentukan karakter berdasarkan nilai Pancasila. 

Tidak hanya sekolah dan para guru yang berperan penting, tetapi lingkungan masyarakat, orang tua, dan tokoh-tokoh berpengaruh di masyarakat maupun di sosial media juga krusial sebagai panutan dalam menghidupkan nilai-nilai tersebut.

Pendidikan nasional masih didominasi oleh pendekatan kognitif dan kompetitif. Sistem pendidikan lebih fokus mencetak tenaga kerja yang siap pakai daripada membentuk manusia seutuhnya. Akibatnya, nilai-nilai sosial dan kemanusiaan sering terpinggirkan dalam proses akademik.

Membangun Ilmu Berjiwa Pancasila

Integrasi nilai Pancasila harus dilakukan secara menyeluruh dalam kurikulum pendidikan tinggi. Bukan sekadar formalitas dalam dokumen akademik, tetapi benar-benar tercermin dalam cara berpikir, metode riset, hingga tema penelitian.

Sebagai contoh, mata kuliah teknik dapat diarahkan pada rekayasa yang mendukung keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi industri.

Perlu ada perombakan paradigma dalam kebijakan riset nasional. Pemerintah dan institusi terkait sebaiknya tidak hanya menilai riset dari jumlah publikasi atau peringkat jurnal, tetapi juga dari kontribusinya terhadap kesejahteraan sosial dan penguatan nilai kebangsaan.

Riset yang berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat, pelestarian lingkungan, atau rekonsiliasi sosial semestinya mendapatkan apresiasi yang setara.

Perguruan tinggi sebagai pusat ilmu pengetahuan harus menjadi teladan dalam praktik nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak hanya tercermin dari kurikulum, tetapi juga budaya kampus yang inklusif, demokratis, dan berpihak pada keadilan.

Jurnal Berdinatamassang (2023) menekankan bahwa Pancasila harus dipraktikkan dalam kehidupan nyata, bukan sekadar simbol atau rutinitas seremonial. Kampus yang sehat secara moral akan melahirkan ilmuwan yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas.

Baca Juga: Putusan MK dan Etika Pancasila: Menegakkan Nilai Kemanusiaan Di Era Digital

Menyatukan Ilmu dan Nilai

Ilmu pengetahuan memang bisa tumbuh di mana saja, tetapi ilmu yang bermakna adalah ilmu yang selaras dengan nilai. Dalam konteks Indonesia, nilai itu adalah Pancasila. Tanpa arah moral, inovasi dapat berubah menjadi instrumen kekuasaan, kapitalisasi, bahkan dehumanisasi.

Sebaliknya, jika nilai-nilai Pancasila benar-benar diinternalisasi dalam proses ilmiah, maka riset dan inovasi akan lebih terarah untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat. Inilah yang membedakan antara “maju” secara teknologi, dan “berkemajuan” secara peradaban.

Sebagaimana bangsa lain yang maju berlandaskan nilai-nilai budayanya sendiri, Indonesia pun harus mampu membangun kemajuan berbasis jati diri. Pancasila bukan penghambat inovasi, melainkan penuntun agar inovasi tetap berakar dan bermoral.

Menatap Masa Depan

Indonesia mengharapkan generasi emas, generasi yang bukan hanya menguasai iptek tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa. Seluruh komponen-komponen bangsa harus dapat berkesinambungan untuk mewujudkan keseimbangan IPTEK dan Pancasila, dimulai dari kesadaran setiap individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Pancasila tidak hanya menjadi milik masa lalu, tetapi sebagai kompas dalam menentukan arah di masa depan. Pancasila menjawab kemajuan zaman tanpa melupakan akar.

Penerapan Pancasila dalam Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kehidupan sehari-hari adalah investasi ideal dan bernilai besar untuk membentuk manusia Indonesia yang cerdas, berdaya saing Internasional, namun tetap beretika dan berbudaya.

Dalam perubahan-perubahan dunia yang terus terjadi, Pancasila sebagai kompas yang menunjukkan arah, sebagai jangkar yang menahan individu dari pengaruh buruk, dan sebagai layar yang menstabilkan arah sekaligus mendorong untuk terus maju. Sudah seharusnya ilmu dan teknologi berpijak pada nilai, dan terbang mencapai kemajuan.

Masa depan Indonesia saat ini sangat bergantung pada bagaimana kita memaknai dan mengarahkan ilmu pengetahuan hari ini.

Di tengah arus global yang kadang membawa nilai asing dan individualistik, kita tidak boleh kehilangan arah. Pancasila hadir untuk menjaga agar inovasi tetap berpihak pada kemanusiaan, keadilan, dan persatuan bangsa.

Kepada para ilmuwan dan akademisi muda Indonesia: berkaryalah bukan hanya demi reputasi, tapi demi bangsa. Berinovasilah bukan hanya untuk prestasi, tetapi untuk kemanusiaan.

Jadikan Pancasila sebagai jiwa dari setiap proses ilmiah, karena hanya dengan itu ilmu pengetahuan akan membawa kemajuan yang sejati kemajuan yang manusiawi dan membangun peradaban.

Penulis:
1. Iwang Evelyna Fa’azzaylanti
2. ⁠Nurul Egita Rahma
3. ⁠Ardiona Maulana
4. ⁠Zaki Julian Rosidin
5. Muhammad Muzaki Iksar⁠
Mahasiswa Pendidikan Teknologi Informasi Universitas Brawijaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses