Revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan melalui UU Nomor 11 Tahun 2021 membawa perubahan signifikan terhadap tata kelola kewenangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Regulasi ini mengamendemen beberapa ketentuan dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan resmi diberlakukan sejak 30 Desember 2021. Perubahan ini didasarkan pada tiga alasan utama:
- Adaptasi terhadap dinamika hukum
Ketentuan dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan kebutuhan hukum nasional dan internasional. - Penguatan independensi kejaksaan
Kejaksaan sebagai institusi negara harus bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun guna menjamin objektivitas dalam penegakan hukum. - Optimalisasi peran kejaksaan dalam sistem peradilan
Sebagai bagian dari kekuasaan negara, kejaksaan memiliki kedudukan strategis dalam mengawal supremasi hukum serta memastikan berjalannya proses peradilan yang adil dan efektif.
Salah satu aspek paling kontroversial dalam revisi ini adalah penguatan asas Dominus Litis, sebuah prinsip dalam sistem hukum civil law yang menempatkan kejaksaan sebagai pemegang kendali utama dalam perkara pidana. Secara normatif, asas ini memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk menentukan kelanjutan suatu perkara, mulai dari tahap penyelidikan hingga eksekusi putusan.
Baca juga: Pengenalan Sanksi Hukum atas Tindak Pidana Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkoba
Namun, dalam konteks sistem peradilan pidana di Indonesia, implementasi asas Dominus Litis menimbulkan problematika tersendiri, khususnya dalam relasi antara kejaksaan dan kepolisian. Sentralisasi kewenangan di tangan kejaksaan berpotensi menimbulkan disharmoni dan konflik kepentingan, mengingat kepolisian selama ini memiliki peran utama dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.
Secara konseptual, sistem peradilan pidana Indonesia menganut prinsip diferensiasi fungsional, di mana setiap lembaga penegak hukum memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi. Kepolisian bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, sedangkan kejaksaan berperan dalam penuntutan serta pengawasan terhadap proses penyidikan yang dilakukan kepolisian.
Namun, dengan perluasan kewenangan kejaksaan dalam revisi ini, batasan antara penyidikan dan penuntutan menjadi kabur. Jika kejaksaan memiliki otoritas penuh untuk mengintervensi penyelidikan dan penyidikan, maka terdapat risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Hal ini berpotensi mengganggu keseimbangan sistem peradilan pidana, di mana kewenangan yang terlalu dominan di satu pihak dapat melemahkan mekanisme check and balance antar-institusi penegak hukum.
Selain itu, apabila kepolisian kehilangan sebagian atau seluruh kewenangannya dalam melakukan penyidikan terhadap laporan masyarakat, maka fungsi kepolisian sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum akan mengalami degradasi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat akses masyarakat terhadap keadilan dan mengurangi efektivitas respons hukum terhadap tindak pidana yang terjadi di lapangan.
Baca juga: Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia
Asas Dominus Litis dalam revisi UU ini juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai aspek akuntabilitas. Dalam sistem yang demokratis, kewenangan suatu lembaga negara harus diimbangi dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang efektif guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Jika kejaksaan memiliki kewenangan yang terlalu luas dalam mengendalikan penyelidikan dan penyidikan, dikhawatirkan akan muncul celah bagi praktik diskriminatif dalam penegakan hukum. Keputusan mengenai kelanjutan suatu perkara dapat menjadi lebih subjektif dan rentan terhadap kepentingan politik atau ekonomi tertentu.
Selain itu, dalam aspek efektivitas, perluasan kewenangan kejaksaan berpotensi memperlambat proses penegakan hukum. Dalam praktiknya, penyidikan yang melibatkan lebih dari satu institusi sering kali mengalami kendala koordinasi yang berujung pada birokratisasi dan inefisiensi. Jika kejaksaan terlalu sering melakukan intervensi dalam tahap penyidikan, bukan tidak mungkin akan terjadi penumpukan perkara yang justru menghambat penyelesaian kasus secara cepat dan akurat.
Revisi suatu regulasi seharusnya bertujuan untuk memperkuat sistem hukum dan menciptakan keseimbangan yang lebih baik dalam mekanisme penegakan hukum. Namun, jika perubahan yang dilakukan justru menimbulkan potensi konflik antar-lembaga, maka revisi tersebut perlu dikaji ulang secara lebih mendalam.
Daripada memperluas kewenangan kejaksaan secara berlebihan, reformasi hukum seharusnya berfokus pada penguatan kapasitas dan profesionalisme seluruh aparat penegak hukum, baik di level kepolisian, kejaksaan, maupun institusi peradilan lainnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan sistem pengawasan internal, serta perbaikan mekanisme koordinasi antar-lembaga jauh lebih penting dalam mewujudkan sistem peradilan yang efektif, akuntabel, dan berkeadilan.
Jika perubahan ini tidak dikaji dengan matang, maka bukan tidak mungkin sistem peradilan pidana di Indonesia akan mengalami ketimpangan yang berujung pada ketidakpastian hukum.
Baca juga: Mekanisme Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Kejaksaan
Revisi UU Kejaksaan yang memperluas penerapan Asas Dominus Litis memunculkan dilema dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Sentralisasi kewenangan di tangan kejaksaan berpotensi mengganggu keseimbangan antara kepolisian dan kejaksaan, melemahkan prinsip diferensiasi fungsional, serta meningkatkan risiko penyalahgunaan kewenangan.
Oleh karena itu, kebijakan ini harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan dampak sistemiknya terhadap efektivitas, akuntabilitas, dan transparansi dalam penegakan hukum. Jika tujuan utama reformasi hukum adalah menciptakan sistem yang lebih adil dan profesional, maka langkah yang lebih tepat adalah memperkuat koordinasi dan sinergi antar-institusi penegak hukum, bukan dengan menambah kewenangan satu institusi secara berlebihan hingga menimbulkan potensi ketimpangan dalam sistem peradilan.
Penegakan hukum yang ideal bukan hanya mengandalkan perluasan kewenangan, tetapi juga memastikan bahwa setiap lembaga berfungsi dalam kapasitasnya masing-masing dengan profesionalisme dan transparansi yang tinggi. Oleh karena itu, revisi UU Kejaksaan harus ditempatkan dalam kerangka reformasi hukum yang lebih holistik dan berbasis pada kepentingan publik serta prinsip keadilan yang sejati.
Penulis: Muh. Sukfikar
Presiden Ikatan Mahasiswa Administrasi Sulawesi (IKMA-Sulawesi)