Integritas Dosen sebagai Landasan Membangun Karakter di Perguruan Tinggi

Akademik
Ilustrasi: istockphoto

Vonis 10 tahun penjara dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Tanjungkarang Lampung terhadap Rektor Unila yang melakukan korupsi masih menjadi perbicangan di masyarakat luas.

Rektor Unila bukanlah satu-satunya yang melakukan tindakan tidak terpuji itu, juga oleh Rektor Universitas Udayana (Unud), yang kasusnya dalam proses hukum di Kejaksaan Bali, dan kasus yang paling baru Rektor UIN Walisongo dinyatakan terbukti oleh Senat Akademik melakukan plagiasi (Suaramerdeka.com, 15/9/2023).

Merebaknya fenomena perilaku korup yang dilakukan pimpinan perguruan tinggi (PT) sungguh memprihatinkan. PT yang di dalamnya berhimpun orang-orang yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, justru berbuat sebaliknya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dalam kasus yang lain beberapa waktu lalu, Kompas menjadikan headline dan diulas panjang lebar tentang para calon Guru Besar di berbagai PT yang melakukan plagiasi dan menggunakan joki dalam pembuatan karya ilmiah untuk meraih jabatan guru besarnya.

Hilangnya kejujuran dalam pendidikan sama dengan hilangnya roh pendidikan itu sendiri fenomena itu lah yang sedang melanda PT.

Lebih dari satu dekade yang lalu Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, ketika itu telah mengingatkan ada tiga faktor penyebab terjadi perilaku korup dan penjiplakan karya ilmiah di perguruan tinggi, yaitu: (1) rendahnya integritas pribadi dosen; (2) ambisi mendapatkan tunjangan finansial; dan (3) kurang ketatnya sistem di PT.

Oleh karena itu menurutnya pendidikan karakter, budaya dan moral mendesak diterapkan di dunia pendidikan (Kompas, 20/2/2010).

Distorsi Pendidikan Karakter di PT

Bukan hal yang mudah untuk melibatkan komunitas masyarakat PT dalam diskusi serius tentang pentingnya memberikan pendidikan kepada mahasiswa yang tidak hanya dapat mengembangkan basis pengetahuan yang kuat, tetapi juga mengembangkan keterampilan yang dibutuhkannya dalam mengambil keputusan moral sebagai bekal untuk kehidupan di masyarakat.

Mengapa demikian? Sebagian besar individu para dosen menyakini pentingnya mahasiswa memiliki karakter yang kuat.

Pertanyaannya, mengapa para dosen tersebut tidak mendukung pengembangan dan pembangunan karakter secara terbuka terhadap para mahasiswa dan bahkan ada di antaranya berperilaku sebaliknya?

Pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan yang sederhana namun sesungguhnya memiliki akar persoalan yang dalam, yaitu apakah pimpinan PT, para dekan, para ketua Jurusan/ Departemen meyakini hakikat dan makna penting mendidik karakter mahasiswa sebagai bagian utama dari tujuan pendidikan di PT?

Para penggiat pendidikan karakter terkadang sering mengabaikan alasan keterbatasan visi pimpinan PT tersebut, sehingga selalu berlawanan dengan tujuan utama universitas. Di sisi lain, antusiasme para penggiat pendidikan karakter dan pimpinan PT juga mengabaikan kesempatan untuk mendiskusikan tentang keyakinan pentingnya pendidikan karakter di PT.

Padahal dengan memulai adanya prakarsa dialog semacam itu dalam komunitas akademik yang demokratis, penuh dengan saling pengertian, konsensus, maka perubahan jangka panjang dapat dicapai. Langkah ini merupakan cara terbaik untuk memastikan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih merasuk dan permanen.

Hakikatnya pendidikan yang ditunjukkan untuk mengembangkan seluruh aspek individu mahasiswa secara total tersebut menjadi tujuan utama dari pendidikan di PT. Namun dalam faktanya jauh panggang dari api.

Terutama hal tersebut terjadi pada universitas riset bahkan lembaga-lembaga pendidikan tinggi tenaga kependidikan penghasil guru (LPTK).

Ellen Condliffe Lagemann (2003), dekan Harvard Graduate School of Education, mengatakan bahwa laporan terbaru menyebutkan pendidikan di universitas telah menjadi lebih terfokus pada pendidikan teknis dan profesional dibandingkan yang terjadi pada era tahun 1970-an.

Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa para mahasiswa lebih difokuskan secara sempit pada “persiapan kejuruan” (Lagemann, 2003).

Di banyak tempat, dan untuk beberapa waktu lamanya, pendidikan tinggi telah gagal dalam misinya memberikan pendidikan kepada mahasiswa yang mampu menetapkan “rasa salah pada dirinya atau bersikap jujur, empathi terhadap orang lain, dan menjadi warga negara yang baik dan efektif” serta mampu mempersiapkan mahasiswa untuk “berpartisipasi dalam menentukan dan menghadapi isu-isu di zamannya” (Lagemann, 2003: 13).

Munculnya berbagai model universitas riset begitu juga program-program studi baru yang terkait dengan vokasi telah menciptakan situasi di mana pencarian bahan dan subjek penelitian sebagai sumber pencarian pengetahuan dan keterampilan menjadi lebih penting bagi para dosen dibanding meluangkan waktu untuk mendidik mahasiswa (Boyer, 1990).

Waktu untuk aktivitas para dosen hampir seluruhnya berada di dalam lembaga-lembaga penelitian, sehingga proses pengajaran menjadi prioritas kedua bagi sebagian besar dosen. Bahkan kemudian fokusnya lebih mengarah pada apa yang diajarkan bukan bagaimana memberi pembelajaran mahasiswa.

Karena dipandang bahwa mengajar mahasiswa dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaannya tidak memberi kontribusi dalam upaya untuk menerbitkan tulisan dalam jurnal penelitian, maka mendidik mahasiswa sering diletakan pada prioritas yang rendah (Wilshire, 1990).

Di sisi lain ambisi dan motif ekonomi untuk mendapatkan nilai finansial yang lebih menjadikan para dosen banyak berkiprah di jalur non kependidikan di luar kampus sehingga sering alfa untuk mendidik mahasiswa.

Manajemen sistem akademik yang buruk juga merupakan potensi dan ancaman nyata yang dapat membuat rapuhnya proses mendidik karakter mahasiswa di PT.

Integritas Dosen di PT

Keteladanan hidup yang berbasis nilai adalah pemenuhan kewajiban dan kebenaran moral dengan karakter yang konsisten, atau integritas. Penjelasan ini benar-benar terlepas dari agama, budaya, ras, atau etnisitas.

Dosen yang berintegritas tercermin dalam perilakunya seperti menjaga janji, menahan diri untuk tidak berbohong, menipu, apalagi korupsi.

Ketika berada di masyarakat, dosen yang memiliki integritas akan dipandang sebagai model bagi suara moral masyarakat untuk mengikutinya.

Model dosen yang berintegritas adalah dosen yang memilih untuk melakukan hal yang benar, sekalipun tidak ada orang lain yang melihatnya.

Integritas berarti secara konsisten melakukan apa yang benar, sekalipun di hadapannya ada yang lebih mudah untuk melakukan sesuatu yang secara finansial lebih menguntungkan.

Dosen yang berintegritas dalam konteks akademik menunjukkan perilaku bertanggung jawab untuk menyediakan program akademik yang berkualitas dan pengalaman pendidikan yang positif.

Pada diri dosen ada tanggung jawab dan dipercayakan untuk membentuk sikap jujur dan disiplin, sehingga pengaruh pengajaran dan potensi pembelajaran yang terjadi di kampus akan mengubah hidup mereka. Integritas seorang dosen yang melekat padanya tidak lepas dari pengamatan mahasiswa.

Para mahasiswa tahu kapan dosen berkomitmen untuk mengajar mereka yang mencakup ranah psikomotorik, kognitif, dan afektif, dan mengetahui bahwa dosen sungguh peduli dapat dipercaya, jujur, dan hormat.

Persoalannya, bagaimana para dosen dapat melayani sebagai teladan dengan mengajar karakter dan nilai-nilai moral kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab.

Inilah tantangan besar yang harus terus dibina dan dikuatkan di lingkungan PT, sehingga perilaku korup tidak muncul lagi dari kalangan PT dan bisa membawa PT yang berkarakter. Semoga.

Penulis: 

Dimyati
Guru Besar Bidang Ilmu Psikologi Olahraga UNY, Ketua Ikatan Psikologi Olahraga Indonesia (IPO) dan Dewan Pakar Forum Akademisi Sepakbola Indonesia (FAPSI)

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI