Pendahuluan
Menurut (Mustofa, 2002) terorisme merupakan tindakan kekerasan yang memiliki dampak kerusakan, ketakutan, kematian, ketidakpastian, serta keputusasaan massal. Tujuan dari aksi ini ialah sasaran acak yang tak memiliki relasi langsung dengan pelaku yang didasari oleh dorongan politik maupun non politik seperti keyakinan.
Pelaku dari terorisme pada umumnya merupakan kelompok terdiskriminasi dalam tatanan pergaulan yang mapan, sehingga mereka percaya dengan melakukan hal ini aspirasi mereka dapat tersampaikan. Namun pelaku terorisme juga bisa dari kelompok yang dominan pada tatanan pergaulan mapan.
Suatu negara juga dapat disebut teroris apabila dalam pelaksanaan kebijakan, negara melakukan tindakan diskriminasi yang represif kepada kelompok minoritas. Penindasan terhadap para pejuang kemerdekaan serta warga Palestina oleh penguasa Israel juga sebuah wujud dari terorisme.
Baca Juga: Membedah Terorisme
Islamophobia tidaklah bisa dipisah dari masalah praduga kepada orang muslim maupun orang yang dianggap muslim. Prasangka anti-muslim didasari pada suatu pernyataan bahwasannya Islam merupakan sebuah agama ‘inferior” serta ancaman kepada nilai-nilai yang dominan di suatu masyarakat (Abdel-Hady, 2004).
Islamophobia dapat diartikan sebagai suatu wujud kecemasan serta ketakutan yang dirasakan suatu individu maupun kelompok sosial kepada Islam serta orang-orang muslim yang mengacu pada pandangan tertutup mengenai Islam yang diikuti praduga bahwasannya Islam ialah agama yang ‘inferior” yang tidaklah pantas untuk memiliki dampak kepada nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat (Moordiningsih, 2004).
Komisi yang mempelajari mengenai Islamophobia serta Inggris menjelaskan bahwasannya Islam diasumsikan sebagai suatu ancaman di dunia ataupun khususnya di Inggris. Islam dikatakan sebagai pengganti Nazi ataupun komunisme yang memiliki perwujudan invasi dan infiltrasi.
Hal ini menyebabkan ketakutan serta kebencian terhadap Islam mengakibatkan rasa tidak suka terhadap sebagian besar orang muslim. Kebencian ini berlangsung di sebagian negara-negara barat dan di dunia (Trust, 1997).
Tanggal 15 Maret 2019 masyarakat muslim di Selandia Baru terkejut dengan adanya peristiwa penembakan brutal yang memakan korban jiwa dalam jumlah yang tidak sedikit. Kejadian itu terjadi pada dua masjid yang berada pada kota Christchurch. Melalui hasil investigasi pemerintah Selandia Baru menetapkan Brenton Tarrant sebagai pelaku atas peristiwa penembakan tersebut.
Baca Juga: Revolusi Islam Sebagai Produk Politik
Pembahasan
Di Selandia Baru Islamophobia sudah ada jauh sebelum peristiwa penembakan di Christchurch. Namun hanya berupa aksi diskriminasi kepada budaya. Rasisme dan diskriminasi tidaklah hanya terjadi di kehidupan keseharian saja namun juga terjadi pada media sosial.
Peristiwa penembakan massal kepada warga Muslim pada dua masjid yang berada di Kota Christchurch, kejadian berlangsung saat sholat Jumat sedang dilaksanakan yaitu pada tanggal 15 Maret 2019.
Peristiwa teror ini menelan korban jiwa sebanyak 50 orang, Perdana Menteri (PM) New Zealand Jacinda Ardern, menyebut peristiwa ini sebagai “serangan teroris”.
Pelaku peristiwa ini adalah Brenton Tarrant yang diduga mendapat radikalisme setelah mengunjungi beberapa negara terutama Eropa. Brenton menyatakan bahwasannya aksi yang dia lakukan merupakan aksi balas dendam kepada kematian Ebba Arkeleund seorang anak berusia 11 tahun yang tewas akibat aksi terorisme yang terjadi di Stockholm di tahun 2017 silam.
Aksi penembakan ini mengandung unsur rasial serta anti-imigrasi serta serangan atas nama keanekaragaman. Peristiwa penembakan tersebut dihubungkan dengan adanya ketidaksenangan kepada kaum muslim. Di mana banyak imigran muslim yang mulai menetap di Selandia Baru.
Baca Juga: Menyoal Kembali Pemaknaan Radikal
Adapun hasil dari kajian peristiwa ini memunculkan beberapa kontroversi mengenai tujuan aksi teror ini yakni untuk menunjukkan pada para penyusup yang mana penyusup ini berarti para imigran bahwasannya tanah mereka tidaklah akan pernah menjadi tanah dari para penyusup selama orang kulit putih masih hidup.
Teror di New Zealand tersebut terjadi pada dua tempat yang berbeda. Penembakan pertama terjadi pada Masjid Al Noor yang ada pada tengah Kota Christchurch, Penembakan kedua pada Masjid Linwood yang berada pada pinggir kota.
Peristiwa itu menelan korban jiwa sebanyak 40 orang, 30 diantaranya meninggal dunia di masjid Al Noor dekat Hagley Park, pusat Kota Christchurch serta 10 orang tewas di Masjid Linwood, pinggir kota. Semua korban adalah umat Muslim.
Aksi teror ini dilakukan oleh Tarrant merupakan teror berbau sayap kanan yang dilatarbelakangi oleh teori konspirasi yang bernama The Great Repacement, yang mana berkurangnya populasi warga berkulit putih di Perancis dan eropa dengan cara sistematis dampak dari imigrasi massal (Kennedy, 2019).
Tarrant juga telah menulis sebuah manifesto dengan judul The Great Replacement, pada manifesto itu ada hal-hal yang membuktikan bahwasannya Tarrant memanglah merencanakan perbuatan kejinya. Pada manifesto itu banyak hal-hal yang berbau ekstrimis sayap kanan.
Baca Juga: Dinamika Afrika Utara: Kondisi, Sejarah dan Peradabannya
Salah satunya adalah “[…] untuk menunjukan kepada penjajah bahwa tanah kami tidak akan pernah menjadi tanah mereka, tanah air kami adalah tanah air milik kami sendiri dan selama orang kulit putih masih hidup, mereka tidak akan pernah menaklukan tanah air kami dan mereka tidak akan pernah menggantikan kami” (Kennedy, 2019).
Berdasarkan hal tersebut sudah jelas bahwasannya Tarrant memiliki kekhawatiran akan adanya peningkatan non kulit putih yang dia juluki sebagai penjajah. Tarrant menggunakan media selaku alay guna menyalurkan pemikiran radikalnya akan imigran–imigran yang disebutnya sebagai penjajah.
Globalisasi yang terbalut dengan moderenisasi menyebabkan masyarakat dunia sangatlah mudah untuk memperkaya diri akan informasi. Tetapi seluruh informasi yang ada pada media tidak seluruhnya benar, serta lebih buruknya, konten-konten pada media tersebut itu juga banyak yang mengandung interes seseorang yang memiliki tujuan guna mempengaruhi pemikiran publik.
Hal itu menyebabkan banyaknya konten-konten yang berisikan interes seseorang yang disebut hoaks, mulailah muncul konsep era post-truth. Era ini menujukkan daya tarik emosional sangat memberikan dampak kepada pembentukan opini publik dibanding fakta yang sesungguhnya.
Kasus penembakan di Selandia Baru yang dilakukan oleh Tarrant merupakan salah satu wujud dari pemanfaatan media demi menggapai interes seseorang. Sebagai pengguna media massa yang bijak, kita haruslah menentukan sendiri dari kebenaran tiap informasi yang ada pada media massa. J
anganlah kita sampai secara langsung menyerap seluruh informasi yang ada pada media, dikarenakan faktanya, banyak orang-orang seperti Tarrant yang menyebarluaskan informasi dalam berbagai wujud guna interesnya di era post-truth ini.
Tim Penulis:
1. Daffa Agustiansyah
2. Pramana Ajie Putra
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UPN Veteran Jawa timur
Editor: Ika Ayuni Lestari
Daftar Pustaka
Abdel-Hady, Z. (2004). Islamophobia…A Threat…A Challenge! International Conference On Muslim and Islam in 21st Century.
Kennedy, E. S. 2019. The Great Replacement. Diambil dari: https://tirto.id/the-greatreplacement-yang-melandasi-aksi-teror-brenton-tarrant-djEU [Diakses pada 22 Juni 2022].
Moordiningsih. (2004). Islamophobia dam Strategi Mengatasinya. Buletin Psikologi, 12(2), 73-84.
Mustofa, M. (2002). Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia 2(3), 30-38.
Trust, R. (1997). Islamophobia: A Challenge for Us All. Commission on British Muslim and Islamophobia, 1(1).