Aksi teror kerap menghantui umat manusia. Teror merupakan jalan pintas yang dikehendaki oleh sebagian orang untuk kepentingan politik maupun motif eksistensialis. Serangkaian peristiwa teror yang kerap terjadi, menandakan dunia ini bukanlah tempat aman, melainkan tempat usaha manusia saling kerja keras untuk menciptakan imajinasi perdamaian.
Rabu ,13 November 2019 lalu, terjadi ledakan bom yang merupakan bom bunuh diri yang menyerang Mapolrestabes Medan. Serangan terror yang terjadi tersebut merupakan peristiwa yang seakan membangunkan kembali ingatan bangsa ini akan berbagai peristiwa terorisme yang terjadi sebelumnya, seperti serangkaian teror yang pernah terjadi di Indonesia pasca Bom Bali (2002), JW Marriot (2003), Kedubes Australia (2004), Rizt Carlton (2009), dan Bom Cirebon Masjid Mapolersta (2011). Hal ini menandakan bahwa Indonesia merupakan tempat strategis pelaku teror untuk melakukan tindakan terornya.
Memang gerakan terorisme telah menciptakan momentumnya sendiri dengan jubah yang bermacam-macam (Al-Qaida, Taliban) dan ISIS. Mereka memiliki narasi masing-masing untuk melakukan penyerangan terhadap warga yang tak berdosa.Narasi terorisme tentu tidak terbangun dengan sendirinya, melainkan ada beberapa faktor yang membuat mereka ada dan menampakkan taringnya. Kita bisa lihat beberapa faktor yang menarasikan gerakan terorisme.
Pertama, narasi politik. Kebijakan luar negeri Amerika yang melakukan agresi militer pasca tragedi 9/11 berdampak sangat luas bagi tumbuh-kembangnya terorisme global. Secara gamblang Amerika telah menciptakan musuhnya sendiri untuk kepentingannya sendiri dengan melakukan propaganda terhadap kalangan Islam.Kedua, narasi ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa ekonomi juga merupakan sumbu api bagi munculnya gerakan terorisme. Penguasaan kilang minyak di Timur Tengah menjadi daya tarik negara-negara super power untuk melakukan penguasaan atas daerah tersebut. Sehingga dengan dalih ekonomi, mereka mampu menggempur dengan kekuatan militernya.
Di sisi yang lain, alasan ekonomi ini berdampak sangat mikro. Pelaku teror menjadi teroris disebabkan motif ekonomi yang menjanjikan. Mereka rela melakukan bom bunuh diri (suicide bombing) asal keluarganya keluar dari jerat kemiskinan.Narasi ketiga adalah narasi jihad. Panggilan jihad diinterpretasikan oleh sebagian kalangan Muslim radikal untuk melawan musuh-musuh Allah sebagai sebuah kewajiban. Bagi mereka, jihad dianggap sebagai perang membela Tuhan. Termasuk obsesi mereka dalam mendirikan negara Islam maupun Khilafah Islamiyah. Menurut mereka, ganjaran atas semua itu adalah surga.
Tiga narasi di atas saling berkelindan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.Bagi Habermas, terorisme global tidak mempunyai tujuan-tujuan yang realistis dari segi politik, selain mengeksploitasi kerapuhan sistem yang kompleks (Barradori, 2003). Dalam arti ini, terorisme global mempunyai peluang paling kecil untuk secara retrospektif diakui ketika mengajukan klaim-klaim politik. Tapi dari kerapuhan sistem demokrasi, mereka bermain mencari ruang-ruang kosong untuk terus melakukan aksi terornya, dengan mencoba mendelegitimasi otoritas negara.
Jika memang peristiwa terror kali ini memiliki jaringan dan melakukan serangan bom di Medan bahkan tidak menutup kemungkinan menduplikat strategi serangan di tempat-tempat lainnya, maka hal demikian merupakan peringatan bagi pemerintah, kepolisian, BIN, Densus 88, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta Lapas di seluruh Indonesia. Lembaga-lembaga ini harus siap menghadapi serangan teror selanjutnya. Sebab, lembaga-lembaga ini merupakan lembaga yang secara langsung bertanggungjawab terhadap tindakan teror yang terjadi di Indonesia.
Kepolisian, BIN dan Densus mengetahui jaringan terorisme di Indonesia, bahkan mereka juga telah mengetahui siapa saja warga Indonesia yang sudah bergabung dengan sel-sel terorisme. BNPT dan Lapas juga sudah melakukan proses identifikasi napi-napi teroris yang tersebar di seluruh lapas yang menampung para teroris. Sungguh mengkhawatirkan bahwa di lapas pun para napi teroris masih mampu berjaringan dengan kelompok terror baik dalam negeri maupun luar negeri. Mereka bahkan berbaiat terhadap ISIS/Al-Qaeda ataupun kelompok-kelompok terorisme global lainnya di dalam lapas.Oleh karena itu, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi bentuk tindakan teror bukan hanya dari sisi hulunya saja, melainkan hilirnya juga mesti menjadi perhatian serius. Maksudnya, setelah mereka ditangkap oleh Densus dan Kepolisian, mereka tentu masuk ke dalam penjara setelah mendapat putusan hakim.
Nah, ketika dipenjara ini meraka juga harus diberikan pemahaman deradikalisasi. Mereka ini jangan didiamkan, tetapi harus didekati serta diajak berkomunikasi. Memang ada sebagian dari mereka yang menolak untuk berkomunikasi dengan orang luar. Bahkan sama petugas lapas pun mereka enggan berbicara. Meminjam istilah Kalapas, napi terorisme itu terbagi menjadi dua, ada yang koperatif dan yang tidak koperatif.Dengan begitu, BIN, Densus, BNPT dan Lapas bisa bersinergi untuk merumuskan program-program tepat sasaran untuk penanggulangan tindakan terorisme di Indonesia. Dan yang terakhir adalah, solusi bagi menanggulangi permasalahan terorisme ini adalah menyangkut ideology.
Dalam Qur’an disebutkan: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan sesuatu yang tidak kamu ketahui di hadapan Allah?” (Q.S. Al-A’raaf (7) :28),Ayat tersebut bisa berlaku juga untuk menyanggah para teroris yang terus melakukan aksi terornya, yang diwariskan dari generasi ke generasi, tentunya dengan ideologi yang sama pula.
Memberantas teroris sama halnya dengan mematikan pohon bambu, ketika kita hanya memotong bagian batangnya, meskipun sampai habis, suatu saat dari pohon bambu itu akan tumbuh tunas lagi, dan pohon bambu tersenut akan kembali rimbun. Kenapa? Karena akarnya masih ada.Begitu juga dengan terorisme, memberantas teroris harus dilakukan sampai akar-akarnya, tidak hanya pada aksi terornya tapi juga pada ideologinya. Dengan demikian, penyakit teror itu bisa benar-benar hilang.Ideologi adalah kumpulan konsep rigid yang secara sistematis dijadikan asas, pendapat (kejadian) yang memberikan arah tujuan untuk kelangsungan hidup.
Jadi, bukan hanya kebiasaan para teroris yang harus diubah tapi ideologi merekalah yang harus diperbaiki alias diluruskan. Karena mereka selama ini memiliki ideologi yang keliru, yang pada akhirnya membuat resah orang lain bahkan membunuh banyak nyawa yang tidak bersalah.Ketika ideologi mereka sudah diluruskan, maka kebiasaan-kebiasaan mereka untuk merakit bom, hidup menyendiri, tidak bermasyarakat, menganggap bahwa orang bule adalah orang kafir yang harus dibunuh dan lain sebagainya, secara berkesinambungan dapat dihilangkan. Sehingga, mereka pun bisa hidup dengan normal seperti masyarakat pada umumnya. Dan tidak akan ada lagi aksi-aksi teror yang banyak memakan banyak jiwa. Memberikan bimbingan, nasehat, dan rehabilititasi rohani kepada para pelaku teroris justru akan lebih baik dibandingkan dengan menghukumnya atau mematikannya