Jangan Buat Sampah Pemilu Menjadi Pemilu Sampah!

Satu Efek Samping Krusial yang Sering Diremehkan: Sampah

Kampanye intens antara presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto menimbulkan sesuatu yang lain, sejumlah besar sampah menggunung. Tak dapat dihindari, kasus ini semakin memperpuruk kondisi Indonesia yang telah dinobatkan sebagai negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia. Penegasan dari Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan ini didukung data yang valid dari laporan pihak sanitasi berbagai daerah di Indonesia.

Palembang sebagai ibu kota provinsi Sumatra Selatan, mendapatkan lebih banyak sampah kampanye pada tahun 2014. Jumlah sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Keramasan Sukawinatan Palembang yang biasanya 600 ton per hari, meningkat menjadi 620 ton sehubungan dengan politisi yang mencari perhatian pemilih seiring dengan disebarnya literatur kampanye dengan jumlah yang membengkak.

Jumlah Sampah Kampanye yang Terlantar

Menurut Nasution, Kepala Kantor Sanitasi Palembang, peningkatan volume limbah yang diangkut ke dua lokasi pembuangan akhir di distrik itu, tidak berubah di seluruh wilayah Palembang, kecuali zona-zona di mana kampanye besar-besaran sedang berlangsung. Kesaksian tersebut memperkuat kenyataan bahwa dampak kampanye pemilu di berbagai wilayah Indonesia sangatlah krusial terhadap kualitas lingkungan yang kita tinggali sekarang. Kemungkinan besar pertarungan 2019 akan memberikan lebih banyak lagi sampah susulan, mengingat pilihannya adalah presiden dan fakta bahwa jumlah pemilih yang memenuhi syarat telah meningkat menjadi 196,5 juta orang.

Bacaan Lainnya
DONASI

Di Makassar, poster dan billboard kampanye, ada di seluruh kota dan dibiarkan di jalanan bahkan ketika kampanye selesai. Menurut dokumen internal dari Pemerintah Kota Makassar Sulawesi Selatan, volume sampah meningkat menjadi 900 ton per hari pada waktu itu.

Dibandingkan dengan negara negara lain terutama di Asia Tenggara, Indonesia termasuk bangsa baru dalam hal demokrasi, mempunyai tradisi menyampaikan sejumlah besar bahan kampanye politik di atas kertas. Mirisnya, limpahan sampah juga sebanding dengan orang yang tidak peduli lagi akan nasib sampah-sampah tersebut ketika kampanye berakhir.

Pada pemilu legislatif tahun 2014 di daerah Purwakarta, para politisi yang bersaing untuk mendapatkan posisi di Dewan Perwakilan Rakyat mampu menghasilkan tiga ton tambahan sampah per hari, menekan sistem pembuangan limbah yang sudah dikenakan pajak hingga batasnya. Ibu kota kita sendiri, DKI Jakarta berada dalam krisis sampah, diperoleh dari pembuangan sampah plastik, sama halnya dengan pulau surga kita seperti Bali yang kini juga telah memudar, dipenuhi banyak sampah.

Penyebab Sampah Pemilu yang Menggunung

Salah satu penyebab utama peningkatan ini karena sebagian besar kampanye menggunakan papan iklan, selebaran, brosur dan spanduk. Total pengeluaran dalam kampanye pemilihan presiden periode 2014 lalu ketika Jokowi dan Prabowo saling berhadapan, mencapai Rp186,63 miliar. Biaya mencekik inilah yang membatasi kandidat untuk tetap menggunakan metode tradisional. Sayangnya, masyarakatnya juga masih bersikap tidak modern, meninggalkan sampah begitu saja setelah kampanye selesai. Tidak ada yang membersihkan kekacauan ini.

Penempatan spanduk dan baliho di semua tempat sering menyebabkan masalah antara pendukung kandidat tertentu. Karena pemilihan presiden dan legislatif akan diadakan secara bersamaan, produksi kertas akan meningkat secara dramatis. Juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memberikan 2,5 persen kertas tambahan. Ini berarti kertas yang akan digunakan akan mencapai lebih dari 400 juta surat suara. Perkiraan ini belum terhitung penggunaan kertas sebagai alat administratif, logistik dan lainnya.

Perlu Aturan Mengikat dan Pengaruh Positif dari Tokoh Masyarakat

Sebagai penghuni bumi pertiwi, sudah seharusnya kita memperhatikan bagaimana ke depannya sampah ini akan berlabuh mengingat akan lenyapnya fungsi kertas suara setelah pemilu selesai. Semua efek samping itu nantinya bukan hanya muncul sebagai sesuatu yang tak berguna, tapi juga bisa menjelma menjadi masalah serius bagi Indonesia.

Apabila kampanye tradisional akan tetap digunakan selama pemilihan presiden tahun 2019 ini. Peraturan tentulah sangat dibutuhkan untuk mencegah peningkatan jumlah sampah kampanye, dan juga diperlukan mandat pemerintah untuk pembersihan kekacauan. Mengatasai kasus besar yang menyelimutI Indonesia secara keseluruhan seperti ini dibutuhkan kerja nyata dari banyak pihak. Masyarakat akan kurang bereaksi jika hanya disuapi himbauan semata dari pemerintah. Peran pemerintah supaya turun tangan secara langsung, membuang sampah pemilu pada tempatnya untuk turut serta memberi contoh positif bagi rakyat akan sangat dibutuhkan. Begitu pula ketersediaan tempat pembuangan di sekitar daerah pemilu juga merupakan hal yang signifikan.

Selain itu, peran dan ajakAn dari tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing akan sangat berpengaruh terhadap aksi dan reaksi rakyat akan kebersihan lingkungan. Mereka akan cenderung melakukan gerakan pemilu bebas sampah dengan senang hati tanpa beban yang berarti. Mari kita sukseskan Pemilu Indonesia bebas sampah. Jangan buat sampah Pemilu berubah menjadi Pemilu sampah dengan ketidakmampuan rakyat dan pemerintahnya dalam menerapkan kebijakan pelestarian lingkungan, terutama di ranah bumi pertiwi sendiri.

Ke mana perginya kampanye menyejahterakan umat ketika penyampaiannya saja tak hanya mengorbankan lingkungan tercinta bumi pertiwi, tetapi juga merenggut keseimbangan alam dunia? 
–Nabilah Permata Firdausy

Nabilah Permata Firdausy
Mahasiswa Jurusan Teknik Industri Univeristas Sampoerna

Baca juga:
Pemilih Muda Butuh Pendidikan Politik Pancasila
Eks Koruptor Boleh “Nyaleg” Lagi?
Parlemen, Ruangan Tak Berdosa

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI