Kekerasan seksual adalah perbuatan merendahkan, menghina, dan menyakiti jiwa raga seseorang dengan nafsu perkelaminan. Kasus kekerasan seksual sudah banyak terjadi dan semakin marak akhir-akhir ini. Hal ini hanya semakin membuktikan tidak adanya ruang aman bagi wanita, khususnya di Indonesia.
Dikutip dari komnasperempuan.go.id, berdasarkan pada data-data yang terkumpul dari lembaga layanan/formulir pendataan Komnas Perempuan sebanyak 8.234 kasus, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat yaitu KDRT dan relasi personal sebanyak 79% (6.480 kasus).
Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama sebanyak 3.221 kasus (49%), disusul kekerasan dalam pacaran sebanyak 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak yang Tidak Diseriusi Oleh Pemerintah
Hal di atas tentunya menunjukkan bahwa perlindungan hukum di Indonesia terhadap perempuan masih lemah. Peraturan hukum mengenai kekerasan seksual memang sudah ada, namun secara substansial masih memiliki banyak kekurangan sehingga belum bisa menanggulangi kasus-kasus kekerasan seksual yang sudah ada. Efek negatif yang paling umum dirasakan oleh korban kekerasan seksual adalah kerusakan psikologis.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, dan dilakukan oleh siapa saja. Bahkan ironisnya, pelakunya umumnya adalah orang-orang terdekat yang dikenal baik oleh korban, yakni keluarga, kerabat maupun pasangan. Seperti kasus yang menimpa NW (23), seorang mahasiswi Universitas Brawijaya asal Mojokerto, Jawa Timur yang ditemukan tewas di samping pusara sang ayah pada Kamis 2 Desember 2021.
NW diduga bunuh diri dengan menenggak racun lantaran depresi setelah diperkosa dan dipaksa aborsi oleh kekasihnya yang juga merupakan seorang aparat penegak hukum. Wakapolda Jawa Timur, Brigjen Polisi Slamet Hadi Supraptoyo mengungkapkan, pacar dari NW berinisial RB, sudah diamankan di Polres Mojokerto Kabupaten.
Brigjen Polisi Slamet memaparkan bahwa dari hasil olah TKP penemuan mayat korban terdapat adanya bekas minuman yang bercampur potasium sianida. Lanjutnya, hasil dari visum luar yang dilakukan oleh Puskesmas Suko pada 2 Desember 2021, tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan fisik pada mayat korban.
Tanda pagar (tagar) #SaveNoviaWidyasari menjadi trending nomor satu di media sosial Twitter sejak pekan lalu. Bukan tanpa alasan, tagar ini merupakan bentuk dukungan dan solidaritas netizen terhadap hal yang dihadapi oleh NW. Awalnya, ada kabar yang menyebutkan kalau Novia meninggal akibat depresi setelah sang ayah meninggal.
Namun berdasar pernyataan kawan dekat korban, kepergian sang ayah bukanlah pemicu NW mengakhiri hidupnya. Masalah yang dihadapi oleh NW ini dibagikan langsung oleh sang sahabat melalui akun Twitter @belaw**, ia menceritakan bahwa NW hamil setelah diperkosa sang pacar dan dipaksa untuk melakukan aborsi. Tak hanya sekali, namun hal ini sudah terjadi dua kali sejak tahun lalu.
Baca Juga: Melihat Kasus “Meninggalnya Mahasiswa UNS” dari Persepsi Lain
Selain itu, NW juga mengalami penolakan dari keluarga sang kekasih dan juga hujatan-hujatan dari kerabat NW sendiri, yang kemudian membuatnya jauh semakin tertekan dari sebelumnya. Hal tersebut kemudian menjadikan dugaan mengapa NW pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
“Akhirnya aku kontak AN (teman yang memberitahu NW bunuh diri). Aku minta ceritakan semuanya ke aku dan kita sepakat untuk up ke media,” katanya dilihat dari akun Twitter @belaw** pada Sabtu, 4 Desember 2021.
Kasus yang dialami NW ini bukan tidak menutup kemungkinan cukup mengorek luka batin para penyitas pelecehan seksual yang mungkin sampai saat ini belum mendapatkan keadilannya. Pada umumnya, setiap kejadian yang menyakiti atau membuat seseorang merasa terancam dan dirugikan pasti akan membekas dalam ingatan memori orang tersebut atau yang kerap disebut dengan trauma.
Trauma yang mungkin terjadi pada korban pelecehan seksual adalah PTSD. PTSD adalah……. Jika seseorang mengalami PTSD, biasanya ia akan merasa takut, marah, merasa bersalah, cemas dan mungkin perasaan sedih yang ekstrem. Pada kenyataannya, banyak dari korban pelecehan seksual diberi label buruk atau stigma negatif oleh masyarakat, dan sayangnya itu semua sulit untuk dihilangkan.
Alih-alih mendukung dan membantu, masyarakat cenderung merundung bahkan menyalahkan para korban. Imbasnya, korban akan merasa malu, tidak aman dan berusaha menghindari orang-orang sekitarnya. PTSD juga menyebabkan pengidapnya selalu merasa cemas dan berada dalam bahaya, sehingga harus selalu ekstra waspada. Semakin lama, kondisi kesehatan mental korban akan semakin terganggu dan mempengaruhi kehidupan sehari-harinya, misalnya mengalami gangguan kecemasan.
Baca Juga: Isu Pelecehan Seksual yang Terjadi di Lingkungan Kampus Universitas Riau
Tidak menutup kemungkinan korban pelecehan seksual akan mengalami gangguan dan sulit mengontrol kebiasaan makan. Tidak jarang penderita gangguan mental menggunakan makanan sebagai pelampiasan mengatasi trauma. Ada tiga tipe gangguan makan, yakni anorexia nervosa, bulimia nervosa dan binge eating.
Dalam keadaan sedih dan rasa kecewa yang mendalam, korban pelecehan seksual akan kesulitan menyeimbangkan keinginan makannya. Mungkin waktu-waktunya akan diisi oleh melamun, tidak nafsu makan bahkan marah dengan kondisi yang dialaminya.
Hal yang paling sering ditemui adalah korban menyalahkan diri sendiri, hal ini berkaitan dengan depresi. Depresi ini adalah gangguan mood yang terjadi ketika perasaan sedih yang mendalam dan terus-menerus dirasakan dalam waktu yang lama. Depresi juga adalah salah satu isu kesehatan mental serius.
Imbas dari depresi yang parah dan harus menjadi perhatian bersama adalah, biasanya korban bukan hanya menyalahkan diri sendiri, namun juga dapat melukai diri sendiri termasuk upaya untuk bunuh diri. Jika kita lihat dari kasus NW, kemungkinan ia sudah mengalami depresi dan tidak mampu lagi untuk berpikir lebih jauh dan positif sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Terdapat dugaan bahwa depresi yang dialami NW juga didukung oleh perlakuan orang-orang di sekitarnya yang tidak mampu mendengar apa yang ia alami dan rasakan, bahkan mencaci-makinya. Dikutip dari beberapa media, bahwasanya NW juga pernah melaporkan tindak pelecehan seksual di Universitas Brawijaya, di mana ia pernah dilecehkan oleh kakak tingkatnya yang berinisial RAW. Namun dari laporan tersebut, tidak pernah terjadi apa-apa.
Arfi’ah Reihandini
Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Editor: Diana Pratiwi