Kesalahpahaman UMR: Berlaku untuk Siapa?

Umkm
Ilustrasi Karyawan.

Besaran UMR Jogja yang diputuskan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 338/KEP/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Tahun 2023, serta berdasarkan Ketetapan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 ternyata membawa dilema begitu besar bagi para pengusaha UMKM.

Sewa lahan, ruang usaha, dan ruko yang kian terus meningkat karena harga properti di Yogyakarta melambung fantastis, kenaikan bahan baku, ditambah dengan aturan pemerintah akibat tuntutan para buruh untuk kenaikan upah, banyaknya kompetitor yang asalnya dari karyawan lamanya sendiri yang membuka usaha yang sama, menjadikan pertimbangan harus bagaimana langkah pengusaha tersebut pada bisnisnya.

Hal ini terjadi karena utamanya karyawan yang melakukan resign dengan dalih gaji yang tidak sesuai UMR.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Strategi untuk Meningkatkan Sumber Daya Manusia di Era Banyaknya UMKM

Selain itu, ada beberapa hambatan yang dialami UMKM yang dikutip dari jurnal yang berjudul Analisis Strategi Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara terhadap Pemenuhan Upah Minimum Regional (UMR) bagi UKM di Kota Medan yang ditulis oleh Irhamna Tanjun menjelaskan di antaranya:

  1. Kurangnya permodalan dan terbatasnya akses pembiayaan (baik dari syarat pengajuan kredit dan tingginya tingkat bunga);
  2. Laba UMK relatif rendah;
  3. Kualitas sumber daya manusia yang masih rendah;
  4. Lemahnya jaringan usaha dengan rekan, dan kemampuan pasar baik daya beli dan daya jualnya.

Tak heran, mulai banyak usaha-usaha yang gulung tikar, menutup usaha, dan pindah ke provinsi atau wilayah yang UMR-nya rendah dan atau memutuskan untuk menjadi ASN di mana tidak perlu memikirkan bisnis meskipun terlihat lebih menjanjikan.

UMR Jogja 2023 pada dasarnya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan. Setiap perusahaan harus mematuhi UMR Yogyakarta yang ditetapkan. 

Namun, dalam UU Cipta Kerja, tepatnya Pasal 81 Angka 28 UU Cipta Kerja, ketentuan mengenai upah minimum tidak berlaku bagi Usaha Mikro, dan Menengah (UMKM). Artinya, UMKM boleh menggaji di bawah upah minimum.

Hanya saja, banyak pekerja yang kurang memahami arti upah minimum ini merasa bahwa semua pengusaha baik besar maupun kecil harus mematuhinya. Dampaknya, tuntutan seperti ini, seperti yang dilakukan pada peringatan May Day yang digelar dari Tugu Pal Putih (1/5) lalu justru didominasi oleh para pekerja yang bekerja pada usaha mikro dan kecil.

Hal inilah yang menjadikan banyaknya kesalahpahaman yang berujung pada bentrok antara pemilik UMKM dan karyawannya, yang merasa ada diskrimasi karena upahnya kecil. Padahal, bisa saja beban kerja yang diberikan tidak sebesar perusahaan yang telah berbadan hukum.

Baca Juga: Penerapan Sanksi Hukum pada Perusahaan yang tidak Memberikan Upah pada Karyawan saat Penjatuhan Masa Skorsing

Sebaiknya, masalah upah, pelamar harus membicarakan pada saat wawancara kerja, dan sebelum penandatanganan kontrak. Agar kedepannya, tidak ada kesalahpahaman.

Begitu juga, para pemilik UMKM juga harus memberikan wawasan tentang UMR itu berlaku untuk pengusaha yang bagaimana, rincian kejelasan tentang deskripsi pekerjaan, jam kerja, besaran upah yang diberikan, serta benefit atau jenjang karier jika ada, agar menarik SDM yang sesuai dengan harapan.

Penulis: Yeni Eka Surya
Mahasiswa Magister Manajemen MM UPN

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI