Pandangan Lain Tentang May Day

Dua puluh tahun lalu, seorang buruh perempuan dengan gentar menyuarakan keadilan untuk diri dan rekannya sesama buruh di sebuah perusahaan. Spiritnya menggebu-gebu, semangat juangnya begitu massif, suaranya lantang dan bulat. Ia tampil menonjol di antara lautan buruh lainnya. Sayangnya, beberapa penghuni negeri kita bermental pengecut. Tidak tahan dengan suara-suara keadilan. Nyawa perempuan pemberani ini akhirnya menjadi tumbal mental ciut itu. Mayatnya diletakkan begitu saja disebuah gubuk persawahan. Dialah Marsinah. Perempuan yang menjadi simbol perjuangan kaum buruh, khususnya buruh perempuan.

Setiap tahun, pada 1 Mei, beribu-ribu buruh, aktifis, pemerhati, dan lainnya, turun ke jalan memperingati hari buruh, atau lebih dikenal dengan May Day. Buruh dari berbagai daerah rela menempuh perjalanan jauh untuk menyuarakan tuntutannya di ibu Kota. Meski sang Presiden sebagai alasan kuat datangnya buruh ke Jakarta, tak pernah ada di Ibu kota. Tapi malah ‘kabur’ ke daerah Jawa. Memang spirit awal perjuangan buruh datang dari negerinya Barrack Obama. Tetapi saat ini, orang Indonesia telah memaknai secara sadar akan pentingnya memerjuangkan keadilan bagi para pekerja.

Hari ini, tepat tanggal 1 Mei, peringatan May Day kembali digelar. Jalan-jalan protokol di Jakarta kembali tumpah ruah oleh buruh dari berbagai organisasi dan daerah. Tuntutan mereka antara lain, penghapusan sistem outsoursing, jaminan kesejahteraan kesehatan, menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional, dan menolak kenaikan harga BBM.

Bacaan Lainnya
DONASI

Beberapa tuntutan di atas telah diperjuangkan sejak dulu. Namun hingga kini, setelah bertahun-tahun memperingati May Day, tuntutan itu tak kunjung dipertegas oleh pemerintah. Lebih tepatnya, pemerintah tidak perhatian dan tidak pada buruh. Padahal kalau mau berpikir bijak, karena hasil keringat buruhlah, pemerintah dapat menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Bayangkan saja kalau tidak ada yang membuat baju, mengemas teh ke dalam kotak, membuat kertas, dan lainnya, tentu kerja-kerja di pemerintahan akan macet.

Tak ada kata selesai dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana buruh yang terus-menerus mengulang May Day untuk sebuah keadilan. Tetapi, pernahkan kita bertanya, apa dampak besar dari aksi demonstrasi dalam satu hari itu? Sudahkah kita berpikir dari sisi yang lain, yaitu keluar dari pemikiran umum yang cenderung menjadikan momentum May Day berlalu dengan seremonial belaka? Mungkin sebagian besar dari anda merasa aneh atau tidak setuju dgn pertanyaan tadi. Sah-sah saja tentunya. Tetapi izinkan saya menjernihkan maksud dari pertanyaan di atas.

Selama ini, kebanyakan dari kita cenderung menjadikan momentum peringatan hari-hari tertentu, sebagai acara seremonial dengan maksud memperjuangkan isu yang jatuh pada hari tersebut. Serangkaian seminar, diskusi, dan demontrasi pun menjadi pemandangan umum. Presiden dan menterinya pun mengucapkan “Selamat hari…” di media massa. Hanya ucapan selamat, dan hanya sehari saja. Tidak ada tindak lanjut. Momentum itu pun hanya menjadi semacam perayaan semata.

Momentum memang punya kelebihan karena saat itu banyak orang yang tergiring, emosinya lebih bicara, sedikit beruforia, untuk lebih memasifkan perjuangannya. Tetapi jika kita maknai lebih jauh, perjuangan adalah proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak mengenal waktu.

Peringatan May Day misalnya, telah lama diperingati tapi dampak yang kelihatan masih jauh api dari panggang. Mengapa? Penyebabnya sebagian besar datang dari pemerintah dan swasta sebagai pengatur kebijakan, dan sebagian kecilnya bisa jadi datang dari buruh itu sendiri.

Mari kita berpikir lebih mendasar, yaitu mencari tahu akar masalah kesejahteraan buruh sehingga solusinya pun lebih tepat sasaran. Masalahnya karena pemerintah tidak tegas melindungi pekerja? Iya itu sudah jelas bagi kita. Dan kita sebagaimana kita ‘berbusa-busa’ menyuarakannya. Karenanya, selain terus mengadvokasi keadilan di level pemerintah, kita perlu bermain cerdas dalam menghadapi mental pemerintah yang seperti ini.

Pertama, perlu ada peningkatan keahlian dan keterampilan buruh agar mereka mempunyai nilai jual tinggi. Kedua, buruh perlu mendapatkan peningkatan pendidikan tentang perburuhan yang mencakup kesadaran kritis akan hak dan kewajibannya, hingga tekhnik tawar menawar, advokasi, dan pressure. Para pekerja harus berani mengambil resiko, termasuk sepakat mogok kerja secara bersamaan, jika perusahaan dan pemerintah berlaku tidak adil. Lalu keluarga mereka mau makan apa kalau mogok? Yah, itu salah satu resiko yang harus diambil. Sampai kapan perusahaan akan bertahan menghentikan produksinya? Mereka pasti berhitung untuk segera bernegosiasi dengan para pekerjanya. Yang penting para buruh konsisten dengan langkahnya.

Jika langkah pertama dan kedua susah dilakukan oleh buruh, mungkin mereka perlu mengambil langkah ketiga, yaitu mulai berpikir dan berusaha kreatif, melepaskan baju sebagai pekerja dan mulai menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Ini langkah yang lebih kritis, berani, dan lebih mendekati kesejahteraan. Mereka tidak lagi diperintah, didikte, dan dipandang rendah oleh sang bos, tak perlu merasa takut akan kabar PHK, bisa mengatur waktu bersama keluarga daripada menghabiskannya di pabrik yang bising dan penuh polusi, dan masih banyak keuntungan lainnya.

May Day tetap menjadi momentum perjuangan kesejahteraan buruh. Sementara menyelesaikan persoalan dasar buruh adalah kunci kesejahteraan dari buruh itu sendiri. Sebab, kesejahteraan tidak melulu bicara jumlah penghasilan, tetapi lebih penting adalah rasa tenang, nyaman, dan bebas dari segala bentuk penindasan. Dan itu berasal dari dalam diri kita sendiri. Selamat Hari Buruh!

MILASTRI MUZAKKAR

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI