Ketangguhan Keluarga di Tengah Ujian: Belajar dari Ibu Rosmiati

Ketangguhan Keluarga di Tengah Ujian: Belajar dari Ibu Rosmiati
Ilustrasi Keluarga (Sumber: freepik.com)

Dalam kehidupan berkeluarga, kita kerap membayangkan kehangatan, dukungan emosional, dan saling tolong-menolong sebagai hal yang menyatukan semua anggota.

Namun, bagaimana jika salah satu pilar utama dalam rumah tangga, seperti ayah atau ibu, mengalami penyakit kronis?

Kondisi seperti ini bukan hanya mengguncang secara fisik dan finansial, tetapi juga menuntut penyesuaian besar dalam hal peran, komunikasi, dan pengambilan keputusan.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, di mana peran ayah sebagai kepala keluarga masih sangat dominan, tantangan ini menjadi lebih kompleks.

Bacaan Lainnya

Melalui kisah keluarga Ibu Rosmiati, kita bisa belajar bahwa ketahanan keluarga bukan hanya soal kemampuan finansial, tetapi juga soal daya adaptasi, kesabaran, dan komitmen untuk tetap berjalan bersama dalam segala keterbatasan.

Keluarga Ibu Rosmiati tinggal di kawasan Cibuluh, dengan kondisi ekonomi yang sederhana.

Baca Juga: Pengaruh Hubungan dalam Keluarga terhadap Kesehatan Mental Anak

Suaminya bekerja sebagai marbot masjid dengan penghasilan tidak tetap, sementara salah satu anaknya membantu secara finansial dari pekerjaannya sebagai mekanik bengkel.

Dalam rumah tangga ini, Ibu Rosmiati berperan sebagai ibu rumah tangga sekaligus pengelola kebutuhan harian, meskipun beliau tengah menghadapi tantangan kesehatan kronis.

Dengan pengeluaran harian sekitar dua puluh lima ribu rupiah dan tanpa penghasilan tambahan lain, keluarga ini menggambarkan kehidupan masyarakat bawah yang tetap berjuang menjaga keberlangsungan hidup di tengah tekanan ekonomi dan kondisi fisik yang terbatas.

Walau begitu, mereka masih memiliki akses ke layanan kesehatan melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS), meski tidak aktif dalam kegiatan sosial masyarakat.

Dinamika dalam rumah tangga ini menunjukkan bagaimana peran ayah sangat dominan, khususnya dalam pengambilan keputusan.

Baik dalam persoalan rutin maupun dalam situasi darurat, suami menjadi satu-satunya pengambil keputusan.

Baca Juga: Akhlak dalam Berkeluarga

Tidak ada diskusi panjang atau evaluasi bersama; keputusan bersifat top-down.

Ini menunjukkan pola manajemen keluarga yang masih sangat tradisional dan sentralistik, khas dalam budaya patriarkis di Indonesia.

Sayangnya, pendekatan ini mengurangi potensi partisipasi aktif dari anggota keluarga lainnya seperti istri dan anak dalam ikut membangun keharmonisan serta pengambilan keputusan yang lebih demokratis dan berkelanjutan.

Padahal, teori manajemen keluarga modern menekankan pentingnya pembagian peran dan tanggung jawab secara lebih seimbang.

Dalam hal komunikasi, keluarga ini juga menunjukkan pola yang terbatas. Diskusi keluarga jarang dilakukan, dan jika pun ada, lebih banyak melibatkan ayah dan anak.

Ibu Rosmiati sendiri cenderung pasif dan mengikuti keputusan yang dibuat oleh suaminya.

Situasi ini memperlihatkan komunikasi satu arah yang kurang membuka ruang bagi partisipasi perempuan dalam menyampaikan pandangan atau keberatannya.

Baca Juga: Peran Stereotip dan Ekspektasi Gender dalam Keluarga

Padahal, komunikasi dua arah dalam keluarga bukan sekadar soal berbicara dan mendengar, tetapi juga soal menciptakan ruang aman bagi semua anggota untuk merasa dihargai.

Keluarga yang sehat secara emosional adalah keluarga yang mampu mendengar satu sama lain, bahkan di tengah situasi sulit sekalipun.

Di balik kekurangannya, masih ada kekuatan positif dalam keluarga ini, salah satunya adalah bagaimana mereka memanfaatkan waktu bersama.

Meski suami bekerja dengan jam yang tidak tetap dan jarang libur, ia tetap berusaha meluangkan waktu untuk hadir secara fisik dan emosional bagi keluarganya.

Ini menunjukkan bahwa keterbatasan waktu tidak selalu menjadi penghalang selama ada niat dan komitmen untuk menjaga kebersamaan.

Dalam konteks manajemen waktu keluarga, hal ini penting, karena waktu adalah sumber daya yang tidak bisa diulang.

Baca Juga: Membangun Keluarga Sakinah di Lingkungan yang Tidak Sehat

Keluarga yang menyadari pentingnya waktu bersama akan lebih mudah membangun ikatan emosional yang kuat meski dalam tekanan kehidupan.

Kisah Ibu Rosmiati menggambarkan bagaimana manajemen pekerjaan dan keluarga dapat berjalan harmonis meskipun dengan pola pembagian peran yang masih tradisional, di mana ia lebih banyak mengurus rumah tangga sementara suaminya berperan sebagai pencari nafkah utama.

Meskipun pekerjaan suaminya menuntut kesiapsiagaan tinggi, kedekatan keluarga tetap terjaga melalui kehadiran emosional dan waktu berkualitas bersama.

Selain itu, Ibu Rosmiati juga menunjukkan pentingnya dukungan emosional dalam keluarga dengan memberikan semangat dan motivasi kepada anaknya yang telah bekerja.

Hal ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga tidak hanya bergantung pada pembagian tugas yang setara, tetapi juga pada fleksibilitas, komunikasi, dan dukungan sosial yang kuat dalam sistem keluarga.

Selain mampu mengelola pembagian peran dengan baik, keluarga Ibu Rosmiati juga menunjukkan kemampuan manajemen stres yang efektif.

Baca Juga: Peran Keluarga sebagai Solusi Kebiasaan Merokok pada Remaja

Meski aktivitas fisik seperti olahraga sudah jarang dilakukan karena keterbatasan fisik, keluarga ini tetap tidak mengalami stres yang signifikan karena semua dijalani dengan ikhlas dan sederhana.

Pendekatan ini sejalan dengan strategi coping emosional, di mana ketenangan batin dan penerimaan terhadap keadaan menjadi kunci utama dalam menghadapi tekanan.

Gaya hidup yang tidak kompleks serta minimnya tekanan pekerjaan dari luar rumah turut berkontribusi pada kondisi psikologis tiap individu yang stabil.

Bahkan, dalam situasi mendesak, dukungan sosial sederhana seperti saling membantu dengan tetangga sudah dirasa cukup, menunjukkan bahwa keseimbangan mental dalam keluarga tidak selalu membutuhkan jaringan sosial yang luas, melainkan cukup dengan hubungan yang saling mendukung dan penuh pengertian.

Dalam hal manajemen keuangan, keluarga Ibu Rosmiati mengandalkan pendekatan praktis yang sederhana, di mana pengeluaran difokuskan pada kebutuhan primer dan menghindari pemborosan untuk hal-hal konsumtif.

Saat menghadapi kondisi mendesak, solusi jangka pendek seperti meminjam kepada tetangga menjadi alternatif yang ditempuh.

Baca Juga: Pengaruh Hubungan dalam Keluarga terhadap Kesehatan Mental Anak

Meskipun belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen keuangan modern seperti perencanaan anggaran, kebiasaan menabung, atau alokasi dana darurat, keluarga ini tetap berupaya menjaga kestabilan keuangan sehari-hari dengan hidup hemat dan membedakan dengan jelas antara kebutuhan dan keinginan.

Pendekatan ini mencerminkan cara bertahan yang adaptif dalam situasi terbatas, meskipun belum mencerminkan konsep ideal keamanan finansial sebagaimana dijelaskan dalam teori manajemen keuangan keluarga.

Keluarga Ibu Rosmiati menggambarkan dinamika manajemen rumah tangga yang sederhana namun relevan dalam tiga aspek utama: lingkungan, kesejahteraan, dan teknologi.

Dalam hal lingkungan, upaya yang dilakukan masih minimal, seperti penghematan energi dengan mematikan lampu siang hari dan mengurangi plastik.

Namun, belum ada pengelolaan sampah atau partisipasi dalam penghijauan menunjukkan kesenjangan dengan prinsip sustainability yang ideal.

Di sisi kesejahteraan, Ibu Rosmiati mendefinisikan kebahagiaan keluarga melalui kecukupan finansial dan keharmonisan hubungan, sebuah pendekatan subjektif yang berfokus pada rasa syukur meski belum sepenuhnya selaras dengan indikator multidimensi, seperti kesehatan atau pendidikan.

Baca Juga: Peran Suami-Istri dalam Membentuk Keluarga Sakinah yang Bahagia

Sementara itu, di era digital, teknologi hanya dimanfaatkan untuk komunikasi via ponsel, tanpa aturan khusus atau pemanfaatan edukatif-profesional, mencerminkan adaptasi terbatas dibanding potensi teknologi sebagai sarana belajar atau bekerja.

Secara keseluruhan, praktik keluarga ini menampilkan gaya hidup yang pragmatis dengan tantangan untuk lebih mengintegrasikan prinsip berkelanjutan, kesejahteraan holistik, dan pemanfaatan digital yang lebih optimal.

Kisah keluarga Ibu Rosmiati menggambarkan kenyataan bahwa ketahanan keluarga bukan diukur dari besar kecilnya penghasilan, melainkan dari seberapa kuat mereka menjaga kebersamaan, berbagi peran, dan saling menguatkan dalam keterbatasan.

Meskipun mereka belum mampu menerapkan semua prinsip manajemen keluarga secara ideal, nilai-nilai dasar seperti syukur, tanggung jawab, dan kasih sayang menjadi fondasi kuat dalam menjalani hari-hari yang penuh tantangan.

Dalam masyarakat yang terus berubah, dukungan dari komunitas, pemanfaatan teknologi, serta peningkatan literasi manajemen keluarga sangat penting untuk membantu keluarga seperti Ibu Rosmiati agar tetap berdaya, sehat, dan sejahtera di tengah berbagai rintangan hidup.

 

Penulis:
1. Muhammad Chalied Al Walid
2. Utomo Dwiwahyu
3. Anisya Nur Fadhilah
4. Inayah Azizah
5. Selfi Armelia
6. Nirwana Cahyaning Safitri
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, IPB University

Dosen Pembimbing:
1. Dr. Megawati Simanjuntak, S.P., M.Si
2. Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA.

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses