Ketika proyek-proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terus berjalan, konflik antara rakyat dan alam semakin nyata.
Sengketa lahan yang belum tuntas di IKN, dengan ribuan hektare tanah masih dalam penguasaan masyarakat adat yang belum mendapatkan kejelasan dan ganti rugi layak, menimbulkan pertanyaan mendalam:
Apakah pembangunan yang diklaim untuk kemajuan bangsa benar-benar berpihak pada rakyat atau justru mengorbankan hak-hak mereka?
Di sisi lain, penolakan masyarakat adat Raja Ampat terhadap tambang nikel yang mengancam kelestarian hutan dan ekosistem laut menunjukkan bahwa krisis ekologis tidak bisa diabaikan demi keuntungan ekonomi jangka pendek.
Bahkan banjir yang kian parah di berbagai wilayah akibat proyek infrastruktur yang belum memadai mempertegas bahwa pembangunan tanpa keseimbangan ekologis membawa dampak serius bagi kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, nilai-nilai Pancasila yang menempatkan kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan sebagai bagian integral pembangunan harus kembali menjadi pijakan utama agar konflik antara rakyat dan alam dapat diselesaikan secara adil dan berkelanjutan.
Ketimpangan dalam pembangunan di Indonesia semakin nyata ketika banyak proyek besar tidak melibatkan masyarakat secara adil, bahkan sering berujung pada penggusuran dan perampasan lahan tanpa kompensasi yang layak.
Contohnya, di Pulau Rempang, Batam, rencana pembangunan Proyek Rempang Eco City yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) telah menimbulkan konflik berkepanjangan dengan masyarakat setempat.
Warga Rempang menolak penggusuran yang dilakukan dengan berbagai istilah seperti “hijrah” atau “transmigrasi lokal,” yang pada kenyataannya merupakan upaya memindahkan mereka demi kepentingan proyek tersebut tanpa persetujuan penuh masyarakat.
Fenomena serupa juga terjadi di berbagai wilayah lain, di mana PSN yang digalakkan pemerintah telah merampas hingga 571 ribu hektare tanah rakyat selama era pemerintahan Jokowi, dengan dampak berupa penggusuran paksa dan kriminalisasi masyarakat yang menolak proyek tersebut.
Mekanisme ganti rugi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sering kali tidak berjalan adil; nilai ganti rugi yang ditawarkan tidak mencerminkan nilai sebenarnya, dan proses musyawarah dengan masyarakat terdampak kerap tidak transparan atau dipaksakan.
Ketimpangan ini semakin diperparah oleh pola pembangunan yang sangat terpusat di Pulau Jawa, sementara daerah-daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang kaya sumber daya alam justru menjadi lokasi proyek besar yang seringkali mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal.
Alih-alih memberdayakan, pembangunan tersebut lebih banyak menimbulkan konflik dan ketidakadilan sosial-ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan yang sejatinya bertujuan untuk kemajuan bangsa harus direfleksikan kembali agar tidak menjadi alat penggusuran dan perampasan, melainkan benar-benar melibatkan dan menguntungkan rakyat secara adil dan berkelanjutan.
Krisis ekologi yang semakin parah di Indonesia merupakan akibat langsung dari proyek-proyek pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Deforestasi yang diperkirakan mencapai 600 ribu hektar pada tahun 2025, eksploitasi pulau-pulau kecil untuk pertambangan, hingga kerusakan hutan yang memicu banjir dan kekeringan, menjadi bukti nyata bagaimana alam terus dirusak demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
Kerusakan hutan dan berkurangnya daerah resapan air memperparah risiko banjir yang kian sering melanda wilayah-wilayah yang terdampak pembangunan infrastruktur besar. Selain itu, polusi udara akibat emisi dari proyek pembangkit listrik dan limbah yang belum sepenuhnya terkelola dengan baik juga menambah beban lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Situasi ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-5 tentang “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan sila ke-2 tentang “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Keadilan sosial menuntut agar seluruh rakyat memperoleh hak yang setara, termasuk hak atas lingkungan yang sehat dan layak huni. Namun, kerusakan lingkungan justru menimpa kelompok masyarakat paling rentan yang sering kehilangan akses terhadap sumber daya alam dan mengalami dampak paling parah dari bencana ekologis.
Sementara itu, sila ke-2 mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berarti manusia harus menjaga alam sebagai bagian dari ciptaan dan tidak semena-mena mengeksploitasi lingkungan hingga merusak kehidupan sesama manusia dan makhluk lain.
Pengabaian terhadap lingkungan adalah bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan yang adil dan beradab, karena menimbulkan penderitaan yang tidak proporsional dan merusak harmoni sosial.
Dengan demikian, krisis ekologi bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan juga persoalan keadilan dan kemanusiaan yang harus dijawab dengan mengedepankan nilai-nilai Pancasila sebagai panduan moral dan etis dalam pembangunan.
Hanya dengan menegakkan keadilan sosial dan kemanusiaan yang berlandaskan pada penghormatan terhadap alam, Indonesia dapat keluar dari lingkaran konflik antara rakyat dan alam serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Baca juga: PT Freeport Indonesia: Dinamika Hubungan antara Perusahaan, Pemerintah, dan Masyarakat Lokal
Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa memiliki peran strategis sebagai suara kritis dalam menghadapi pembangunan yang tidak adil dan merugikan rakyat serta lingkungan. Mereka bukan hanya sekadar pengamat, tetapi juga agen perubahan yang aktif mengawal kebijakan publik dan menuntut keadilan sosial sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam konteks ini, prinsip gotong royong dan keadilan sosial—yang merupakan inti dari sila ke-5 Pancasila—harus menjadi landasan utama dalam setiap proses pembangunan. Mahasiswa berperan mengorganisir gerakan sosial, menyuarakan aspirasi masyarakat yang terpinggirkan, dan mengkritisi kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil dengan keberanian dan energi yang mereka miliki.
Lebih jauh, mahasiswa juga mengedepankan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke-2 Pancasila) dengan menuntut pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga menghormati hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan.
Melalui aksi demonstrasi, kampanye, dan advokasi, mereka mengingatkan pemerintah agar pembangunan berjalan secara inklusif dan berkelanjutan, mengedepankan dialog dan partisipasi masyarakat.
Semangat gotong royong yang mereka bawa menegaskan bahwa perubahan sejati hanya dapat terwujud apabila seluruh elemen bangsa bersatu padu memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, mahasiswa adalah garda terdepan dalam menjaga agar pembangunan nasional tidak mengorbankan rakyat dan alam, melainkan benar-benar mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila. Peran kritis mereka sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan proyek besar tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi memberi manfaat nyata dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Muhammad Rais Yendrian
Mahasiswa Teknik Sipil, Universitas Brawijaya
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News