Ketika Realita Dijadikan Sinema: Ngeri-Ngeri Sedap (2022) beserta Tanda-Tanda Kehidupan Masyarakat Batak

Sinema
Sinema Ngeri-Ngeri Sedap 2022 (Sumber: Media Sosial dari netflix.com)

Indonesia memiliki banyak sekali perbedaan, baik dari segi bahasa, budaya, ras, agama, dan suku bangsa.

Perbedaan yang ditandai oleh ciri khas masing-masing setiap daerah, melahirkan keunikan-keunikan tersendiri bagi tiap-tiap daerah.

Meskipun era modernisasi sudah melanda, namun tak sedikit pula daerah yang tradisi dan budayanya masih terasa kental.

Bacaan Lainnya
DONASI

Hal tersebut tentunya bergantung pada warga setempat dengan cara mereka melestarikan serta mempertahankan kearifan lokal yang mereka miliki.

Biasanya, orang-orang yang masih berupaya mewariskan tradisi dan budayanya merupakan penduduk asli wilayah tersebut.

Hanya sedikit di antara mereka, khususnya para perantau, yang masih menjaga budaya tempat mereka berasal.

Fenomena tersebut ditunjukkan oleh Bene Dion Rajagukguk pada film yang disutradarainya, yakni Ngeri-Ngeri Sedap (2022).

Film ini tampak benar-benar menuangkan realitas kehidupan ke dalam seni drama yang dibungkus komedi dan anekdot kehidupan.

Kentalnya budaya Batak dengan visual Danau Toba yang menjadi ikon tempat budaya Batak itu sendiri, secara tidak langsung memperkenalkan keindahan alam Indonesia.

Tanpa menghilangkan ciri khas seorang pelawak, Bene Dion Rajagukguk tetap memasukkan unsur komedi ke dalam skenario film yang ditulisnya.

Pemilihan aktor dan aktris yang didominasi oleh lulusan Stand Up Comedy serta latar belakang mereka sebagai orang Batak membuat film ini semakin terasa natural dalam membangun komedi dan kesan sebagai orang Batak.

Menariknya dari film ini adalah inti permasalahan yang dimiliki oleh hampir setiap keluarga. Sifat egois, gengsi, serta keras kepala merupakan faktor utama pemecah belah setiap keluarga yang sukses ditunjukkan oleh film Ngeri-Ngeri Sedap.

Akan tetapi, film ini juga mampu mengubah sifat-sifat yang menjadi ciri khas sebagian besar masyarakat Batak tersebut dengan satu upaya sebagai jalan keluar mereka.

Tidak lupa unsur kebudayaan Batak tak pernah lepas dari percakapan, kegiatan,  pun faktor permasalahan.

Seolah-olah kebudayaan merupakan salah satu pedoman hidup meskipun modernitas sudah mereka kenali, terutama bagi penduduk asli Batak yang merantau.

Sebagai salah satu perantau asal Batak, Bene Dion Rajagukguk mengajak beberapa selebritas perantau asal Batak lainnya dalam memperkenalkan budaya asli mereka melalui film ini.

Diambil dari kacamata penikmat sinema yang sama sekali tidak memiliki darah Batak, film ini mampu berbagi pengetahuan maupun pengalaman berbudaya Batak.

Hal ini ditunjukan dengan cara yang natural, seperti gestur badan para pemain, logat dan pemilihan bahasa dalam berbicara, pemilihan latar, penentuan properti, dan lain sebagainya.

Tentunya, cara-cara tersebut merupakan tanda yang diberikan oleh Bene Dion Rajagukguk selaku sutradara, dengan harapan penonton dapat memaknainya.

Berbicara mengenai tanda, ilmu semiotika merupakan pendekatan yang tepat untuk mendalaminya.

Tanda-tanda yang ditunjukkan dalam film Ngeri-Ngeri Sedap mengarah pada asumsi Roland Barthes yang mengatakan bahwa makna yang diproduksi “tanda-tanda” tersebut dibentuk oleh kultur atau budaya. Kemudian, makna dari tanda-tanda akan dilihat dari segi denotasi dan konotasinya.

Hal ini menyangkut pada penanda yang merupakan unsur yang memiliki wujud pada sebuah objek, dan juga petanda sebagai konsep, makna, dan pikiran dari objek tersebut.

Maka dari itu, akan lahir sebuah “mitos” yang bermakna sebagai pewarisan kultur atau budaya itu sendiri.

Pada film Ngeri-Ngeri Sedap, terdapat beberapa tanda yang berkaitan dengan kultur atau budaya Batak. Antara lain:

1. Sapaan dalam Budaya Batak

Sebagai masyarakat yang tinggal di daerah yang masih kental akan budayanya, menyapa dengan bahasa daerah itu sendiri tentu merupakan kebiasaan yang pantang dilupakan.

Hal tersebut pun dilakukan sutradara film Ngeri-Ngeri Sedap ini dengan beberapa kali menyelipkan scene sapa-menyapa itu.

Terdapat setidaknya enam scene yang melantangkan sapaan tersebut, salah satunya ada pada menit 105 detik 31.

Adegan ini berawal dari tokoh bernama Bapak Domu yang hendak menemui Pak Tomo di kediamannya, Yogyakarta.

Setelah Pak Domu mengetuk pintu dan pintu dibuka oleh Pak Tomo, Pak Domu memperkenalkan diri. Mendengar perkenalan diri dari Pak Domu, Pak Tomo langsung menyapa dengan sapaan Batak yang salah, yang seharusnya “Horas!” menjadi “Hormas!”. Pak Domu terkekeh dan langsung mengoreksi Pak Tomo.

Secara denotasi, saat Pak Domu mengoreksi Pak Tomo, ia mengangkat kelima jarinya secara tegas, mengambang sejajar antara dagu yang sedikit terangkat dengan ujung-ujung jarinya.

Seraya mengangkat kelima jarinya, Pak Domu mengatakan “Horas!” sambil tersenyum lebar menunjukkan gigi-giginya.

Disambung oleh Pak Tomo yang mengangkat kelima jarinya, melambai sejajar dengan batang hidung Pak Tomo. Mulutnya juga tersenyum lebar, kepalanya sedikit menunduk.

Berdasarkan denotasi yang telah dipaparkan, makna konotasi dari dagu yang terangkat biasanya menandakan sifat sombong pada seseorang.

Namun, konteks yang terjadi di sini adalah Pak Domu sebagai orang Batak berkunjung ke daerah suku Jawa dan justru disapa menggunakan bahasa ibunya oleh orang luar Batak.

Apabila dikaitkan dengan gestur Pak Domu yang mengangkat sedikit dagunya dan tersenyum menunjukkan gigi, maknanya akan berubah menjadi adanya rasa bangga dan tenang.

Bangga karena budayanya dikenal oleh orang bersuku lain. Tenang sebab upaya Pak Tomo menyapanya dalam bahasa Batak menunjukkan bahwa Pak Tomo ingin membuat Yogyakarta layaknya tempat tinggal Pak Domu sendiri. Sehingga kekhawatiran Pak Domu merasa terasingkan tidak akan terjadi.

Berbeda dengan Pak Domu, Pak Tomo justru sedikit menganggukkan kepalanya sehingga ujung jemarinya sejajar dengan hidung saat menyapa.

Hal tersebut menandakan karakter Pak Tomo yang sopan dan santun, pun memiliki rasa hormat tanpa pandang usia.

Selain itu, gestur yng ditunjukkan Pak Tomo juga bisa dimaknai sebagai orang yang pemalu, lemah lembut, dan penurut.

Setelah mengupas denotasi dan konotasi, kaitan antara penanda dan petanda tersebut dapat dilihat dari pandangan umum masyarakat dari tahun ke tahun.

Secara mitos, orang Batak biasanya berkarakteristik tegas, percaya diri, dan bersuara lantang. Uniknya, mitos tersebut sangat sesuai dengan apa yang ditunjukkan  oleh Pak Domu.

Hentakan tangan di udara saat menyapa, pun tekanan pada huruf “R” saat mengucapkan kata “Horas” menandakan Pak Domu adalah orang yang tegas sekaligus bersuara lantang.

Secara bersamaan pula dagu yang sedikit terangkat juga bermakna tegas dan percaya diri sesuai dengan konteks yang sudah dijelaskan.

Berbanding terbalik dengan mitos orang Jawa. Orang asli Jawa dikenal akan kelembutannya, sopan dan santun, serta rasa hormat yang tinggi.

Rasa hormat yang merupakan kultur turun temurun oleh kerajaan-kerajaan terdahulu yang kebanyakan berdiri di tanah Jawa.

Jadi, dapat disimpulkan dari fenomena menyapa dalam budaya Batak bukan sekadar kata “Horas”. Gestur tubuh, intonasi, tinggi suara, dan pelafalan dapat mempengaruhi makna sapaan tersebut.

2. Lapo

Sama seperti sapaan, adegan berlatar tempat lapo juga dihadirkan berulang-ulang. Terdapat empat scene yang bertempatan di lapo.

Lapo sendiri mulanya merupakan warung makan yang menyediakan berbagai macam makanan khas Batak.

Seiring berjalannya waktu, lapo bukan lagi sekedar warung makan, melainkan tempat berkumpul para warga setempat terutama bapak-bapak.

Hal tersebut juga ditampilkan dalam film Ngeri-Ngeri Sedap, bahkan sejak awal film dimulai.  Salah satu scene yang menunjukkan aktivitas budaya berkumpul di lapo ada pada menit 6 detik 41.

Secara denotasi, terdapat empat lelaki paruh baya yang duduk di tempat semi tertutup berpondasi kayu dengan langit gelap di sekitar mereka.

Seorang pria berbaju terang terlihat mencondongkan wajahnya ke pria beruban yang duduk di sebelah kirinya. Tak hanya mencondongkan wajah, tangannya juga menunjuk ke arah yang berlawanan dengan arah wajahnya.

Matanya membesar, kedua ujung bibirnya sedikit tertarik ke bawah. Tangan kirinya yang menganggur itu menekuk dan bersandar pada dinding belakang tubuhnya yang hanya setinggi pinggang lelaki tersebut.

Dua lelaki sisanya duduk berseberangan menatap mereka, dipisahkan meja yang kotor oleh cangkang kacang berserakan.

Terdapat pula gelas kecil yang setengahnya berisi air berwarna putih, teko berukuran cukup besar berisi seperempat air berwarna putih, serta papan catur yang tertutup.

Adapun menurut konotasi yang merupakan penjelasan makna denotasinya adalah suasana semi santai tergambarkan pada adegan tersebut.

Dapat dilihat dari posisi duduk dan tangan yang menggantung menunjukkan posisi yang nyaman, tidak kaku.

Semi santai di sini didapatkan dari tangan lelaki berbaju terang yang menunjuk, memberi kesan adanya sedikit suasana serius. Ditambah wajah yang condong ke lawan bicara, mata yang membesar, serta mulut tertarik ke bawah.

Tanda-tanda tersebut juga menghasilkan makna implisit ketika orang sedang membicarakan orang lain.

Didukung oleh arah telunjuk yang mengarah ke luar, berlawanan dengan posisi wajahnya, menandakan orang yang dibicarakan tidak ada di sana.

Penentuan posisi properti pada adegan ini sangat rinci dan memiliki banyak makna. Cangkang-cangkang kacang yang berserakan, minuman yang tinggal setengah atau bahkan kurang dari itu, bahkan langit yang gelap menunjukkan mereka telah berada di sana dalam waktu yang lama.

Papan catur yang tertutup di ujung meja dapat dimaknai sebagai penguatan latar tempat, dan kegiatan para lelaki tersebut di lapo.

Apabila papan catur terbuka atau tertutup di tengah meja, maka sepanjang kehadiran mereka di lapo adalah untuk mencari hiburan.

Sebaliknya, kehadiran mereka tanpa bermain catur menunjukkan mereka hanya ingin fokus berbincang.

Merujuk pada denotasi dan konotasi, lapo di Medan telah memiliki pergeseran fungsi. Fungsi yang semula untuk sekadar makan menjadi tempat segala informasi bisa didapat, mencari hiburan, sekaligus mengeratkan tali silaturahmi.

Minuman berwarna putih adalah tuak, yakni minuman beralkohol khas Medan. Tuak telah menjadi “syarat” pendamping aktivitas rutin dan turun temurun tersebut.

Hal ini juga dapat dilihat dari teko berukuran cukup besar yang berisi tuak, tersedia begitu saja di atas meja.

Selain kedua contoh yang telah dipaparkan, sebetulnya masih ada beberapa tanda yang dapat dimaknai dan mengandung unsur budaya Batak.

Sebab, sebagai sutradara film Ngeri-Ngeri Sedap ini Bene Dion Rajagukguk sangat  memperhatikan hal-hal kecil demi berbagi pengalamannya menjadi orang Batak selama hidupnya.

Namun, di antara semuanya, kedua contoh di atas merupakan fenomena yang paling sering ditunjukkan dalam film ini.

Menurut Penulis, kedua contoh tersebut juga memiliki makna paling dalam, serta terkesan segar untuk menambah pengetahuan.

[1] https://www.bilibili.tv/id/video/2046808585

Penulis: Almira Fidella
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI