Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngeliyep

Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngeliyep
Larung Sesaji Gunung Kombang Pantai Ngeliyep (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Perilaku keagamaan yang diwujudkan dalam ritual ditentukan oleh perasaan keagamaan. Oleh karena itu, getaran jiwa disebabkan oleh satu atau lebih sebab yang timbul dari kesadaran manusia akan kehadiran roh dari jiwa orang yang telah meninggal.

Larung Sesaji digelar di Pantai Ngeliyep, Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomlyo, Kabupaten Malang, karena adanya faktor yang berkaitan dengan “Pagebluk” yang menimpa warga Desa Kedungsalam.

Pagebluk merupakan wabah penyakit yang melanda penduduk Desa Kedungsalam pada tahun 1913. Persembahan Larung Sesaji yang dilakukan pada malam tanggal 13 dan 14 bulan Maulid dilakukan untuk menjamin keamanan dan menghindari “pagebluk”.

Bacaan Lainnya

Larung Sesaji lahir dari situasi berbahaya pada tahun 1913 ketika sebuah penyakit menyerang warga desa Kedungsalam dengan keterbatasan akalnya, masyarakat Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Provinsi Malang, berusaha mencari pertolongan kepada kekuatan gaib yaitu Kanjeng

Ratu Nyi Roro Kidul, namun tidak berhasil mendapatkan pertolongan dari Wisik (bisikan atau inspirasi) menemukan jalan keluar.

Dilakukannya kurban Larung Sesaji pada malam hari ke-14 bulan ke-13 Maulid tidak ada hubungannya dengan lahirnya Nabi Muhammad. Terbukti dengan diadakannya Kurban Larung, masyarakat Pantai Ngeliyep meyakini bahwa Kurban Larung Sesaji merupakan sebuah perayaan yang sangat formal dan sakral.

Peserta acara tersebut adalah orang-orang yang berstatus tinggi. Larung Sesaji merupakan program wisata yang diselenggarakan rutin setiap tahunnya oleh warga sekitar Pantai Ngeliyep.

Upacara Larung Sesaji biasanya melibatkan persembahan berupa binatang. Hal ini bertujuan untuk memanjatkan syukur dan ridho kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan keselamatan dan kenyamanan kepada warga dalam berbagai permasalahan serta menjaga Desa Kedungsalam dari wabah penyakit.

Ritual pengorbanan Larung Sesaji  ini juga merupakan perayaan yang dianggap sangat sakral. Ritual yang unik dari Pantai Ngeliyep adalah di dalamnya terdapat banyak event yang sangat menarik sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk lokal maupun asing.

Persiapan upacara perayaan tradisi Larung Sesaji untuk persiapan perayaan Larung Sesaji telah dibentuk ketua panitia pemilihan yang dipilih oleh warga Desa Kedungsalam sendiri, dan rencana pertemuan Larung Sesaji selama seminggu dilaksanakan untuk memenuhi tiga acara terlarang tersebut.

Dalam pertemuan ini dibahas kepanitiaan, pembagian peran, dan persiapan persembahan jamuan makan. Saat malam tiba, warga berkumpul di rumah pengurus dan membawa beras, ketan, bumbu-bumbu, dan berbagai sesajen lainnya untuk diambil dari rumah pengurus.

Dahulu proses memasak dilakukan di dalam hutan, namun sejak tahun 1992 demi keamanan saat memasak dan menyiapkan sesaji, maka memasak dan menyiapkan sesaji dilakukan di rumah juru kunci, seorang sesepuh di desa tersebut.

Selesai persiapan persembahan ini dimulai pada malam hari, dan warga berkumpul pada pukul 12.00 untuk mulai mempersiapkan persembahan. Tepat pukul 12 malam, puluhan orang yang telah berkumpul langsung menuju tempat penyimpanan sesaji, menata berbagai sesaji, dan mulai    mempersiapkannya dengan cermat.

Proses memasak untuk ritual ibadah mempunyai tradisi yang unik. Koki adalah laki-laki dan harus membawa keunikannya sendiri kepada masyarakat. Selain itu, warga diwajibkan berpuasa hingga proses Larung selesai.

Saat mempersiapkan sesaji, para bapak-bapak mengenakan pakaian batik dan memakai topi di kepala. Kostum ini dirancang untuk mengajak warga berkumpul dan bergotong royong.

Prosesi kurban di desa Kedungsalam Malang dilaksanakan setahun sekali dan pada tanggal 13 Maulid, malam Tirakatan diselenggarakan oleh panitia dan masyarakat desa Kedungsalam. Pada malam Maulid tanggal 13, perempuan dilarang membantu proses memasak untuk ritual ibadah yang akan berlangsung keesokan harinya.

Sebelum melakukan persembahan Larung Sesaji, diadakan upacara penyucian desa yang diikuti oleh warga desa Kedungsalam. Dalam prosesi pelaksanaan ritual kurban adat Larung, terdapat beberapa simbol yang memiliki makna dan makna tersendiri bagi warga desa Kedungsalam.

Saat acara Larung Sesaji yang diadakan di Gunung Kombang di Pantai Ngeliyep. Hal ini dibuktikan dengan persembahan yang tetap apa adanya dan tidak ada hambatan selama acara berlangsung, meskipun persembahan tersebut mempunyai kelebihan atau kekurangan, tidak menjadi masalah. Namun, saat menyembelih kepala kambing, harus diperhatikan agar warga setempat tidak melakukan tindakan tersebut.

Sisa kepala kambingnya dikonsumsi oleh masyarakat setempat yang wajib membaca Basmala pada saat penyembelihan. Jika sesaji tersebut berlabuh atau terdampar di pantai, masyarakat setempat percaya bahwa arah angin tidak menentu dan tidak relevan, saat sesaji tidak diterima di laut.

Pada saat prosesi kurban Larung Sesaji yang disiapkan oleh para laki-laki, panitia dan para nelayan lainnya, segera dibawa ke balai desa Kedungsalam. Sebelum sesaji dibawa ke Gunung Kombang di Pantai Ngeliyep, para persembah  berkumpul di pendopo Pantai Ngeliyep  untuk melakukan apel.

Seluruh sesaji tersebut dibawa bersama-sama di atas jitek yang sudah dihias dan ditata rapi, disusul oleh dayang-dayang yang membawa sesaji.

Sesampainya di pantai, ada apel di Balai Pantai Ngeliyep sebelum acara dimulai upacara pengorbanan Larung Sesaji diawali dengan pengibaran lambang pengantin baru, dilanjutkan dengan pemukulan gong untuk membuka acara secara resmi. Makna dari perayaan kurban Larung Sesaji ini adalah agar masyarakat dan nelayan percaya dan yakin akan keberadaan sang penjaga laut.

Pada dasarnya festival Pelarungan memiliki makna adalah perasaan syukur atas suatu prestasi yang melimpah. Sebagai warisan budaya, perayaan Larung Sesaji sudah ada sejak zaman dahulu. Masyarakat meyakini bahwa perayaan Larung Sesaji merupakan warisan nenek moyang dan harus dilestarikan.

Meski perkembangan zaman dan teknologi telah maju, perayaan ini masih tetap diadakan hingga saat ini. Persembahan kurban kepada masyarakat Desa Kedungsalam diyakini dapat melindungi warga dari wabah berbagai jenis penyakit.

 

Penulis: Pratika Gunareksa
Mahasiswa Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.