Lemahnya Penegakan Anti-SLAPP di Indonesia, Jaminan Hukum Bagi Aktivis Lingkungan Tidak Pasti!

Environmental Human Rights Defenders (EHRD) atau yang bisa disebut sebagai Pembela HAM Lingkungan Hidup adalah pihak-pihak, baik individu maupun kelompok, yang berupaya melindungi dan memajukan HAM terkait lingkungan hidup.

Mereka menjadi salah satu kelompok yang rentan menjadi target berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi akibat keterlibatannya dalam partisipasi advokasi terkait eksploitasi sumber daya alam.

Tidak jarang didapati berita penangkapan paksa, peradilan dengan tuduhan palsu tanpa bantuan hukum, bahkan tak diberitahu alasan penangkapannya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Serangan terhadap Pembela HAM Lingkungan Hidup menjadi masalah internasional yang selalu terjadi setiap tahunnya, bahkan banyak yang belum terselesaikan, terutama di Indonesia.

Baca Juga: Melacak Bayang-Bayang Kekerasan: Analisis Faktor-Faktor Pembunuhan di Indonesia dan Penanggulangannya

Satya Bumi dan Protection International menilik kasus-kasus kekerasan terhadap Pembela HAM Lingkungan Hidup sepanjang tahun 2023, sehingga menghasilkan data yang bisa diakses oleh publik untuk ikut serta mengupayakan pemantauan dan perlindungan bagi Pembela HAM Lingkungan Hidup.

Laporan berjudul “Tren Diversifikasi Pasal dan Meluasnya Spektrum Pelanggaran HAM terhadap Aktivis Lingkungan Indonesia 2023,” mencatat 39 kasus dengan 57 serangan dan ancaman, melibatkan lebih dari 1500 individu dan 22 kelompok sebagai korban.

Kasus kekerasan terhadap Pembela HAM Lingkungan Hidup sepanjang tahun 2023 meningkat signifikan dibandingkan dua tahun sebelumnya, tercatat tujuh kasus kekerasan dengan 31 korban pada 2021 dan 22 kasus dengan 316 korban pada 2022.

Data menunjukkan bahwa kekerasan yang dihadapi oleh Pembela HAM Lingkungan Hidup ini bervariasi, di antaranya serangan fisik, psikologis, kerugian ekonomi, peretasan digital, pelecehan seksual, kriminalisasi, hingga pembunuhan.

Tercatat sebuah kasus pada 7 Oktober 2023, di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Seorang warga Desa Bangkal, Gijik, tewas saat memblokade jalan menuju kebun sawit PT.

Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) yang diduga ilegal. Tidak hanya itu, kasus penjatuhan vonis berdasarkan bukti lemah juga dialami oleh petani Pakel, kriminalisasi dengan pasal-pasal berlapis dijumpai oleh warga Rempang, serta penindasan dan penangkapan massal yang dilakukan oleh aparat terhadap warga Air Bangis di Pasaman Barat, Sumatra Barat.

Secara yuridis, kerja-kerja Pembela HAM Lingkungan Hidup adalah bagian dari partisipasi publik yang dijamin oleh konstitusi, lebih tepatnya tercantum pada Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Partisipasi dalam pembelaan terhadap HAM juga dijamin oleh Pasal 100 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM).

Negara juga menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, lantaran merupakan bagian dari HAM. Jaminan ini diatur dalam UUD NRI 1945, UU HAM, dan berbagai peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Pasal 66 UU PPLH juga secara eksplisit memberikan perlindungan hukum bagi Pembela HAM Lingkungan Hidup dari serangan atau intimidasi hukum, yang dikenal sebagai ketentuan Anti-SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation).

Pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1996, Anti-SLAPP adalah konsep hukum internasional yang menjamin perlindungan bagi masyarakat untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. Secara garis besar, mekanisme Anti-SLAPP yang efektif memiliki empat dimensi fundamental.

Pertama, mekanisme tersebut harus memastikan perlindungan (protective) masyarakat yang berpartisipasi dalam perbincangan publik dengan itikad baik, yang dapat dilakukan dengan menghentikan SLAPP sedini mungkin ataupun mengatur perlindungan keuangan bagi mereka yang berpartisipasi dalam perbincangan publik.

Baca Juga: Korban Kekerasan Anak Perlu Pendampingan Psikososial

Kedua, mekanisme Anti-SLAPP yang efektif harus mengecilkan hati (dissuasive) penggugat/pelapor SLAPP potensial agar tidak menggunakan intimidasi hukum.

Ketiga, mekanisme tersebut harus memiliki dimensi restoratif (restorative) bagi korban, yang berarti memberikan kompensasi penuh atas kerugian moral, psikologis, dan finansial yang diderita oleh korban SLAPP.

Keempat, mekanisme Anti-SLAPP harus memerintahkan penggugat/pelapor SLAPP untuk memberikan kompensasi kepada korban SLAPP.

Sayangnya, mekanisme Anti-SLAPP di Indonesia masih belum memenuhi keempat dimensi fundamental tersebut, sebab terdapat kelemahan baik dari segi prosedural maupun substansial yang disebabkan belum adanya peraturan mengenai hukum acara dalam mekanisme tersebut.

Satu-satunya mekanisme pengajuan Anti-SLAPP diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36/KMA/SK/II/2013 (SK KMA NOMOR 36/KMA/SK/II/2013) tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

Namun, SK tersebut belum cukup lengkap dalam memberikan panduan yang komprehensif. Selain itu, kelemahan substansial terdapat dalam Penjelasan Pasal 66 UU PPLH.

Pasal ini mencerminkan perlindungan hukum dan juga sebagai bentuk sikap akomodatif UU PPLH terhadap pentingnya partisipasi masyarakat, termasuk perlindungan terhadap individu dan kelompok masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari tuntutan pidana dan gugatan perdata.

Namun, kelemahan dalam prosedur dan mekanisme Anti-SLAPP membuat implementasi Pasal 66 UU PPLH menjadi terhambat.

Sebagai akibatnya, para penegak hukum, terutama hakim, dalam menerapkan dan menafsirkan Pasal 66 UU PPLH, sering kali berbeda dengan tujuan awal dari ketentuan Anti-SLAPP.

Dengan begitu, implementasinya masih mengalami banyak kendala. Tindakan kriminalisasi, intimidasi, dan tuntutan hukum terhadap para pejuang lingkungan masih terjadi dan bahkan jumlahnya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Selain itu, penjelasan tersebut juga masih membatasi definisi pembela HAM, peran mereka, dan bentuk SLAPP. Hal ini menyempitkan upaya perlindungan pembela HAM dan gagal melihat aspek sosio-kultural dari partisipasi publik dan justru mendefinisikannya secara sempit sebagai upaya hukum.

Pembatasan perlindungan partisipasi masyarakat dalam Penjelasan Pasal 66 UU PPLH menunjukkan bahwa para pembuat undang-undang mengabaikan rendahnya kesadaran hukum di masyarakat serta kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, terutama akibat maraknya korupsi dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa.

Dalam situasi ini, pembela HAM terhadap lingkungan sering kali berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang diberi dukungan khusus oleh pemerintah untuk menjalankan bisnisnya tanpa melibatkan masyarakat atau komunitas yang terdampak dalam proses pembangunan.

Ketika pengusaha mendapat dukungan dari pemerintah, masyarakat yang terdampak sering kali kehilangan kepercayaan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang disediakan oleh negara.

Akibatnya, mereka memilih berbagai upaya alternatif untuk memperjuangkan kembali hak-haknya. Sebagai contoh, upaya perjuangan untuk hak atas lingkungan hidup bisa dilakukan melalui penyampaian pendapat di forum publik, penciptaan karya seni, penulisan, penggunaan budaya lokal, hingga platform digital untuk menyatakan perlawanan.

Penting untuk dicatat bahwa segala bentuk upaya tersebut harus diberikan pengakuan dan perlindungan yang sama menurut Pasal 66 UU PPLH.

Berdasarkan artikel yang diunggah oleh Indonesian Center for International Law (ICEL) pada tahun 2021, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil untuk mendorong penataan kembali regulasi Anti-SLAPP.

Pertama, perlu dilakukan pengembangan kapasitas aparat penegak hukum dalam penegakan Anti-SLAPP. Peningkatan kapasitas ini harus diiringi dengan penerbitan aturan internal oleh lembaga penegak hukum untuk operasionalisasi Anti-SLAPP.

Baca Juga: Pembentukan Karakter bagi Remaja untuk Menghindari Pernikahan Dini, Kekerasan, dan Seks Bebas

Misalnya, Kejaksaan Agung dapat menerbitkan sederet instrumen untuk tidak memproses tuntutan yang berkaitan dengan upaya menghambat advokasi lingkungan.

Kedua, diperlukan penataan regulasi Anti-SLAPP. Idealnya, regulasi Anti-SLAPP harus dimasukkan dalam hukum acara perdata dan pidana.

Integrasi Anti-SLAPP dalam hukum acara pidana bertujuan memberikan dasar hukum bagi penegak hukum untuk mengidentifikasi dan membatalkan perkara SLAPP, sehingga perkara tersebut tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Pengintegrasian Anti-SLAPP dalam hukum acara harus memungkinkan pembatalan perkara SLAPP sejak tahap penyidikan, sehingga mampu memberi dasar hukum yang jelas bagi aparat kepolisian dan kejaksaan untuk membatalkan perkara yang teridentifikasi sebagai SLAPP.

Jika kasus telah masuk ke tahap persidangan, sebagaimana diatur dalam SK KMA NOMOR 36/KMA/SK/II/2013, terdakwa dapat menggunakan argumentasi SLAPP dalam provisi, eksepsi, atau gugatan rekonvensi (untuk perkara perdata) dan pembelaan (untuk perkara pidana).

Hakim harus memutusnya dalam putusan sela (dijatuhkan sebelum putusan akhir). Pengaturan ini perlu dikuatkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung untuk memberikan dorongan kuat bagi hakim dalam mengoperasikannya.

Ketiga, optimalisasi peran Rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat juga sudah seharusnya didorong.

Peraturan Menteri ini bisa digunakan untuk menghentikan perkara SLAPP bagi penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau memberikan rekomendasi kepada institusi penegak hukum lain bahwa perkara tersebut termasuk SLAPP.

Keempat, diperlukan kolaborasi antara lembaga dan aparat penegak hukum untuk menangani kasus SLAPP. Dukungan dan keterlibatan semua pihak terhadap penegakan hukum lingkungan sangatlah dibutuhkan.

Untuk mengatasi akar masalah SLAPP, perlu adanya peningkatan kesadaran lembaga pemerintahan, swadaya masyarakat, hingga masyarakat luas.

Baca Juga: Bahaya Kriminalitas dan Dampak Kekerasan dalam Lingkup Sekolah Kedinasan

Kebebasan untuk berekspresi dan memperjuangkan keadilan lingkungan adalah hak setiap individu. Mirisnya, banyak didapati fakta bahwa hak yang dilindungi tersebut malah dibatasi dan mendatangkan kerugian bagi mereka yang vokal menyuarakan keadilan.

Marak didapati pandangan keliru terhadap aktivis yang sering dianggap sebagai penghambat pembangunan.

Padahal, mereka berperan penting dalam membantu pemerintah mencapai pembangunan berkelanjutan dan akuntabilitas. Peristiwa kriminalisasi Pembela HAM Lingkungan Hidup adalah catatan hitam negara, dibarengi dengan minimnya kesadaran pemerintah akan supremasi dan reformasi hukum.

Setiap makhluk hidup memiliki hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan baik, termasuk generasi mendatang yang juga berhak atas lingkungan yang sama seperti kita saat ini.

Harapannya, terbentuk iklim kolaborasi antara LSM, pemerintah, masyarakat, dan seluruh penegak hukum untuk turut serta dalam menjamin kepentingan generasi mendatang terhadap kelestarian lingkungan Indonesia.

Penulis: Alda Gracia Winaryono

Mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya

Editor: Anita Said

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Nelisa, Lidya. (2021). Urgensi Penguatan Ketentuan Prosedural Anti-SLAPP di Indonesia untuk Melindungi Pembela HAM Lingkungan dari Serangan Litigasi. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 8, No. 1, 2021: Halaman 118-151.

ICEL. (2021). Mendorong Penataan Regulasi Anti SLAPP di Indonesia. Diakses melalui https://icel.or.id/id-id/kerja-kami/isu-prioritas/demokrasi-lingkungan-dan-anti-slapp/v/mendorong-penataan-regulasi-anti-slapp-di-indonesia pada 18 Juni 2024.

Pratama, F. A. (2024). Kekerasan terhadap Aktivis Lingkungan Meningkat Sepanjang 2023. Diakses melalui https://tirto.id/kekerasan-terhadap-aktivis-lingkungan-meningkat-sepanjang-2023-gYAd pada 18 Juni 2024.

Satya Bumi. (2024). Laporan Pemantauan Pembela HAM Lingkungan Hidup 2023. Diakses melalui https://satyabumi.org/laporan-pembela-lingkungan-2023/ pada 18 Juni 2024.

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.