Manuskrip Yurisprudensi Islam dalam Manuskrip Arab koleksi YAPENA di Bandung, Jawa Barat

Manuskrip Sunda
Sumber: www.hmmlcloud.org

Manuskrip merupakan salah satu sumber primer yang sangat penting dalam studi sejarah dan perkembangan pemikiran Islam.

Manuskrip-manuskrip ini tidak hanya memuat teks-teks hukum atau yurisprudensi Islam (fiqh), tetapi juga mencerminkan interaksi antara ajaran Islam dengan budaya lokal.

Koleksi manuskrip Yayasan Peninggalan Naskah (YAPENA) menyimpan berbagai dokumen berharga yang menunjukkan bagaimana ajaran Islam diadaptasi dan disebarkan di berbagai komunitas.

Penelitian ini berfokus pada analisis sebuah manuskrip Arab tentang yurisprudensi Islam dari koleksi YAPENA, dengan konsentrasi pada halaman awal dan akhir manuskrip.

Bacaan Lainnya

Halaman awal memuat doa-doa dalam bahasa Arab yang penuh dengan pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan permohonan perlindungan dari berbagai cobaan dunia dan akhirat.

Sementara itu, halaman akhir manuskrip menggunakan bahasa Sunda, membahas tentang pentingnya sholat dan sembahyang, baik dari aspek ritual maupun spiritual.

Baca Juga: Manuskrip Keagamaan sebagai Pengingat Kehidupan: Private Collection of La Ode Zaenu

Kombinasi antara bahasa Arab dan bahasa lokal dalam manuskrip ini menunjukkan bagaimana ajaran Islam tidak hanya disampaikan secara tekstual, tetapi juga diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan pemahaman masyarakat setempat.

Analisis ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana dimensi hukum, teologis, dan kultural saling berinteraksi dalam manuskrip ini, serta memberikan kontribusi dalam pelestarian warisan intelektual Islam yang kaya akan nilai-nilai lokal.

Gambar Halaman Pertama (Sumber: https://www.hmmlcloud.org/dreamsea/detail.php?msid=1917)

Transliterasi

“Abdika wa rosulika an-nabiyyi al-ummiyyi wa azwajihi wa durriyatihi kama barokta ‘ala ibrohim wa ‘ala ali ibrohim fil ‘alamina innaka hamidun majidun allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabi jahannam min ‘adabi al-qobri wa min fithnatin wal mahyaya wal mamati wa min sarri fithnati al-masyihiddajal allahumma aghfirli maqoddamtu ma aharotu ma asroftu wa ma asrotu wa ma a’lantu mini anta al-muqodimu wa anta al-muakhiru laa ilaha illa anta assalamu ‘alaikum wa rohmatulloh…”

Baca Juga: Manuskrip Khutbah sebagai Sumber Dakwah dan Kajian Sejarah Islam

Terjemahan

“Hamba-Mu dan Rasul-Mu, Nabi yang ummi, serta istri-istrinya dan keturunannya, sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim di seluruh alam. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari keburukan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal. Ya Allah, ampunilah aku atas apa yang telah aku dahului, apa yang aku akhirkan, apa yang aku rahasiakan, apa yang aku tampakkan, dan apa yang aku berlebihan dalam melakukannya. Engkau-lah Yang Maha Mendahulukan dan Yang Maha Mengakhirkan. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian…”

Analisis

Teks pada halaman pertama manuskrip ini memuat doa-doa yang kaya dengan makna teologis dan spiritual, yang mencerminkan kedalaman ajaran Islam dalam aspek ibadah.

Doa dimulai dengan pujian kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, dan keturunannya, yang menunjukkan penghormatan tinggi terhadap Rasulullah sebagai pembawa risalah Islam.

Baca Juga: Prinsip Kepemimpinan Rasulullah SAW dalam Islam Terhadap Gaya Kepemimpinan Otoriter

Pola ini lazim ditemukan dalam literatur keislaman, di mana pujian kepada Nabi sering menjadi pembuka sebelum memasuki permohonan kepada Allah.

Selanjutnya, doa ini memuat permohonan perlindungan dari berbagai bahaya, seperti azab neraka, azab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, serta fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.

Ini menunjukkan kesadaran eskatologis yang kuat dalam ajaran Islam, di mana umat Muslim diingatkan untuk senantiasa waspada terhadap cobaan duniawi dan akhirat.

Selain aspek teologis, doa ini juga menekankan pentingnya introspeksi diri dan kesadaran akan kelemahan manusia.

Permohonan ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan, baik yang tampak maupun tersembunyi, yang disengaja maupun tidak disengaja, mencerminkan nilai-nilai moral dan etika dalam Islam.

Doa ini menunjukkan bahwa dalam yurisprudensi Islam, aspek hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi spiritual, di mana kesadaran akan dosa dan kebutuhan untuk memohon ampunan menjadi bagian integral dari kehidupan seorang Muslim.

Baca Juga: Manuskrip Al-‘Azīrī: Kajian Filologis Naskah Tata Bahasa Arab

Penggunaan nama-nama Allah seperti al-Muqaddimu (Yang Maha Mendahulukan) dan al-Mu’akhkhiru (Yang Maha Mengakhirkan) juga menegaskan pengakuan atas kekuasaan mutlak Allah dalam mengatur kehidupan manusia.

Secara linguistik, teks ini menggunakan bahasa Arab klasik dengan struktur yang khas untuk doa dan dzikir, yang memperkuat otoritas religiusnya.

Doa ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana memohon perlindungan, tetapi juga sebagai pengingat akan hubungan erat antara hamba dan Tuhannya.

Melalui teks ini, terlihat bahwa manuskrip tersebut tidak hanya mengandung aspek hukum, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai spiritual yang mendalam, memperlihatkan bagaimana yurisprudensi Islam mengintegrasikan aspek akidah dan ibadah dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim.

Gambar Halaman Terakhir

Baca Juga: Menjelajahi Kisah Kelahiran Nabi Muhammad SAW yang Menakjubkan melalui Manuskrip Kuno

Transliterasi

“Solat jeung sembahyang karna solat jeung sembahyang…, lamun jelma heunteu da aiga ngumpulkeun jeung sembahyang nyaeta celaka sampuran…, solat ta aya nyaeta ngadeug rupana ari ngaran…, babacaan kaya maca patihah maca surat.., sujud leungkeuh nyaeta ngaran sembahyang…, ari solat kudu ngadeup nyaeta nuduhkeun…, kanadat sipatna nu qodim ari solat kudu…, nyaeta nuduhkeun cing waspada ninggalna ka Alloh…, jadi goib sakabeh na maclup teu aya ayeuna…, ari teugeus na … harapan tu Alloh…, tamat wa lillahi…”

Terjemahan

“Sholat dan sembahyang, karena sholat dan sembahyang… jika seseorang tidak berkumpul untuk sembahyang, maka ia akan celaka sepenuhnya… sholat itu ada, yaitu berdiri tegak tubuhnya, sedangkan namanya… bacaan seperti membaca Al-Fatihah, membaca surat… sujud dan duduk adalah bagian dari sembahyang… adapun sholat harus menghadap, yaitu menunjukkan… pada sifat-sifat-Nya yang Qodim (abadi), dan sholat harus… yaitu menunjukkan agar waspada dan mengingat Allah… sehingga segala sesuatu menjadi gaib, lenyap, tidak ada sekarang… dan keteguhan itu… harapan kepada Allah… tamat wa lillahi (dan hanya untuk Allah)…”

Baca Juga: Kisah Perang Khaybar dalam Manuskrip Kuno

Analisis

Teks pada halaman akhir manuskrip ini menunjukkan integrasi antara ajaran Islam dan budaya lokal, dengan penggunaan bahasa Sunda untuk menjelaskan konsep sholat dan sembahyang.

Istilah sholat yang berasal dari bahasa Arab digunakan berdampingan dengan sembahyang, istilah lokal yang lebih akrab bagi masyarakat Sunda.

Hal ini menunjukkan upaya penulis untuk menjembatani pemahaman antara ajaran Islam yang bersifat universal dengan konteks budaya setempat.

Teks ini tidak hanya menjelaskan tata cara sholat secara fisik, seperti berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, dan duduk, tetapi juga menekankan makna spiritual di balik ritual tersebut.

Misalnya, sholat digambarkan sebagai cara untuk “menghadap” sifat-sifat Allah yang Qodim (abadi), menunjukkan bahwa sholat bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah secara batiniah.

Selain itu, teks ini mengandung peringatan moral tentang pentingnya menjalankan sholat.

Pernyataan bahwa seseorang yang tidak berkumpul untuk sembahyang akan “celaka sepenuhnya” menegaskan konsekuensi spiritual dan sosial dari meninggalkan ibadah.

Baca Juga: Manuskrip Kuno: Bab Al-Aql Kepada Segala Orang-Orang Besar

Lebih jauh, terdapat unsur tasawuf dalam teks ini, seperti dalam ungkapan bahwa segala sesuatu menjadi “gaib, lenyap, tidak ada sekarang,” yang merujuk pada konsep fana, yaitu lenyapnya kesadaran diri dalam kehadiran Allah.

Ini menunjukkan bahwa meskipun manuskrip ini berfokus pada yurisprudensi Islam, ia juga mengintegrasikan dimensi sufistik yang menekankan pengalaman spiritual pribadi.

Penggunaan bahasa Sunda dalam teks ini menunjukkan bagaimana ajaran Islam disesuaikan dengan konteks lokal untuk memudahkan pemahaman masyarakat.

Ini memperlihatkan bahwa penyebaran ajaran Islam di Nusantara tidak hanya melalui pengajaran hukum-hukum syariat dalam bahasa Arab, tetapi juga melalui pendekatan budaya yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Dengan demikian, manuskrip ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan hukum Islam, tetapi juga sebagai sarana dakwah yang menggabungkan aspek hukum, spiritual, dan budaya dalam satu kesatuan yang harmonis.

 

Penulis:
1. Imam Syafi’i
2. Dr. Iin Suryaningsih, S.S., M.A.
Mahasiswa Prodi Bahasa dan Kebudayaan Arab, Universitas Al-Azhar Indonesia

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses