Memaksa Allah Berfikir Seperti Dia

Memaksa Allah Berfikir Seperti Dia
Ilusi

Terkadang kita menemui orang–orang yang terlihat sholeh dan khusyuk. Dari lisannya juga selalu terucap kata – kata bahasa arab. Namun dalam bersikap seolah kebenaran hanya miliknya, mudah menyalahkan hal–hal yang berbeda dengan dia meski hanya furu’iyah. Lantas mengapa mereka bersikap demikian. Sedangkan semua agama mengajarkan kebaikan dan kerukunan?

Hal seperti ini mungkin dikarenakan kurang banyaknya ilmu atau bisa juga emosinya lebih tinggi dari intelektualnya. Jikalau saja orang–orang seperti ini mau mempelajari kitab–kitab fiqh, pasti ada beberapa khilaf antar Imam. Bahkan Imam Syafi’i yang merupakan murid dari Imam Maliki pun mempunyai beberapa khilaf yang terhitung banyak. Namun sikap Imam Syafi’i pun menghargai khilaf–khilaf tersebut.

Pernah suatu ketika Imam Syafi’i berkunjung di masjid Imam Hanifah dan melaksanakan solat subuh, beliau tidak qunud. Sampai–sampai Imam Hanifah pun bertanya, “Bukankah anda presidennya qunud, kenapa tidak qunud?” “Tidak, saya menghargai anda sebagai tuan rumah” jawab Imam Syafi’i. Betapa besar toleransi para Imam dalam perbedaan–perbedaan furu’iyah.

Bacaan Lainnya
DONASI

Berpiki Ideal Sesuai dengan Kaidah

Cara pikir yang dibangun yakni memulai beragama dari keinginan ideal, bukan dari niat dan komitmen menjalankan agama inilah juga sering menimbulkan pemikiran–pemikiran garis keras. Mereka lupa adanya kaidah ushulfiqh  مالايدرككلهلايترككله (malayudrakukulluhu, layudrakukulluhu), jika tidak bisa mendapatkan seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya.

Berpikir bahwa dialah yang paling benar, dan merasa Allah pun pasti membenarkan apa yang dilakukandan dipikirkannya adalah suatu kesalahan. Jangan lupa Allah SWT adalah dzat yang maha segalanya, tidak ada seorangpun yang bisa memaksa, bahkan seorang nabi dan rosul. Nabi Musa pun pernah berkhidmad kepada seorang wali yang bernama Barkh, ketika beliau dan umatnya meminta hujan namun tidak di kabulkan oleh Allah SWT.

Contoh kasus lain, dalam kisah sahabat yang masih semasa dengan Rosulullah. Uwais alQarni, dia tinggal di sekitar Yaman, para sahabat disekitarnya dengan suka cita berbondong–bondong ke Madinah untuk sowan. Tapi karena dia mempunyai ibu yang egois, dia lebih memilih merawat ibunya. Di mata para sahabat dia tidak benar, tapi ternyata di mata Allah SWT dialah sahabat terbaik di masanya. Bahkan Rosulullah pun berpesan kepada Abu bakar sepeninggalnya nanti, apabila suatu saat nanti Abu Bakar bertemu dengan Uwais al Qarni, dia disuruh untuk minta didoakan oleh Uwais alQarni.

Ilusi: Enam orang buta “Melihat gajah dalam kegelapan”, asumsi mereka berbeda2 sesuai hasil rabaan tangannya.

Memupuk Ilmu Niscaya Membuatmu Bijak Menyelesaikan Masalah

Perbanyaklah ilmu, semakin banyak ilmu, kita akan mampu melihat suatu permasalahan maupun perbedaan dari berbagai sudut pandang. Setiap khilaf yang terjadi saat ini, pasti mereka mempunyai sanad ilmu yang digunakan sebagai pedoman. Dengan wawasan yang luas g, kita mampu mengambil sikap yang bijaksana.

Hidup adalah sebuah perjalanan, kita tidak bisa memvonis seseorang sembarangan sebelum orang itu meninggal. Maghfiroh Allah SWT sangatlah luas, kita tidak akan mampu membayangkannya. Bahkan kepada orang kafir kita dilarang melaknat, apalagi sesama penyembah Tuhan yang satu –Allah SWT-, bersholawat kepada Rasul yang sama –Muhammad SAW.

لَيْسَ لَكَ مِنَ ٱلْأَمْرِ شَىْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَٰلِمُونَ (Laisa laka minal-amri syai`unauyatụba ‘alaihimauyu’ażżibahumfainnahumẓālimụn. QS, Ali Imran; 128) Pahamiasbabun nuzul ayat ini, carilah kisah sahabat Nabi bernama Waksi, bacalah cerita tragis Saklabah.

Ngaji itu harus khatam, karena di dalam kitab–kitab memang ada bab–bab yang mengharuskan untuk tegas, namun di dalam bab–bab tentang tawaduk seperti dalam Bidayatul, Nashoihul Ibad, ada beberapa yang mengharuskan kita toleran. Kitab–kitab tadi ditulis oleh alim alamah, dengan rujukan dan perbandingan berbagai macam pemikiran. Bukankah dalam sholat, kita selalu membaca صِرَاطالَّذِينَ , “ladzina” yaitu orang–orang sholeh alim alamah. Dalam beragama kita harus meniru, meniru orang- orang sholeh. Ulama adalah warosatulanbiya, pewaris para nabi.

Wallahua’lam

Umini
Mahasiswa IPMAFA (Institut Pesantren Mathali’ul Falah)

Editor: Muflih Gunawan

Baca Juga:
Pentingnya Penerapan Nilai Moderasi Beragama
Agama dan Kemiskinan: Sistem Filantropi sebagai Solusi Pengentasan Kemiskinan
Agama Dominan yang Intoleran, Sesuaikah dengan Sila ke 1 Pancasila?

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI