Menggugat Patriarki: Saatnya Komunikasi Pembangunan Berdiri di Pihak Perempuan

Menghapus Patriarki
Media, Perempuan, dan Kuasa: Siapa yang Mengatur Narasi? (Sumber: Penulis)

Kesetaraan gender merupakan fondasi penting dalam pembangunan berkelanjutan.

Namun, di Indonesia, sistem patriarki yang mengakar kuat dalam budaya, institusi, dan media massa masih menjadi hambatan besar.

Dalam hal ini, komunikasi pembangunan memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran, mengubah pola pikir masyarakat, dan menjadi alat kritik terhadap norma-norma sosial yang tidak adil.

Dari sudut pandang komunikasi pembangunan, kesetaraan gender bukanlah hanya persoalan perempuan bisa tampil di media atau masuk ke dalam ranah dunia kerja saja, tetapi juga soal bagaimana komunikasi bisa menjadi alat untuk mendobrak norma sosial yang bias terhadap gender terkhusus pada perempuan.

Bacaan Lainnya

Di Indonesia, patriarki termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Perempuan masih sering diposisikan sebagai pelengkap dalam ranah publik, sementara ruang pengambilan keputusan yang lebih luas masih didominasi oleh laki-laki.

Data dari BPS (2023) menunjukkan bahwa hanya sekitar 13% posisi strategis di pemerintahan daerah ditempati oleh perempuan.

Baca Juga: Peran Stereotip dan Ekspektasi Gender dalam Keluarga

Selain itu, indeks partisipasi perempuan dalam ekonomi digital pun masih tertinggal dibanding laki-laki, terutama di wilayah pedesaan dan Indonesia Timur.

Teori Modernisasi dalam komunikasi pembangunan percaya bahwa jika perempuan mempunyai akses pada informasi dan edukasi yang setara, para perempuan akan lebih bisa berdaya dan berkontribusi lebih banyak dalam pembangunan.

Namun, pendekatan ini belum cukup dalam konteks Indonesia yang kompleks secara budaya.

Dibutuhkan pendekatan partisipatif, di mana perempuan tidak hanya sebagai penerima informasi saja, tetapi juga terlibat aktif sebagai pencipta narasi, pengambil keputusan, dan penggerak komunitas.

Di samping keharusan sebagaimana mestinya itu, media Indonesia masih sering menampilkan perempuan dalam narasi stereotip: lemah lembut, korban, atau sekadar pendamping.

Sinetron, iklan, bahkan berita politik juga seringkali memperkuat citra maskulinitas sebagai simbol kepemimpinan.

Baca Juga: Ketidakadilan Gender dalam Pembangunan Berkelanjutan

Dari sinilah bisa kita lihat, bahwa komunikasi kita belum sepenuhnya berpihak pada kesetaraan.

Padahal, media punya kekuatan besar dalam membentuk opini publik.

Strategi komunikasi pembangunan perlu mengintervensi konten media dengan mendorong representasi yang adil dan seimbang.

Di era digital 2025 ini, media sosial menjadi ruang baru untuk perjuangan gender.

Gerakan seperti #PerempuanBersuara atau kampanye #LawanPatriarki yang dimotori oleh komunitas seperti SAFEnet, Lentera Sintas, dan Konde.co menunjukkan bagaimana perempuan Indonesia mulai mengambil alih ruang digital untuk menyuarakan ketidakadilan.

Namun, masih ada tantangan besar berupa cyberbullying berbasis gender, keterbatasan literasi digital, serta kontrol algoritma yang sering meminggirkan narasi kritis.

Baca Juga: Kesetaraan Gender dalam Komunikasi Pembangunan: Studi Kasus Komunitas Grab Queen di Kota Malang

Pemerintah Indonesia memang telah memunculkan kebijakan afirmatif, seperti keterwakilan perempuan 30% dalam parlemen dan pengarusutamaan gender (PUG).

Namun, kebijakan ini seringkali hanya bersifat formalitas tanpa diikuti transformasi komunikasi dari akarnya.

Kampanye komunikasi pembangunan harus berani menggugat akar patriarki dari pendidikan dasar yang masih mengajarkan peran gender tradisional, hingga institusi agama dan budaya yang memperkuat dominasi laki-laki.

Selain itu, edukasi publik pun perlu dibuat secara strategis bukan hanya untuk memperkenalkan konsep kesetaraan, tetapi juga untuk mengajak masyarakat berpikir kritis terhadap ketimpangan yang selama ini dianggap wajar.

Komunikasi pembangunan memanglah harus mengedepankan pendekatan dialogis dan lintas budaya agar mampu menembus batas-batas struktural dari kultur patriarki di Indonesia.

Maka dari itu, kesetaraan gender bukan hanya sekadar isu perempuan. Ini adalah persoalan keadilan sosial dan masa depan pembangunan Indonesia yang inklusif.

Baca Juga: Analisis Ketidakadilan Gender dalam Mengkaji Politik: Realitas, Hambatan, dan Upaya Mencapai Kesetaraan di Indonesia

Ketika media, pemerintah, dan masyarakat mampu berjalan bersama dalam strategi komunikasi yang membebaskan, maka upaya menggugat patriarki akan menemukan kekuatannya.

Karena komunikasi pembangunan bukan sekadar alat penyampai pesan, tetapi medan perjuangan menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.

 

Penulis: Oktafiani Derosari Ina Lun
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Malang

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses