Menilik Peran Musyawarah dalam Menganalisis Keputusan Mahkamah Konstitusi: Pentingkah?

Keputusan Mahkamah Konstitusi
Sumber: pinterest.com

Musyawarah merupakan salah satu bentuk pengamalan sila keempat Pancasila. Musyawarah ini salah satu prinsip dasar dalam sistem demokrasi. Hasil musyawarah Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan publik dengan keputusannya terkait batas usia calon kepala daerah.

Putusan yang dikeluarkan pada 20 Agustus 2024, menegaskan bahwa calon yang berusia di bawah 40 tahun, tetapi telah memiliki pengalaman sebagai kepala daerah, dapat maju dalam pemilihan.

Keputusan ini tidak hanya berdampak pada Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi wakil presiden berkat posisinya sebagai walikota, tetapi juga memicu beragam reaksi dari berbagai partai politik dan masyarakat luas.

Survei menunjukkan bahwa 53,1 persen mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini, yang mencerminkan harapan akan partisipasi aktif generasi muda dalam dunia politik. Namun, disisi lain, terdapat kritik ketidakpuasan terhadap sikap DPR dan presiden yang dianggap mengabaikan putusan MK dalam proses legislasi yang sedang berlangsung, dengan anggapan bahwa hal tersebut melanggar prinsip-prinsip konstitusi.

Bacaan Lainnya

Baca Juga: Dinamika Hukum di Indonesia: Bagaimana Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Mengubah Arah Keadilan?

Mengapa Musyawarah Sangat Penting?

Musyawarah memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebagai alat untuk mencapai kesepakatan bersama secara adil dan demokratis.

Proses ini merupakan langkah yang efektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan mencapai kesepakatan bersama. Dalam musyawarah, muncul berbagai pendapat yang memungkinkan saling tukar pikiran tanpa adanya unsur paksaan, sehingga menunjukkan persamaan kedudukan dan kebebasan dalam berpendapat.

Dengan memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk berpartisipasi secara aktif, musyawarah mendorong rasa keadilan dan inklusivitas, serta memperkuat kohesi sosial. Dalam konteks sosial, musyawarah berperan dalam mengurangi konflik melalui dialog damai, menciptakan pemahaman bersama, dan meningkatkan rasa saling menghormati.

Di tingkat pemerintahan, musyawarah sering digunakan untuk merumuskan kebijakan strategis yang lebih efektif, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila.

Musyawarah tidak hanya memperkuat rasa tanggung jawab bersama terhadap hasil yang dicapai tetapi juga meningkatkan rasa persatuan, kepercayaan, dan harmoni dalam kehidupan.

Oleh karena itu, musyawarah tidak hanya menghasilkan keputusan yang lebih bijaksana tetapi juga memperkuat nilai-nilai solidaritas, gotong royong, dan kebersamaan, serta membantu menyatukan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari agar dapat teratasi dengan baik sesuai dengan kesepakatan bersama.

Baca Juga: Peran Lembaga Peradilan dalam Menjaga Supremasi Hukum dan Konstitusi

Menanamkan Musyawarah yang Inklusi

Untuk menanamkan musyawarah yang inklusi, langkah awal yang perlu diambil adalah memastikan bahwa semua pihak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi tanpa diskriminasi. Musyawarah inklusi bertujuan untuk menciptakan ruang dialog yang aman, terbuka, dan bebas, sehingga setiap individu merasa dihargai dan dapat menyampaikan pendapatnya tanpa rasa takut.

Tata cara musyawarah seperti pembagian waktu bicara yang seimbang, larangan interupsi, dan penggunaan bahasa yang netral serta mudah dipahami dapat membantu meminimalkan hambatan komunikasi. Dalam praktiknya, metode diskusi seperti kelompok kecil atau sesi tanya jawab dapat digunakan untuk mengakomodasi berbagai pendapat.

Pendidikan dan pelatihan mengenai pentingnya inklusivitas di tingkat masyarakat, organisasi, atau institusi merupakan langkah dalam membangun kesadaran bersama. Dengan pendekatan sistematis, musyawarah inklusi tidak hanya menghasilkan keputusan yang lebih adil tetapi juga memperkuat rasa kepemilikan bersama, membangun solidaritas, dan mendorong budaya pengambilan keputusan yang efektif.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia baru-baru ini mengubah ketentuan mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan ini, ditetapkan bahwa capres dan cawapres harus berusia minimal 40 tahun, namun terdapat pengecualian bagi individu yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, anggota DPR, atau pejabat publik terpilih melalui pemilihan umum.

Keputusan ini akan berlaku efektif mulai Pemilu 2024. Selama proses sidang, muncul sejumlah dissenting opinions yang menunjukkan ketidaksepakatan di antara para hakim, terutama terkait kekhawatiran akan diskriminasi dan dampaknya terhadap keadilan hukum.

Keputusan ini memicu polemik di kalangan masyarakat dan pakar hukum. Beberapa pihak mengkritik bahwa pengecualian tersebut dapat menciptakan ketidaksetaraan di antara warga negara yang memenuhi syarat lainnya, sementara yang lain melihatnya sebagai langkah untuk membuka peluang politik bagi generasi muda yang berpengalaman.

Namun, akademisi seperti Zainal Arifin Mochtar dari UGM berpendapat bahwa keputusan ini dipengaruhi oleh dinamika politik dan berpotensi merusak independensi lembaga MK.

Meskipun demikian, MK menegaskan bahwa keputusan ini sejalan dengan prinsip UUD 1945 dan bertujuan untuk meningkatkan representasi dalam demokrasi Indonesia. Namun, para pengamat memperingatkan perlunya pengawasan ketat agar perubahan ini tidak menjadi preseden bagi penyalahgunaan hukum di masa depan.

Baca Juga: Kepemimpinan Kolektif: Peran Pemuda dalam Gerakan Reformasi dan Aspirasi Rakyat

Dampak Putusan MK terhadap Konstitusi Negara

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia memiliki dampak yang signifikan terhadap konstitusi dan sistem pemerintahan suatu negara. Dalam banyak sistem hukum, konstitusi berfungsi sebagai dokumen fundamental yang mendasari aturan dasar negara.

Oleh karena itu, setiap perubahan atau penafsiran terhadap konstitusi, termasuk yang berkaitan dengan batas usia, dapat mempengaruhi prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan struktur pemerintahan.

Salah satu dampak utama dari putusan MK terkait batas usia adalah penguatan prinsip demokrasi dan keadilan. Konstitusi di banyak negara menjamin hak politik bagi setiap warga negara, termasuk hak untuk dipilih dalam pemilihan umum. Jika MK mengeluarkan putusan yang mengubah atau memperjelas batas usia untuk calon pejabat publik, hal ini dapat membuka peluang bagi lebih banyak individu untuk terlibat dalam pemerintahan.

Putusan ini juga menunjukkan pentingnya peran Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan dan mengembangkan konstitusi sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam sistem hukum yang menganut prinsip konstitusionalisme, MK bertugas memastikan bahwa undang-undang dan kebijakan tidak bertentangan dengan konstitusi.

Keputusan MK mengenai penyesuaian batas usia perlu mempertimbangkan perubahan sosial serta kebutuhan demokratisasi untuk menjaga keseimbangan antara pengalaman dan keterlibatan generasi muda dalam sistem pemerintahan.

Sebagai lembaga penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil mencerminkan perkembangan zaman dan menciptakan sistem pemerintahan yang lebih inklusif serta adil.

 

Penulis: Nabila Khusna Alifah
Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

 

Editor: I. Khairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses