Bayangkan sebuah negeri yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, dihuni oleh ratusan suku, dengan ribuan bahasa, adat, dan tradisi. Negeri itu bukan dongeng. Ia nyata. Dan kita tinggal di dalamnya—Indonesia, permata khatulistiwa yang keberagamannya membuat dunia berdecak kagum.
Setiap kali kita melangkah ke daerah baru di Indonesia, rasanya seperti membuka lembaran buku baru dari ensiklopedia budaya dunia. Di Sumatera, kita bisa menemui megahnya adat Minangkabau dengan rumah gadangnya yang menjulang dan sistem matrilinealnya yang unik.
Bergeser ke Jawa, kesantunan dan filosofi hidup orang Jawa mengalun dalam tembang-tembang keroncong, batik, dan seni wayang kulit yang diakui UNESCO.
Kalimantan menawarkan hutan dan sungai yang menjadi nadi kehidupan suku Dayak, lengkap dengan tarian-tarian magis dan upacara adat yang sarat makna. Di Sulawesi, suku Toraja memperlihatkan kepada dunia bagaimana kematian bukan akhir, tapi perjalanan spiritual yang dirayakan dengan pesta dan ukiran rumah adat.
Dan di ujung timur, Papua menyuguhkan warna-warni kehidupan suku Dani, Asmat, dan banyak lainnya, yang hidup berdampingan dengan alam dalam harmoni.
Tahukah kamu bahwa Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah? Itu berarti, jika kamu tinggal selama dua tahun dan setiap hari belajar satu bahasa, kamu tetap tidak akan selesai!
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga jendela untuk memahami cara pandang dan nilai suatu kelompok masyarakat. Begitu juga dengan pakaian tradisional. Dari ulos Batak hingga kain tenun ikat NTT, dari kebaya Jawa hingga busana adat Bali yang memesona, setiap helai benang menyimpan cerita.
Sementara itu, kuliner Indonesia adalah simfoni rasa yang menggoda. Rendang yang kaya rempah, papeda yang lembut dan lengket, gudeg yang manis, sampai sambal-sambal yang bisa membuat air mata jatuh karena pedasnya—semua itu membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya negara, tapi pengalaman rasa dan rasa.
Keberagaman di Indonesia bukan soal “beda-bedaan”, tapi soal merayakan kekayaan yang kita miliki bersama. Dari perbedaan itu, kita belajar saling menghargai. Kita belajar bahwa satu cara hidup tidak lebih tinggi dari yang lain—semuanya memiliki keindahan dan kearifan tersendiri.
Inilah esensi dari Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Bukan sekadar semboyan di pita lambang negara, tapi napas yang terus menghidupkan semangat persatuan kita. Meski keberagaman adalah kekuatan, ia juga bisa menjadi titik lemah jika tidak dikelola dengan bijak.
Indonesia, negeri yang dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa, adalah salah satu negara dengan tingkat keberagaman etnis dan budaya paling tinggi di dunia. Dari Sabang hingga Merauke, terbentang tidak hanya hamparan pulau-pulau yang membentuk kepulauan terbesar di dunia, tetapi juga jalinan kompleks antara ratusan suku bangsa, bahasa daerah, kepercayaan, nilai adat, serta ekspresi budaya.
Dalam konteks ini, keberagaman bukan sekadar ciri identitas, tetapi fondasi utama dalam pembentukan bangsa Indonesia. Namun di tengah transformasi sosial, globalisasi, dan dinamika politik yang terus berkembang, pertanyaan yang layak diajukan adalah: Sudahkah kita, sebagai generasi muda dan kaum intelektual, benar-benar memahami dan merawat keberagaman ini?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia memiliki lebih dari 1.300 kelompok etnik dan sub-etnik. Setiap kelompok ini memiliki bahasa, sistem kekerabatan, adat istiadat, dan sistem nilai yang khas.
Suku-suku besar seperti Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, Bugis, hingga Dani dan Asmat di Papua, telah berkontribusi besar dalam memperkaya peradaban nusantara. Keunikan ini tidak hanya tampak dalam ekspresi seni seperti tarian, musik, dan busana, tetapi juga dalam struktur sosial.
Misalnya, masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal, di mana garis keturunan ditarik dari pihak ibu. Sebaliknya, masyarakat Batak atau Bugis menganut sistem patrilineal, yang menekankan peran dominan laki-laki dalam struktur keluarga. Sementara itu, masyarakat Bali menunjukkan sintesis unik antara kepercayaan Hindu, sistem kasta lokal, dan filosofi Tri Hita Karana—sebuah konsep keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Di Indonesia bagian timur, keberagaman makin kompleks. Di Papua saja, terdapat lebih dari 250 bahasa daerah aktif yang menandakan tingginya tingkat mikro-etnisitas.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga penanda identitas dan warisan pengetahuan lokal yang turun-temurun. Namun keberagaman yang luas ini bukan tanpa tantangan.
Dalam sejarah Indonesia modern, ketegangan antar-etnis dan antar-agama masih kerap terjadi, terutama ketika perbedaan identitas dijadikan komoditas politik. Konflik horizontal yang pernah terjadi di Ambon, Poso, atau bahkan yang masih membayangi Papua, memperlihatkan bagaimana gesekan bisa muncul jika ruang dialog dan pemahaman antarbudaya minim.
Di sisi lain, arus modernisasi dan globalisasi membawa dampak ambivalen. Di satu sisi, ia membuka peluang pertukaran budaya dan kemajuan teknologi, tetapi di sisi lain, ia juga dapat menggerus nilai-nilai lokal. Budaya pop global yang mendominasi media dan internet berisiko menenggelamkan kebudayaan lokal yang tidak mendapatkan ruang ekspresi yang cukup.
Baca juga: Kearifan Lokal: Pasar Terapung Muara Kuin sebagai Ikon Pariwisata Kota Banjarmasin
Kaum muda, terutama mahasiswa, sering kali terjebak dalam narasi identitas yang monolitik dan homogen. Padahal, semangat Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya slogan dalam lambang negara, melainkan prinsip hidup yang menuntut pengakuan terhadap pluralitas.
Di sinilah pentingnya pendekatan pendidikan multikultural. Mahasiswa sebagai kaum terdidik perlu dibekali dengan pemahaman mendalam mengenai sejarah, antropologi, dan dinamika kebudayaan Indonesia.
Pendidikan tidak seharusnya hanya berorientasi pada kompetensi akademik, tetapi juga pada kesadaran budaya dan tanggung jawab sosial. Program pertukaran pelajar antar-daerah, penelitian lintas budaya, serta literasi budaya dalam kurikulum pendidikan tinggi harus diperkuat.
Universitas bisa menjadi pusat inkubasi toleransi, tempat mahasiswa dari latar belakang yang berbeda bisa berdialog tanpa prasangka. Lebih jauh lagi, revitalisasi budaya lokal melalui digitalisasi, ekonomi kreatif, dan seni pertunjukan harus menjadi bagian dari agenda pembangunan.
Masyarakat adat dan komunitas budaya perlu dilibatkan secara aktif, bukan hanya sebagai objek folklorisasi, tetapi sebagai subjek yang berdaulat atas pengetahuannya sendiri.
Keberagaman suku dan budaya di Indonesia adalah modal sosial yang tak ternilai. Dalam konteks geopolitik dan ekonomi dunia yang semakin saling terhubung, kemampuan bangsa Indonesia untuk hidup harmonis dalam keberagaman adalah kekuatan strategis.
Negara-negara besar di dunia sering kali dihantui oleh perpecahan identitas, namun Indonesia telah membuktikan bahwa perbedaan dapat dikelola menjadi kekayaan. Kita tentu tidak naif—toleransi bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya.
Ia adalah hasil dari kesadaran, pendidikan, dan kerja kolektif. Maka generasi muda hari ini, terutama mahasiswa sebagai motor intelektual bangsa, memegang peran penting dalam merawat dan memperjuangkan nilai-nilai keberagaman itu.
Sebagai mahasiswa, tugas kita bukan hanya lulus dengan nilai tinggi, tetapi juga memahami jati diri bangsa. Di tengah dunia yang makin menyempit oleh algoritma dan gelembung informasi, penting bagi kita untuk meluaskan wawasan dan merangkul yang berbeda.
Karena sejatinya, keberagaman bukan masalah yang harus diselesaikan, tetapi keniscayaan yang harus dirayakan. Indonesia adalah rumah bagi banyak “kita”—dan hanya dengan saling mengenal, kita bisa hidup dalam damai sebagai satu bangsa.
Kita sering bermimpi ke luar negeri untuk mencari hal baru, padahal di tanah air sendiri, kita memiliki lautan budaya yang belum tentu bisa dieksplorasi seumur hidup. Maka, jadilah penjelajah budaya negeri sendiri.
Kunjungi desa-desa adat, pelajari bahasa daerah, nikmati makanan khas, dan dengarkan cerita-cerita rakyat yang hidup dalam lisan para tetua. Indonesia bukan hanya tempat kita tinggal. Ia adalah cerita yang terus berkembang, dengan jutaan tokoh dan latar budaya. Dan kamu, adalah bagian penting dari cerita itu.
Penulis:
- Muhammad Ihsan
- Mutiara Rahmi
- Melisa Putri
- Luwis Nayes Tamba
Mahasiswa Universitas Andalas
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News