Kesehatan mental merupakan aspek penting untuk mencapai kesehatan secara keseluruhan. Namun, di sebagian besar negara berkembang, masalah kesehatan mental masih mendapat prioritas lebih rendah dibandingkan penyakit menular.
Masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam regulasi, kebijakan, dan implementasi kesehatan mental di Indonesia terkait masalah cakupan dan akses layanan (Ayuningtyas dkk., 2018; Ridlo & Zein, 2015). Pada tahun 2020, Hari Kesehatan Mental Sedunia ke- yang diperingati pada tanggal 10 Oktober 2020 bertemakan “Peluang untuk mendorong peningkatan skala besar investasi di bidang kesehatan mental”.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti dampak pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang mengubah hidup kita secara signifikan. Fokus lainnya adalah mendorong negara-negara di seluruh dunia agar lebih memperhatikan kesehatan mental. Kesehatan mental, salah satu sektor yang paling terkena dampak pandemi ini, adalah salah satu bidang kesehatan masyarakat yang paling terabaikan.
Faktanya, hampir 1.04.444 orang hidup dengan gangguan mental, 3 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat konsumsi alkohol yang berbahaya, dan satu orang meninggal karena bunuh diri setiap 40 detik. Milyaran orang di seluruh dunia saat ini terkena dampak pandemi Covid-19, yang berdampak negatif pada kesehatan mental masyarakat (Saxena, 2016; Organisasi Kesehatan Dunia, 2020).
Situasi pandemi Covid-19 telah memicu diskusi yang lebih serius mengenai perluasan besar-besaran layanan kesehatan mental sebagai salah satu isu terpenting di dunia. Gangguan jiwa yang seringkali tersembunyi sebenarnya tersebar luas (Mawarpury, dkk., 2018).
Baca Juga: Covid-19 Melanda, Hate Speech ke Pemerintah Apakah Solusinya?
WHO telah mengidentifikasi kesehatan mental sebagai bagian penting dalam respons terhadap Covid-19 (Organisasi Kesehatan Dunia, 2020b). Menelaah masalah kesehatan mental dalam konteks pandemi Covid-19, artikel ini memberikan gambaran umum tentang lanskap kebijakan kesehatan mental global dan beberapa kebijakan yang saat ini ada dan muncul sebagai akibat dari pandemi ini membahas tanggapan pemerintah Indonesia terhadap masalah tersebut.
Selama endemi MERS-CoV Korea dalam tahun 2015, cacat dan kekerasan berdampak eksklusif dalam kesehatan mental energi kesehatan yang bekerja pada tempat tinggal sakit umum (Toraes, dkk., 2020). Dalam syarat darurat Covid-19, energi medis pada Wuhan sudah mengalami risiko tinggi buat terpapar infeksi Covid-19, dikombinasikan menggunakan situasi kerja yang memadai dengan mengurangi bahaya kontaminasi, beban kerja yang berlebihan, perasaan frustasi, diskriminasi, perasaan terisolasi, kurangnya dukungan hubungan keluarga dan kelelahan bisa mempertinggi risiko terjadinya gangguan kesehatan mental (Behanova, dkk., 2013; Park, dkk., 2018).
Masalah kesehatan mental yang terjadi dalam petugas medis dan kesehatan nir hanya mensugesti kualitas pelayanan dan kapasitas pengambilan keputusan yang bisa merusak upaya penanganan Covid-19, tetapi secara spesifik juga mempunyai imbas yang bertahan usang dalam kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Situasi sulit selama pandemi ini diperparah dengan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental yang berkualitas. Upaya untuk menstandarisasi ukuran kualitas layanan kesehatan mental di Amerika Serikat berjalan lambat. Hanya sepertiga layanan kesehatan yang menerima layanan kesehatan mental yang memadai.
Kualitas layanan perlahan membaik dibandingkan dengan layanan medis umum. Kesenjangan kualitas layanan kesehatan mental sebagian disebabkan oleh kurangnya cara sistematis untuk mengukur kualitas layanan kesehatan mental (Kilbourne et al., 2018).
Kualitas layanan kesehatan mental merupakan tantangan di seluruh dunia, karena kondisinya sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain tergantung pada kebijakan layanannya. Namun, secara umum, hanya sedikit orang di seluruh dunia yang memiliki akses terhadap layanan kesehatan mental berkualitas tinggi.
Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, lebih dari 75 persen orang dengan gangguan mental neurologis, dan penyalahgunaan zat tidak menerima pengobatan untuk gejala yang mereka alami. Prevalensi gangguan stres pasca trauma (PTSD) pada populasi umum berkisar antara 4 hingga 41 persen, dan prevalensi depresi berat meningkat sebesar 7 persen setelah wabah (Kang et al., 2020).
Meskipun beberapa penelitian efektivitas biaya telah melaporkan penurunan gangguan terkait kesehatan mental, hanya sebagian kecil dari mereka yang terkena dampak menerima pengobatan yang tepat. Kesenjangan dalam pelayanan kesehatan ini tampaknya sangat besar di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, dimana sekitar 85 persen populasi dunia tinggal (Bruckner et al.,).
Baca Juga: Don’t Ignore! Effects of Covid-19 Pandemic on Children and Adolescent’s Health
Masalah kesehatan mental semakin memburuk selama pandemi ini, namun investasi untuk mengatasi masalah ini belum meningkat, dan hal ini ditandai dengan kurangnya sumber daya dan layanan, kesenjangan pengobatan yang besar, dan kurangnya sumber daya.
Dampak langsung dan tidak langsung dari pandemi Covid-19 dapat mempengaruhi peningkatan pelayanan di fasilitas kesehatan. Sistem kesehatan global menghadapi tantangan karena jumlah kasus kesehatan mental meningkat sebesar 4.444 dan jumlah kelompok rentan meningkat.
Gangguan kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya meningkatkan risiko penyakit parah dan kematian. Selain itu, peningkatan gangguan kecemasan akibat ketakutan akan infeksi, penyakit, dan kehilangan 4.444 keluarga serta masyarakat yang rentan secara sosial dan ekonomi menjadi masalah kesehatan mental yang kemungkinan besar akan berdampak jangka panjang.
Hal ini memerlukan pedoman pencegahan yang sistematis oleh semua negara (Behanova et al., 2013; Organisasi Kesehatan Dunia, 2020).
Seperti halnya di banyak negara lain, pandemi Covid-19 telah membawa banyak perubahan pada masyarakat. Pandemi Covid-19 dengan skala infeksi yang besar dan angka kematian yang tinggi menimbulkan permasalahan yang berujung pada gangguan psikologis.
Hal ini disebabkan adanya 4.444 kebiasaan baru yang perlu dilakukan masyarakat, yakni pembatasan sosial. Meningkatnya kasus gangguan jiwa tidak hanya berdampak langsung pada tenaga kesehatan dan tenaga kesehatan saja, namun juga dirasakan oleh masyarakat.
Masalah yang umum terjadi antara lain gejala kecemasan, depresi, dan trauma akibat Covid-19. Pada Juli 2020, 4.444 pasien virus corona di Surabaya, Jawa Timur, melakukan bunuh diri akibat depresi di lantai enam sebuah rumah sakit. Pasien di usap sebanyak 7 kali sebanyak 4.444 kali dan hasilnya selalu positif (Antara, 2020; Pebriansyah, 2020).
Kasus ini menggambarkan bagaimana pandemi Covid-19 menyebabkan masalah kesehatan mental pada tahap yang mengkhawatirkan. Dalam survei kesehatan mental online yang dilakukan Persatuan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia (PDSKJI), sebanyak 63 persen responden menjelaskan pernah mengalami kecemasan dan 66 persen responden pernah mengalami depresi akibat pandemi Covid-19.
Gejala utama kecemasan adalah kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang buruk, rasa khawatir yang berlebihan, mudah tersinggung, dan sulit bersantai. Gejala utama depresi yang dialami 4.444 orang adalah sulit tidur, kehilangan rasa percaya diri, kelelahan, kurang energi, dan kehilangan minat. Selain itu, sebanyak 80 persen responden atau 4.444 orang mengalami gejala stres pasca trauma akibat mengalami atau menyaksikan kejadian tidak menyenangkan terkait Covid-19.
Gejala stres pasca trauma psikologis berat terjadi pada 46 persen responden, gejala stres pasca trauma psikologis sedang terjadi pada 33 persen dari 4.444 responden, dan gejala stres pasca trauma psikologis ringan terjadi pada 33 persen dari 4.444 responden gejala stres terjadi pada 2 persen responden, sedangkan 19 Persen tidak mengalami gejala.
Baca Juga: Do Students Still Feel the Same Stress After the Pandemic as During the Pandemic COVID-19?
Gejala stres pasca trauma yang paling menonjol adalah perasaan jauh dan terpisah dari orang lain, serta perasaan selalu waspada, waspada, dan waspada (Perhimpunan ahli kesehatan jiwa Indonesia, 2020). Setidaknya ada empat faktor risiko utama depresi, dari total 14 faktor, yang muncul akibat pandemi Covid-19. Diskriminasi karena isolasi dan penjarakan sosial, tekanan ekonomi, stres dan depresi di kalangan petugas kesehatan, dan stigma (Thakur dan Jain, 2020).
Sebagai tindakan pencegahan, pemerintah berupaya mengatasi dampak pandemi Covid-19, khususnya terhadap kesehatan mental, dengan mengembangkan pedoman kesehatan mental dan dukungan psikososial selama pandemi Covid-19.
Pedoman ini mengacu pada pedoman WHO dan dimaksudkan sebagai acuan bagi pemerintah daerah untuk mengambil tindakan pencegahan dan pengobatan penyakit jiwa. Selain itu, pemerintah bekerja sama dengan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) memberikan layanan sejwa untuk membantu masyarakat mengatasi gangguan jiwa akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Tujuan dari layanan ini adalah untuk memberikan edukasi masyarakat, konsultasi publik, konsultasi awal kejiwaan dan dukungan dalam penanganan potensi gangguan kesehatan jiwa kepada masyarakat yang terkena dampak pandemi Covid-19. Penting untuk melibatkan masyarakat sebagai bagian dari aktor kebijakan dalam upaya intervensi program kesehatan mental di masa pandemi Covid-19.
Dalam menghadapi pandemi, komunikasi masyarakat dan partisipasi masyarakat sebagai agenda kebijakan harus dioptimalkan (Kutalek, et al., 2015). untuk itu kementerian kesehatan mencanangkan program kewaspadaan desa pada tahun 2018.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan, kapasitas dan motivasi sumber daya desa untuk secara sukarela mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan, bencana dan darurat kesehatan di desa (Kementerian Kesehatan). Republik Indonesia).
Selanjutnya, Program Desa Peringatan diambil alih oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan kementerian pemukiman kembali daerah tertinggal, dan potensi menjadi desa tanggap Covid-19 diperkuat dengan surat edaran nomor 2 Mei 2020, tentang respons desa terhadap Covid-19 dan pemeriksaan pekerjaan desa yang padat karya tunai.
Meski program tersebut belum secara langsung mengatasi permasalahan kesehatan jiwa, namun diperlukan advokasi yang lebih konkrit terhadap potensi kampung Covid-19 ini dalam membantu mengatasi gangguan kesehatan jiwa di tingkat masyarakat.
Berdasarkan kebijakan tanggap Covid-19 dan serangkaian prosedur yang ditetapkan, pemerintah harus mengoptimalkan integrasi layanan kesehatan mental yang ada kedalam sistem kesehatan nasional (Jeong, et al., 2016; Ridlo & Zein, 2015).
Menerapkan pendekatan yang terutama didasarkan pada kesehatan masyarakat dan memperkuat layanan kesehatan primer (Megatsari et al., 2019).
Inisiatif ini akan membantu memperluas cakupan layanan kesehatan mental yang sangat dibutuhkan, terutama selama pandemi COVID-19. Cakupan layanan kesehatan masyarakat yang merata akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap respons pandemi COVID-19 (Ayuningtyas et al., 2018; Sumiharti & Laksono, 2013; Zein et al., 2020).
Kesimpulan
Kebijakan kesehatan mental adalah bagian krusial berdasarkan kebijakan akselerasi penanggulangan pandemi Covid-19, masalah kesehatan mental sangat berkaitan menggunakan hilangnya produktivitas warga serta pengendalian pandemi Covid-19.
Apabila pemerintah menaruh perhatian yang diharapkan dalam info kesehatan mental, khususnya pada integrasi implementasi kebijakan terkait penanggulangan pandemi Covid-19, maka potensi kerugian pasca pandemi akan semakin besar.
Pemerintah wajib mengintegrasikan layanan kesehatan mental kepada layanan berbasis warga menjadi cara buat memastikan cakupan universal layanan kesehatan mental. Model pemberdayaan partisipatif dan bottom-up sebagai pilihan yg rasional buat mengatasi kasus asal daya dan cacat menjadi penghalang keberhasilan acara kesehatan mental pada Indonesia.
Penulis: Umiyanah
Mahasiswa Jurusan Keperawatan, Universitas Binawan
Referensi
https://e-journal.unair.ac.id/index.php/IPKM
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News