Pemimpin atau penguasa pada hakikatnya adalah pelayan rakyat. Penguasa selayaknya berperan sebagai pelayan rakyat. Sebagai pelayan rakyat, penguasa akan selalu mengutamakan kemaslahatan rakyat dan mengurusi urusan mereka. Ia tidak menyusahkan rakyat. Ia pun akan menjauhkan apa saja yang dapat merugikan, membahayakan dan menyengsarakan rakyat.
Islam telah menggariskan bahwa penguasa wajib mengurusi segala urusan dan kemaslahatan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu. Rasul bersabda: “Pemimpin adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR Muslim).
Tugas pemimpin adalah menunaikan siyasah (politik), yakni memelihara urusan rakyat. Seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, ia bertugas untuk al-qiyâmu bi amrin bimâ huwa ashlahu (melaksanakan suatu urusan dengan sesuatu yang paling baik). Karena itulah Rasulullah mencela pemimpin atau penguasa yang abai terhadap urusan rakyatnya. Apalagi jika penguasa tersebut sering bertindak zalim terhadap rakyatnya.
Rasul bersabda: “Sungguh seburuk-buruk pemimpin adalah al-Huthamah (yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi mereka.” (HR Muslim)
Pemimpin ideal adalah pemimpin yang telah digariskan oleh Islam. Pemimpin yang memposisikan diri sebagai pelayan rakyat ini tentu sangat diidamkan oleh semua lapisan masyarakat. Namun sayang, faktanya tidak demikian. Buktinya, banyak kebijakan yang justru makin memperburuk keadaan rakyat. Rakyat makin terbebani dan makin susah akibat ragam kebijakan salah satunya adalah kebijakan kenaikan harga BBM.
Harga Pertalite dinaikkan hampir 31 persen; dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Harga Solar bersubsidi dinaikkan lebih dari 32 persen; dari sebelumnya Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Harga Pertamax yang tidak disubsidi dinaikkan sebesar 16 persen; dari sebelumnya Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Kebijakan menaikkan harga BBM jelas akan menambah beban bagi rakyat. Setiap kali terjadi kenaikan harga BBM, pasti diikuti dengan kenaikan harga-harga. Kenaikan harga BBM sudah pasti menyebabkan kenaikan biaya transportasi, padahal transportasi menjadi salah satu urat nadi ekonomi. Kenaikan harga BBM ini menambah berbagai beban bagi rakyat yang juga sudah sangat berat. Di antaranya juga akibat kebijakan lainnya yang juga telah diberlakukan seperti menaikkan tarif dasar listrik, memperluas dan menaikkan pajak, menaikkan iuran BPJS, dan lain sebagainya.
Mengingat saat ini daya beli masyarakat kian menurun, sementara harga barang dan jasa meningkat. Padahal sudah jelas, Rasulullah memberi tuntunan semua hal yang menguasai hajat hidup rakyat menjadi milik umum dan menjadi tanggung jawab negara untuk mengelolanya. Sehingga rakyat bisa mendapatkan dengan mudah, murah, atau bahkan gratis.
Kenaikan harga BBM ini sungguh menjadi kado pahit di tahun 2022. Semua kebijakan yang menambah beban rakyat yang sudah sangat berat itu tentu dirasakan sebagai kedzaliman atas rakyat. Semua ragam kedzaliman merupakan bentuk penyimpangan dari petunjuk, peringatan dan hukum-hukum Allah. Allah telah memperingatkan akibat dari semua itu melalui firman-Nya: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka sungguh bagi dia penghidupan yang sempit.” (QS. Thaha: 124).
Beban hidup yang kian berat adalah ujian bagi orang beriman. Maka sebagai hamba Allah, kita wajib bersabar dan tak putus asa berusaha, sembari meyakini bahwa rezeki itu ada di tangan Allah. Namun, kebijakan kenaikan BBM tidak boleh disikapi hanya dengan sabar dan pemakluman. Karena kedua hal tersebut adalah sesuatu yang berbeda. Sabar adalah wilayah tawakalnya manusia. Kesabaran harus ditempatkan pada porsinya. Sedangkan terhadap kebijakan zalim, maka ada kewajiban umat untuk berdakwah, menasihati penguasa agar kembali pada aturan-Nya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan mereka akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu.”
Penulis:
1. Muhamad Busro
Mahasiswa Ilmu Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Islam Indonesia.
2. Nur Zaytun Hasanah
Alumni Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.
Sumber:
Buletin Kaffah Edisi 260 (16 September 2022)
Suaramubalighah.com