Pancasila dan Pemerataan Gizi Balita: Mengambil Tindakan Konkret dari Segala Sisi

Gizi Balita
Ilustrasi Gizi Balita (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, beragam budaya, etnis, dan sumber daya alam yang melimpah, harus mampu menjadi negara yang sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

Namun, dalamnya kemiskinan dan kurangnya akses terhadap pendidikan serta kesehatan masih menjadi tantangan yang dihadapi Indonesia.

Pemerataan gizi balita menjadi isu penting karena tidak hanya berdampak pada kesehatan dan perkembangan balita, tetapi juga berdampak pada masa depan bangsa.

Bacaan Lainnya
DONASI

Pemerataan gizi balita dianggap sebagai salah satu indikator kemajuan pembangunan bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan global.

Sebagai dasar negara, Pancasila memiliki makna yang luas dan dalam, dimana hal tersebut mendasari kebijakan pembangunan Indonesia.

Nilai-nilai luhur Pancasila yang terdiri dari ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus menjadi pedoman dalam merancang kebijakan untuk memperbaiki situasi kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya anak-anak generasi penerus bangsa.

Namun, ketika kita melihat data terbaru dari Kementerian Kesehatan, masalah pemerataan gizi balita di Indonesia masih menjadi isu yang belum terpecahkan dengan baik.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan 17,7% bayi usia di bawah 5 tahun (balita) masih mengalami masalah gizi.

Pentingnya pemerataan pelayanan pada sektor kesehatan di Indonesia telah menghasilkan program-program kesehatan seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Pemerataan di sektor ini memang penting karena Indonesia terkenal dengan kondisi geografisnya dengan kepulauan dan dataran tinggi.

Sehingga, tidak sedikit daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah maupun masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan mereka. Namun, keberhasilan program-program tersebut masih belum cukup memuaskan.

Puskesmas sebagai pos pelayanan terdekat harusnya menjadi salah satu solusi bagi masalah ini. Namun, faktanya tidak sedikit puskesmas yang belum mampu memberikan pelayanan terbaik terutama untuk masyarakat yang berada di daerah terisolir.

Mengutip data dari Kemenkes pada tahun 2018, hanya 18,8% balita dengan kekurangan yang mendapatkan penanganan sesuai standar.

Masih banyak puskesmas di daerah terisolir yang mengalami kendala dalam menjangkau masyarakat karena keterbatasan jumlah tenaga medis, kualifikasi pendidikan, serta fasilitas yang dimiliki.

Terlebih lagi di masa pandemi angka kematian dengan sebab malnutrisi dan infeksi masih dianggap berisiko tinggi.

Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan menunjukkan, terdapat empat permasalahan gizi balita di Indonesia.

Di antaranya stunting, wasting, underweight, dan overweight. Stunting atau ukuran badan pendek merupakan salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian pemerintah dan publik karena prevalensinya kini masih cukup tinggi, mencapai 21,6% pada 2022.

Angka tersebut melebihi ambang batas yang ditetapkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%.

Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran atas pentingnya gizi bagi balita dapat mempengaruhi kesehatan dan perlindungan anak-anak.

Maka dari itu, digelar beberapa program baik oleh pemerintah maupun LSM untuk meningkatkan kesadaran orang tua akan pentingnya gizi bagi perkembangan balita.

Salah satu program tersebut adalah Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang dicanangkan pemerintah sebagai suatu rangkaian gerakan dalam upaya mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia, terutama pada balita.

Ada juga program yang digagas oleh PBB melalui organisasi anak-anak UNICEF. Organisasi ini mempromosikan program ASI, imunisasi, pemberian nutrisi yang cukup, dan akses terhadap pelayanan medis untuk mencegah serta mengatasi masalah gizi buruk pada balita.

Meskipun sudah terdapat banyak program dan gerakan, kurangnya sarana dan prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan menjadi kendala untuk menjamin tercapainya sasaran.

Oleh karena itu, program yang disusun harus disesuaikan dengan keadaan dan kondisi sosial, ekonomi serta perbedaan kultur yang berkaitan dengan gizi.

Dalam hal ini, Pancasila sebagai landasan filosofis Indonesia dapat menjadi konsep penting dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul.

Gotong royong adalah salah satu nilai dari kelima sila yang dapat menjadi konsep penggerak kolaborasi dari masyarakat terhadap permasalahan kesehatan ini. Pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat dapat bekerja sama untuk memastikan gizi yang cukup bagi balita.

Setiap bagian mempunyai tanggung jawabnya masing-masing untuk mewujudkannya, karena pertumbuhan dan perkembangan balita yang baik harus menjadi tanggung jawab bersama.

Peran pemerintah dapat dilakukan dengan memberikan prioritas pada upaya pemerataan gizi balita melalui alokasi anggaran dan pembangunan infrastruktur kesehatan yang memadai.

Sebagai contoh, memperbanyak klinik kesehatan ibu dan anak serta pusat gizi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, pemerintah juga harus mengintensifkan program-program yang bersifat preventif, seperti program imunisasi dan perilaku hidup bersih dan sehat.

Puskesmas harus dapat menyiapkan sumber daya yang mencukupi dan memenuhi peran sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat melayani masyarakat luas dengan merata.

Puskesmas di suatu daerah juga harus memperhatikan pendistribusian gizi yang digunakan untuk balita. Sekolah dan komunitas dapat berperan dalam mendorong perilaku sehat dan menerapkan pola makan yang seimbang dan mengoptimalkan nutrisi yang dibutuhkan oleh anak.

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan gizi dan kesehatan anak. Keluarga harus memastikan anak-anak mendapatkan makanan yang bergizi serta memperhatikan pola makan anak.

Masyarakat juga mempunyai peran penting dalam pemerataan gizi balita. Masyarakat dapat memberikan dukungan dalam menyebarluaskan informasi serta melakukan tindakan preventif secara bersama-sama.

Keterlibatan masyarakat juga dibutuhkan dalam mengembangkan kebijakan dan program-program yang berkenaan dengan gizi balita, khususnya program-program yang bersifat partisipatif, seperti penanaman pohon buah-buahan, pengadaan peternakan hewan sebagai sumber protein, atau memproduksi makan sayur bersama.

Untuk itu, pemerataan akses kesehatan terutama tentang gizi pada balita harus diprioritaskan dari berbagai pihak, termasuk dalam kebijakan pemerintahan.

Tindakan yang konkret harus dilakukan dari segala sisi, baik oleh masyarakat maupun pemerintah supaya anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat.

Pancasila sebagai filosofi kebijakan dapat menjadi panduan dalam upaya untuk mengatasi masalah ini. Konsep gotong-royong serta tanggung jawab bersama yang terkandung di dalamnya dapat diimplementasikan dalam upaya mewujudkan pemerataan kesehatan.

Dengan menjaga kesehatan dan status gizi balita sebagai penerus generasi bangsa, maka Indonesia akan menjadi negara yang maju dan sejahtera.

 

Penulis: Fathimah Zulfah
Mahasiswa Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Yogyakarta

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI