Setiap pagi, sebelum berangkat kerja atau memulai hari, berapa banyak perempuan Indonesia yang masih dihantui “daftar instruksi” tak tertulis? Dari cara berpakaian, berbicara, hingga mengurus rumah tangga dan keluarga, seolah ada buku panduan yang harus dipatuhi agar dianggap “perempuan yang baik.”
Kisah ini, sejatinya, bukan hanya milik kita. Dalam cerpen Girl karya Jamaica Kincaid yang pertama kali terbit pada tahun 1978 kita menemukan gambaran universal tentang bagaimana seorang ibu mendikte putrinya untuk bertahan dalam dunia yang penuh penilaian—sebuah realita yang terasa begitu dekat dengan dinamika sosial kita sendiri.
Cerpen Girl oleh Jamaica Kincaid ini menceritakan bagaimana perempuan diajarkan dan dibatasi oleh peran gender yang kaku dalam masyarakat patriarkal. Menariknya, kontrol ini tidak disampaikan melalui kekerasan fisik, melainkan lewat nasihat lembut yang dikemas sebagai bentuk kasih sayang.
Norma-norma seperti bagaimana seharusnya perempuan berpakaian, berbicara, bersikap, bahkan berpikir menjadi bagian dari “warisan” yang diturunkan. Ironisnya, pewarisan itu tidak datang dari laki-laki tetapi justru dari perempuan sendiri—ibu kepada anak perempuan. Pola semacam ini masih hidup dan terasa dalam kehidupan perempuan Indonesia masa kini.
Baca juga: Suara yang Terpinggirkan: Budaya Patriarki dan Keterbatasan Suara Perempuan di Indonesia
Dalam cerita tersebut sang ibu terus-menerus menasihati anaknya dengan serangkaian perintah, larangan, dan peringatan seperti: “This is how to hem a dress when you see the hem coming down and so to prevent yourself from looking like the slut I know you are so bent on becoming.” (Ini cara mengelim gaun saat ujungnya mulai turun supaya kamu tidak terlihat seperti perempuan nakal yang, saya tahu, diam-diam ingin kamu menjadi).
Kalimat tersebut terdengar keras dan menghakimi, namun dibungkus dalam narasi keibuan yang tampaknya peduli. Di mana relevan dalam kehidupan perempuan Indonesia saat ini, yaitu banyak perempuan yang masih dibesarkan dengan nilai-nilai yang menuntut mereka tampil “pantas” dan menjaga reputasi, bukan demi kebebasan diri tapi demi pandangan masyarakat.
Nilai-nilai ini kerap hadir dalam bentuk larangan seperti “jangan tertawa terlalu keras, nanti dibilang genit” atau “cewek harus bisa masak biar laku“. Nasihat ini disampaikan oleh orang tua, guru, bahkan sesama perempuan bukan sebagai pilihan tapi sebagai kewajiban.
Dalam cerita Girl, tekanan untuk menjadi “perempuan baik-baik” tidak selalu datang dari sistem hukum atau institusi resmi, melainkan dari lingkungan terdekat yang membentuk atau mengawasi identitas seorang perempuan sejak dini.
Di media sosial, perempuan juga kerap mendapat komentar seperti “istri idaman harus bangun pagi dan bisa masak,” atau dikritik karena unggahan busana yang dianggap terlalu terbuka. Kontrol atas tubuh dan perilaku perempuan tak terjadi di ruang privat, tapi juga di ruang publik digital.
Cerpen Girl bukan hanya potret hubungan antara ibu dan anak perempuan, melainkan cerminan menyakitkan dari bagaimana nilai-nilai patriarki bertahan hidup justru melalui reproduksi sosial yang dilakukan oleh perempuan sendiri. D
alam nasihat-nasihat yang tampaknya penuh kasih, terselip kontrol atas tubuh, perilaku, dan martabat perempuan—kontrol yang terus mengakar dalam kehidupan masyarakat kita hingga hari ini.
Menurut survei Komnas Perempuan (2023), lebih dari 60% perempuan di Indonesia merasa tekanan dari keluarga dan lingkungan sosial lebih besar daripada aturan formal negara. Ini menegaskan bahwa patriarki tak selalu hadir sebagai sistem yang jelas terlihat, tapi seringkali berbisik dari dalam rumah.
Dengan menyuarakan kembali cerita ini dalam konteks Indonesia, kita diajak untuk mempertanyakan: berapa banyak aturan yang kita patuhi bukan karena pilihan bebas, tetapi karena takut dianggap menyimpang dari gambaran “perempuan baik”?
Girl mengingatkan kita bahwa membebaskan perempuan bukan hanya soal mengubah struktur luar, tetapi juga keberanian untuk membongkar suara-suara internal yang selama ini dianggap sebagai cinta, padahal bisa jadi, hanya warisan dari ketakutan. Dan mungkin, saat kita mulai mengubah bisikan itu menjadi suara yang memberdayakan, kita bisa mewariskan sesuatu yang berbeda: kebebasan memilih menjadi perempuan versi sendiri.
Penulis: Siti Fauziah
Mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Pamulang
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News