Pembuangan Obat Sembarangan Berdampak Hukum?

pembuangan obat sembarangan

Obat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit, atau menyembuhkan seseorang dari penyakit.

Obat merupakan zat kimia yang dimana penggunaannya harus sesuai dengan aturan pemberian, persyaratan edar dan tidak melanggar Undang-undang.

Jika suatu obat dinyatakan tidak memenuhi syarat edar, maka obat tersebut harus dimusnahkan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 3 tahun 2015 pasal 37, “Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal:

  1. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yan berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali;
  2. telah kadaluarsa;
  3. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa pembangunan;
  4. dibatalkan izin edarnya; atau
  5. berhubungan dengan tindak pidana.”

Pasal 38 ayat 1: “Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Apotek, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat.”

Bacaan Lainnya

Tetapi bagaimana jika obat yang awalnya dibeli mandiri oleh masyarakat dalam keadaan layak, kemudian masih tersisa hingga obat tersebut kadalwarsa dan dibuang begitu saja di tempat sampah?

Berdasarkan peraturan di atas, seharusnya obat tersebut dimusnahkan oleh pemegang wewenang dalam pemusnahan obat-obatan. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari masyarakat belum mengetahui tentang bagaimana penanganan obat-obatan yang telah kadalwarsa atau rusak. Karena ketidak tahuan masyarakat perihal prosedur pemusnahan obat-obatan kadalwarsa, kemudian obat tersebut dibuang di tempat sampah tanpa mengetahui dampak toksisitasnya, sehingga penguraian obat kedalwarsa tersebut dapat menimbulkan pencemaran bagi lingkungan sekitarnya.

Selain itu, karena pemusnahan obat yang tidak sesuai, obat-obatan tersebut akan digunakan dengan tidak semestinya oleh orang lain, sehingga akan memberi dampak patologis bagi kesehatan penggunanya.

Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 3 tahun 2015 pasal 39 yang berbunyi “Pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi harus dilakukan dengan

  1. tidak mencemari lingkungan;
  2. tidak membahayakan kesehatan masyarakat.”

Selain itu perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan rusaknya lingkungan hidup juga dapat dikenakan sanksi pidana, sebagimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Dalam UUPPLH tahun 2009 pasal 98 ayat 1 dan 2 tertulis bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Dan apabila perbuatan tersebut membahayakan kesehatan manusia, dapat dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Oleh karena itu, perlu adanya edukasi dari dokter, apoteker maupun petugas kesehatan lainnya kepada masyarakat tentang bagaimana cara pemusnahan obat-obatan yang telah kadalwarsa atau rusak, sehingga dapat mengurangi dampak buruk yang timbul baik pada lingkungan maupun bagi kesehatan masyarakat.

Baiq Winarti Nanda Lestari

Penulis: Baiq Winarti Nanda Lestari
Mahasiswa Jurusan Magister Hukum Kesehatan Universitas Hang Tuah Surabaya

Editor: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses