Pengaruh Agama dalam Kesehatan Mental

Opini
Ilustrasi: www.istockphoto.com

Abstrak

Agama yang memiliki perspektif jangka panjang dan tidak semata-mata terfokus pada masa kini, merupakan landasan dari pengertian kesehatan. Agama mungkin memiliki pengaruh besar pada keberadaan manusia, terutama pada kesehatan.

Dari sudut pandang kesehatan mental, agama menawarkan arahan yang sangat dibutuhkan yang dapat membantu orang-orang dalam membangun jalan hidup mereka sendiri. Seorang beriman dapat lebih siap mengatasi stres, ketegangan, dan ketidakpastian hidup.

Jenis penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif berbasis literatur. Proyek penelitian yang ditetapkan menggunakan artikel, buku, jurnal, media cetak, dan internet yang relevan sebagai sumber datanya.

Baca Juga: Pengaruh Agama dalam Perkembangan Psikis dan Kesehatan Mental pada Remaja

Bacaan Lainnya

Menurut temuan penelitian ini, kesehatan mental seseorang dapat ditentukan oleh kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya, kemampuan memaksimalkan potensi bawaannya untuk menerima rahmat Allah SWT, dan kemampuan mengembangkan semua aspek kecerdasan, termasuk kesejahteraan spiritual, stabilitas emosi, dan ketajaman intelektual mereka.

Kata Kunci: Agama, Kesehatan Mental, Stres.

Abstract

Religion that has a long-term perspective and is not solely focused on the present, is the foundation of the notion of health. Religion may have a great influence on human existence, especially on health. From a mental health perspective, religion offers much needed direction that can assist people in building their own path in life.

A believer can better prepare to deal with the stress, tension, and uncertainty of life. This type of research uses a literature-based descriptive methodology. Research projects that are determined use articles, books, journals, relevant print, and internet media as data sources.

According to the findings of this study, a person’s mental health can be determined by the ability to adapt to their environment, the ability to maximize their innate potential to receive the grace of Allah SWT, and the ability to develop all aspects of intelligence, including their spiritual well-being, emotional stability, and intellectual acuity.

Keywords: Religion, Mental Health, Stress.

Pendahuluan

Orang yang sakit lebih memilih berobat ke dukun atau orang cerdas yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk halus daripada berobat ke dukun yang mengerti jenis penyakit yang ada saat ini karena pada zaman dahulu kala teknologi belum ada.

Tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum, setiap penyakit yang diderita oleh manusia sering dikaitkan dengan hal-hal yang berbau spritual dan gaib, setiap penyakit dikaitkan dengan gangguan dari makhluk halus, sehingga orang yang sakit lebih memilih berobat ke dukun atau orang pintar yang dianggap bisa berkomunikasi langsung dengan makhluk halus ketimbang berobat ke dokter yang mengerti tentang jenis penyakit berdasarkan ilmu perobatan.

Baca Juga: Keamanan Penggunaan Media Digital pada Kesehatan Mental Anak

Perubahan waktu dan kemajuan teknologi tidak dapat dihindari dan sekarang penyakit dapat diidentifikasi dan diobati secara efektif dengan obat-obatan efektif yang menggunakan teknik pemrosesan mutakhir, terobosan ilmiah dapat lebih tepat menentukan kondisi ini.

Sementara beberapa penyakit disebabkan oleh virus, bakteri, atau basil dan harus diobati dengan obat-obatan medis, yang lain disebabkan oleh jiwa atau hati seseorang; dalam kasus ini, orang tersebut tidak terpapar virus, bakteri, atau basil apa pun secara fisik namun tetap tidak sehat.

Biasa dikenal sebagai penyakit mental atau penyakit hati. Untuk mengalahkan penyakit ini, seseorang harus mengatur pikiran dan hati mereka dengan cukup baik agar kondisi mental mereka berpengaruh pada kesehatan fisik mereka.

Dapat dikatakan bahwa profesional medis mulai memahami bahwa ada hubungan antara penyakit dan masalah psikologis manusia sekitar awal abad ke-19. Karena interaksi timbal balik ini, orang mungkin mengembangkan penyakit fisik yang disebabkan oleh penyakit mental (Somapsikotis), dan sebaliknya (Psikosomatik).

Keyakinan agama telah diakui sebagai salah satu elemen mental yang mungkin berkontribusi terhadap gejala ini. Hal ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak penyembuh bagi penderita penyakit jiwa menggunakan pendekatan religius dan mayoritas dokter fisik percaya bahwa penyakit jiwa tidak ada hubungannya dengan terapi medis.

Dari zaman kuno, ketika penyakit masih dianggap disebabkan oleh entitas supernatural, hingga zaman sekarang, ketika teknologi medis digunakan untuk menentukan keberadaan suatu penyakit, hubungan antara agama dan kesehatan mental telah dipelajari secara ekstensif.

Budaya saat ini memegang kepercayaan bahwa penyakit hanya dapat diidentifikasi ketika gejala tubuh mulai terwujud. Masyarakat sekarang beranggapan bahwa penyakit hanya berkembang karena unsur fisik akibat kemajuan teknologi.

Dengan menggunakan teknologi medis mutakhir untuk menunjukkan bahwa penyakit disebabkan oleh kuman atau virus, kepercayaan lama bahwa penyakit disebabkan oleh roh dapat dibantah. Disebutkan bahwa para profesional medis mulai memahami bahwa ada hubungan antara penyakit dan masalah psikologis manusia sejak awal abad ke-19.

Manusia mengalami penyakit fisik yang dibawa oleh penyakit mental, dan sebaliknya, sebagai akibat dari interaksi timbal balik ini. Dampak agama terhadap kesehatan mental, tentu saja tidak bisa dipisahkan. Dalam esai ini, kita akan berbicara tentang bagaimana agama dan kesehatan mental saling terkait.

Baca Juga: Peran Agama dalam Membentuk Kesehatan Mental Manusia

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dan memakai metodologi tinjauan pustaka. Menurut Zed (2008:3), pendekatan studi kepustakaan terdiri dari serangkaian tindakan yang berhubungan dengan pengumpulan bibliografi, mencatat dan membaca, serta memelihara bahan penelitian.

Studi literatur adalah tinjauan dan analisis literatur dalam topik mata pelajaran tertentu. Biasanya terstruktur secara kronologis atau topikal, penelitian ini menawarkan ringkasan singkat tentang apa yang telah diteliti, dibahas, dan disimpulkan mengenai masalah tertentu sudah ditetapkan.

Hasil dan Pembahasan

Agama dan Kesehatan Mental

Menurut J. H. Leuba, apa itu agama (dalam Sururin, 2004:4), agama dapat berupa metode hidup, seperangkat keyakinan, atau perasaan tertentu. Thouless, di sisi lain, mendefinisikan agama sebagai ikatan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia rasakan sebagai ciptaan atau entitas yang lebih tinggi dari manusia.

Menghindari keluhan dan penyakit jiwa seperti neurosis dan psikosis merupakan tanda kesehatan jiwa yang baik (penyesuaian diri dengan lingkungan sosial). Tidak adanya penyakit dan gangguan mental adalah definisi kesehatan mental seseorang.

Stresor tidak akan langsung mengganggu orang yang sehat secara mental (penyebab stres). Orang dengan mentalitas yang sehat mampu mentolerir tuntutan baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Menurut Noto Soedirdjo, memiliki kesehatan jiwa ditandai dengan kemampuan untuk menanggung tuntutan lingkungannya.

Kehadiran seseorang terhadap stres berbeda karena variabel keturunan, proses belajar, dan budaya di sekitarnya, serta tingkat stresor yang dialami seseorang di antara orang lain juga beragam, klaim Clausen Karentanan (Susceptibility).

Baca Juga: KDRT dalam Pandangan Islam dan Dampaknya pada Kesehatan Mental Anak

Ciri-Ciri Kepribadian Orang dengan Penyakit Mental

Menurut Zakiah Daradjat (1995), ciri-ciri kesehatan jiwa dapat dibagi menjadi enam kategori, antara lain:

  1. Memiliki sikap batin (attitude) yang positif terhadap dirinya sendiri;
  2. Aktualisasi diri;
  3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi psikis yang ada;
  4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (mandiri);
  5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada;
  6. Mampu menyelaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.

Agama memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat, termasuk kesehatannya. Seseorang yang sehat secara mental akan selalu merasa aman dan puas apapun yang terjadi. Dia juga akan merenungkan semua yang mereka lakukan untuk dapat mengatur diri mereka sendiri.

Cara terbaik untuk menangani masalah kesehatan mental adalah menjalani kehidupan yang didasarkan pada prinsip-prinsip agama.

Kesehatan mental seseorang dapat diukur dari seberapa baik mereka dapat beradaptasi dengan lingkungannya, memaksimalkan potensi batinnya untuk meraih rida Allah SWT, dan tumbuh dalam semua aspek kecerdasan, termasuk kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual.

Secara umum, hidup adalah proses adaptasi terhadap semua bagian keberadaan; mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan berjuang untuk menjalani kehidupan yang memuaskan. Manusia dirancang untuk hidup berdampingan, bersosialisasi, bergantung satu sama lain, dan terlibat dalam interaksi yang konstan.

Hubungan Agama dan Manusia

Salah satu indikasi bahwa para psikolog sangat memperhatikan pengaruh agama terhadap kehidupan dan psikologi manusia adalah psikologi agama. Bahkan sudut pandang paling ekstrem tentang hal ini menunjukkan betapa agama telah dilihat sebagai komponen dari pengalaman individu manusia yang terkait erat dengan gejala kejiwaan.

Baca Juga: Terapi Kesehatan Mental dengan Istighfar

Bapak psikoanalisis, Sigmund Freud, mencoba menyampaikan hal ini dalam beberapa publikasinya. Menurut Freud, agama adalah manifestasi dari simbol kebencian terhadap ayah dalam tingkah laku manusia yang bermanifestasi sebagai rasa takut akan Tuhan.

Agama adalah ilusi psikologis yang diciptakan oleh manusia. Orang-orang beralih ke agama karena perasaan tidak berdaya ketika tragedi menimpa. Oleh karena itu, semua praktik keagamaan adalah tindakan kodrat manusia yang berasal dari kebutuhan akan rasa aman dan dapat memberikan rasa aman. Manusia membangun Tuhan dalam pikirannya karena alasan ini.

Contoh lain yang melibatkan pengikut behaviorisme. Salah seorang pendiri behaviorisme, Skiner, menganggap agama sebagai sosialisme yang lahir dari dua sebab yang saling menguatkan. Dia menegaskan bahwa praktik keagamaan berubah dari tindakan meredakan ketegangan menjadi penguatan.

Menjaga dan memelihara adat atau perilaku masyarakat merupakan lingkup organisasi sosial, khususnya lembaga keagamaan. Orang menyesuaikan diri dengan kebutuhan lembaga dan berkontribusi pada pelestariannya dengan mematuhi peraturan.

Menurut behaviorisme, konsep penguatan dan perilaku religius saling terkait erat (reward and punishment). Karena dimotivasi oleh isyarat hukuman dan imbalan, manusia bertindak secara religius (hadiah). Manusia hanyalah sebuah robot mekanik yang menanggapi penghargaan dan hukuman dengan cara yang dapat diprediksi.

Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh Al-Qur’an (QS. Ar Ruum: 30):

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.

Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya (Departemen Agama) dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.

Baca Juga: Meraih Kesehatan Mental dalam Shalat

Agama dan kehidupan pada umumnya saling terkait erat. Manusia dan agama tampaknya memiliki kedekatan alami satu sama lain. Hakikat penciptaan manusia menyatukan semua agama. Disajikan sebagai penyerahan diri, keinginan untuk beribadah, dan sifat mulia.

Manusia mengalami semacam “hukuman moral” ketika menyimpang dari cita-cita alam dalam kesehariannya. Maka rasa bersalah atau emosi yang memalukan akan muncul dengan sendirinya (rasa bersalah).

Meskipun teknik psikologis yang digunakan terbatas pada pengalaman nyata, psikologi modern tampaknya menawarkan unsur perilaku religius yang berbeda. Salah satu indikasi bahwa para psikolog sangat memperhatikan pengaruh agama terhadap kehidupan psikologis masyarakat adalah psikologi agama.

Bahkan sudut pandang yang paling irasional menunjukkan bagaimana agama telah dilihat sebagai komponen dari pengalaman individu manusia yang terkait erat dengan gangguan psikologis. Menurut Freud, agama merepresentasikan dalam perilaku manusia semacam ketakutan akan Tuhan yang merupakan cerminan dari simbol kebencian terhadap Bapak.

Agama adalah ilusi psikologis yang diciptakan oleh manusia. Orang-orang beralih ke agama ketika mereka merasa tidak berdaya menghadapi tragedi. Oleh karena itu, semua praktik keagamaan merupakan produk kreativitas manusia yang lahir dari kebutuhan akan rasa aman dan dapat memberikan rasa aman.

Contoh lain yang melibatkan pengikut behaviorisme. Menurut ajaran teoretisnya, behaviorisme percaya bahwa perilaku manusia adalah hasil dari stimulus (rangsangan dari luar diri sendiri). Hipotesis Sarbond Behaviorisme, yang menggabungkan stimulan dan respons, tampaknya tidak mengakomodasi penyelidikan psikologis non-fisik.

Namun, behaviorisme tidak dapat disangkal ketika menyangkut perilaku keagamaan karena itu adalah fakta keberadaan manusia. Menurut behaviorisme, konsep penguatan dan perilaku religius saling terkait erat (reward and punishment). Karena dimotivasi oleh isyarat hukuman dan imbalan, manusia bertindak secara religius. Mencegah hukuman (siksaan) dan mengantisipasi ganjaran (reward).

Agama dan keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia mungkin menolak agama karena berbagai alasan, termasuk yang terkait dengan kepribadian dan lingkungannya yang unik, tetapi dapat menjadi tantangan untuk menekan atau sepenuhnya menghilangkan dorongan dan perasaan keagamaan karena kecenderungan bawaan bahwa semua orang harus menyerah pada hal-hal yang tidak terlihat.

Baca Juga: Belajar Ilmu Kesehatan Mental itu Penting, Benarkah?

Kontribusi ini termasuk dalam kategori variabel internal manusia yang dikenal sebagai pribadi (diri) atau hati nurani dalam psikologi kepribadian (hati nurani manusia). Al-Qur’an telah memberikan wawasan tentang agama dari segi fitrah manusia.

Manusia diciptakan dengan kecenderungan beragama oleh Allah SWT, yaitu dorongan untuk mengikuti akidah tauhid. Jika ada individu yang tidak percaya pada tauhid, itu bukan karena sebab alamiah; sebaliknya, seperti dalam QS. Ar-Rum: 30-31, mereka tidak percaya tauhid karena pengaruh lingkungan.

Pengaruh Agama terhadap Kesehatan Mental

Eksistensi manusia dan agama tampaknya tidak dapat dipisahkan. Ada sejumlah alasan mengapa orang menolak agama, baik secara psikologis maupun lingkungan. Namun, mungkin sulit untuk menekan atau sepenuhnya menghilangkan sentimen dan kecenderungan agama karena orang secara alami memiliki kecenderungan untuk menyerah pada hal-hal gaib.

Secara substansi, usulan ini termasuk dalam kategori aspek internal manusia yang berhubungan dengan diri atau hati nurani dalam psikologi kepribadian (conscience of man).

Manusia diciptakan dengan kecenderungan beragama oleh Allah SWT, yaitu dorongan untuk mengikuti akidah tauhid. Jika ada non-monoteis, ketidakpercayaan mereka bukanlah akibat dari sebab-sebab alamiah; melainkan berasal dari faktor eksternal, sebagaimana dinyatakan dalam QS Ar Ruum 30:30.

Seperangkat ide, aturan, dan praktik dimasukkan ke dalam ilmu kesehatan mental (juga dikenal sebagai “kebersihan mental”) untuk meningkatkan kesehatan spiritual. Seseorang yang memiliki landasan spiritual yang kuat atau yang secara konsisten merasa nyaman dan tenteram hatinya adalah orang yang sehat mentalnya.

H.C. Witherington menegaskan bahwa pemahaman dan gagasan dari disiplin ilmu psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama relevan dengan kesulitan kesehatan mental.

Banyak contoh telah ditemukan oleh penelitian medis tertentu untuk mendukung adanya hubungan antara jiwa (psyche) dan tubuh (soma). Orang yang ketakutan cenderung langsung muntah atau kehilangan nafsu makan. Atau perut seseorang terasa kembung saat kesal.

Penggunaan tablet kimia, suntikan cair, atau obat-obatan oral, elektro-terapi (sinar cahaya, getaran, atau arus listrik), latihan chitro (pijat), dan bentuk pengobatan lainnya semuanya terkenal di dunia medis. Selain itu, praktik medis kuno termasuk akupunktur, mandi uap, dan penyembuhan perdukunan sudah dikenal dengan baik.

Baca Juga: Dampak Al-Quran dalam Menjaga Kesehatan Mental Umat Manusia

Sejak Dr. Breer dan S. Freud mengembangkan psikoanalisis (Sururin, 2007: 162), orang mulai menganggap kedokteran dan hipotermia, atau hipnosis sebagai semacam terapi. Ungkapan “psikoterapi” atau “autoterapi” (penyembuhan diri), yang dilakukan tanpa menggunakan obat-obatan umum, juga digunakan.

Menurut ungkapan, orang yang memiliki penyakit mental dirawat dengan psikoterapi dan autoterapi. Saat merawat individu dengan gangguan seperti itu, komponen spesifik dari keyakinan unik mereka sering dipertimbangkan.

Keterkaitan antara variabel kepercayaan dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya telah diakui oleh para ilmuwan berabad-abad yang lalu dalam berbagai contoh. Misalnya, “Carel Gustay Jung” menegaskan bahwa di antara pasien saya di usia pertengahan, tidak ada yang memiliki penyakit mental yang tidak dipengaruhi oleh faktor agama.

Sarjana biokimia Mahmud Abd Al-Qadir menawarkan bukti hubungan antara keyakinan agama dan kesehatan mental. Banyak orang telah terlibat dalam praktik menggunakan agama untuk mengobati penyakit mental.

Fakta ini selanjutnya didukung oleh fakta bahwa Ilmu pengetahuan Kristen adalah gerakan ilmiah yang diakui. Dalam gerakan ini, profesional medis, profesional psikiatri, dan otoritas agama bekerja sama untuk merawat pasien (pendeta). Di sini, kegunaan keunggulan psikologi agama dapat ditunjukkan.

Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzi (691-751) mengatakan hal ini sejak abad ke 7 Hijriyah. Dia percaya bahwa seorang dokter yang tidak dapat merawat pasien tanpa terlebih dahulu menganalisis keadaan mentalnya dan yang tidak dapat merawat pasien dengan menggunakan prinsip melakukan perbuatan baik, berhubungan dengan Allah, dan mengingat akhirat bukanlah seorang dokter dalam arti kata yang sebenarnya. Dia benar-benar hanya ingin bodoh untuk menjadi dokter.

Sikap ketundukan seseorang pada kekuasaan yang lebih tinggi dapat menjadi akar interaksi antara psikologi dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan mental wellness.

Seseorang dengan pandangan pasrah seperti itu didorong untuk mengadopsi pandangan optimis sehingga muncul emosi yang baik seperti kenikmatan, kesenangan, kepuasan, kesuksesan, perasaan dicintai, atau perasaan aman.

Dengan kata lain, dalam keadaan seperti itu, orang dibuat sehat jasmani dan rohani dalam keadaan dasarnya, sejalan dengan jalannya peristiwa.

Baca Juga: Dampak Negatif Game Online pada Kesehatan Mental

Sikap ketundukan seseorang pada kekuasaan yang lebih tinggi inilah yang menentukan kaitan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa. Seseorang akan mengembangkan pandangan optimis berkat sikap ini, yang akan menimbulkan emosi menyenangkan seperti kenikmatan, kepuasan, kesuksesan, perasaan dicintai, atau perasaan terlindungi.

Salah satu komponen keharusan akan hak asasi manusia sebagai makhluk yang beriman kepada Tuhan adalah sikap emosional seperti itu. Oleh karena itu, manusia dalam keadaan tenang dan normal dalam keadaan seperti ini.

Ajaran agama mewajibkan pengikut untuk mengikutinya setiap hari, yang sangat masuk akal. Setidak-tidaknya, struktur dan praktik ibadah keagamaan akan berdampak pada pembinaan keluhuran budi yang pada puncaknya akan melahirkan rasa pemenuhan diri sebagai hamba Allah yang bertakwa.

Ibadah setidaknya akan memberikan kesan bahwa hidup memiliki makna yang lebih besar. Manusia harus diperlakukan dengan cara yang dapat memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani mereka karena mereka adalah spesies yang tidak dapat dipisahkan.

Logoterapi adalah sub bidang psikologi yang merupakan bagian dari psikologi humanistik (logos berarti makna dan juga spiritual). Filosofi hidup dan pemahaman orang-orang di dasar logoterapi mengakui adanya komponen sosial dalam kehidupan manusia.

Konsep bahwa keinginan untuk hidup bermakna adalah keinginan dasar manusia atau tujuan dasar manusia adalah fokus dari logoterapi. Kebutuhan manusia akan kebebasan dalam menentukan makna hidup merupakan salah satu penggerak tersebut.

Kebebasan itu antara lain ditunjukkan dalam hal-hal yang ia hasilkan, hal-hal yang ia jumpai dan asimilasi (seperti agama dan cinta), atau dalam cara ia menanggapi peristiwa dan rasa sakit yang tak terhindarkan.

Hal-hal yang menawarkan seseorang tujuan tertentu dalam hidup adalah hal-hal yang, jika diwujudkan, akan membuat keberadaan orang itu berharga dan akhirnya menghasilkan kenikmatan konten. Ada dua tingkat makna hidup menurut logoterapi: makna hidup secara keseluruhan dan makna keberadaan pribadi.

Kehidupan yang paripurna hanya dapat dianggap sebagai dasar dan sumber makna keberadaan manusia karena bersifat mutlak dan universal. Bisa dibayangkan beberapa pandangan filosofis atau ideologis dipandang bersifat universal dan inklusif oleh orang-orang yang tidak atau tidak menghargai agama.

Baca Juga: Gangguan Kesehatan Mental yang Dapat Muncul di Masa Kehamilan

Namun, bagi pemeluk agama, Tuhan adalah sumber nilai Yang Maha Sempurna, dan agama adalah manifestasi dari tuntutan-tuntutan-Nya. Berdasarkan metode logoterapi, mungkin di sinilah letak fungsi agama dalam meningkatkan kesehatan mental.

Karena begitu, manusia berada dalam situasi tidak berdaya, mereka akan kehilangan kendali dan menyerah. Ajaran agama setidaknya akan memberikan tujuan hidupnya dalam keadaan seperti itu. Menurut logoterapi, seseorang harus masuk ke dalam dirinya sendiri untuk menemukan makna hidup mereka sendiri.

Selain itu, logoterapi menunjuk tiga bidang praktik yang memungkinkan seseorang mengidentifikasi tujuan hidup secara mandiri. Ketiganya meliputi:

  1. Perbuatan bekerja, menghasilkan, dan melaksanakan tugas dan komitmen seseorang dengan sebaik-baiknya;
  2. Keyakinan dan penghayatan terhadap nilai-nilai tertentu (seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, dan lain-lain;
  3. Sikap yang tepat terhadap keadaan dan rasa sakit yang tak terhindarkan.

Ibadah adalah salah satu metode yang dapat digunakan, menurut logoterapi, untuk memperluas persepsi seseorang tentang nilai-nilai potensial dan tujuan hidup yang terkandung di dalam dan di sekitar mereka untuk mengatasi sikap yang tidak terhindarkan pada kondisi ketiga.

Kesimpulan

Kesehatan mental seseorang adalah yang membuat mereka bebas dari keluhan dan penyakit mental seperti neurosis atau psikosis (penyesuaian diri dengan lingkungan sosial). Seseorang yang sehat secara mental akan selalu merasa aman dan puas apapun yang terjadi.

Dia juga akan merenungkan semua yang mereka lakukan untuk dapat mengatur dan mengatur diri mereka sendiri. Sebaliknya, masalah kesehatan mental hanyalah hilangnya kesehatan mental yang ditunjukkan dengan kegelisahan, ketidakamanan, penurunan kapasitas mental, dan timbulnya perilaku yang tidak pantas atau rasional.

Menurut Al-Qur’an, perawatan agama dapat membantu mengatasi kondisi mental ini. Sehubungan dengan itu, berkontak dengan Tuhan, memperdalam zikir, dan beramal saleh adalah cara yang tepat untuk mengatasi masalah kejiwaan.

Baca Juga: Pengaruh Kesehatan Mental Remaja Terhadap Kurikulum Pemerintah

Jiwa seseorang akan lebih tenteram dan lebih siap menghadapi kekecewaan dan tantangan hidup sehingga lebih beribadah dan dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, semakin jauh seseorang dari agama, semakin sulit baginya untuk menemukan kedamaian batin.

Penulis: Annisa Salsabila Budi Ningrum
Mahasiswa S1 Fisioterapi Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Sururin. 2007. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Rosyad, R. (2016). Pengaruh Agama Terhadap Kesehatan Mental. Syifa al-Qulub: Jurnal Studi Psikoterapi Sufistik1(1), 17-26.

Hamid, A. (2017). Agama dan kesehatan mental dalam perspektif psikologi agama. Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako)3(1), 1-14.

Salji, I., Fauziah, I. D., Putri, N. S., & Zuhri, N. Z. (2022). Pengaruh Agama Islam terhadap Kesehatan Mental Penganutnya. ISLAMIKA4(1), 47-57.

Mubarok, S., Paizin, A. T., Fitriyah, T., & Prasetya, Y. Y. (2022). Pengaruh Agama Terhadap Kesehatan Mental. Edunity: Kajian Ilmu Sosial Dan Pendidikan1(01), 27-32.

Azisi, A. M. (2020). Peran Agama dalam Memelihara Kesehatan Jiwa dan Sebagai Kontrol Sosial Masyarakat. Al-Qalb: Jurnal Psikologi Islam11(2), 55-75.

Setiawan, H., Solikhina, I., & Nada, U. N. M. (2022). KONTRIBUSI AGAMA DALAM KESEHATAN MENTAL. Aktualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan12(1).

Pos terkait