Persepsi Masyarakat terhadap Representasi Pria Androgini di TikTok: Analisis Wacana Kritis pada Konten Fendi Beau

Pria Androgini
Ilustrasi Pria Androgini (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Abstrak

Penelitian dan diskusi difokuskan pada representasi seorang pria androgini dalam konten TikTok Fendi Beau dengan menerapkan Analisis Wacana Kritis Sara Mill. Fokus penelitian ini adalah bagaimana Beau, sebagai entertainer di media sosial, menyampaikan perlawanan terhadap konstruk masculinitas hegemonik melalui ekspresi visual dan verbal.

Dengan mempersatukan sifat maskulin dan feminin dalam penampilannya dan menyatakan bahwa pria tidak harus terlihat maskulin, Fendi membangun narasi alternatif tentang identitas pria. Data diperoleh dari pengamatan video TikTok dan komentar pengguna serta literatur online.

Temuan mengungkapkan Fendi Beau muncul sebagai subjek wacana yang aktif yang membangun makna baru tentang gender sambil mengkritik maskulinitas yang didominasi oleh citra tradisional.

Responden menunjukkan berbagai reaksi dari yang mendukung hingga yang tidak mendukung, mewakili spektrum penerimaan terhadap identitas gender non-biner di ruang digital. Studi ini menyimpulkan bahwa TikTok bertindak sebagai ruang diskursif yang memperkuat rekonstruksi norma gender dalam istilah yang lebih representatif.

Bacaan Lainnya

Kata Kunci: representasi, androgini, TikTok, maskulinitas hegemonik, analisis wacana kritis

 

Abstract

The research and discussion focused on the representation of an androgynous man in Fendi Beau’s TikTok content by applying Sara Mill’s Critical Discourse Analysis. The focus of this research is on how Beau, as a social media entertainer, conveys resistance to hegemonic constructs of masculinity through visual and verbal expressions.

By uniting masculine and feminine traits in his performance and stating that men do not have to look masculine, Fendi builds an alternative narrative of male identity. Data was obtained from observation of TikTok videos and user comments as well as online literature.

Findings reveal Fendi Beau emerges as an active subject of discourse that constructs new meanings of gender while criticizing masculinity dominated by traditional imagery.

Respondents showed a range of reactions from supportive to unsupportive, representing a spectrum of acceptance towards non-binary gender identities in digital spaces. The study concludes that TikTok acts as a discursive space that reinforces the reconstruction of gender norms in more representative terms.

Keyword: representation, androgyny, TikTok, hegemonic masculinity, critical discourse analysis

 

Pendahuluan 

Selama era digital dan evolusi media yang terus-menerus, media sosial telah berkembang menjadi ruang utama bagi individu untuk mengekspresikan identitas dan pandangan mereka. Salah satu platform yang paling populer saat ini, TikTok, menawarkan ruang virtual yang sangat terbuka untuk berbagai bentuk ekspresi pribadi, termasuk representasi identitas gender yang beragam.

Dengan format video pendek dan algoritma yang dinamis, TikTok telah menjadi media yang memungkinkan individu mengeksplorasi dan menampilkan berbagai aspek identitas diri mereka secara lebih bebas dan inklusif.

Media sosial membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat mengekspresikan diri, termasuk dalam hal gender. Berbeda dengan media tradisional yang cenderung mempertahankan pandangan biner mengenai gender—maskulin dan feminin—TikTok memberikan peluang bagi hadirnya representasi gender yang lebih cair dan tidak terikat pada norma-norma konvensional.

Salah satu bentuk ekspresi yang mencolok dalam konteks ini adalah kehadiran pria androgini, yakni individu yang secara sadar menggabungkan unsur maskulin dan feminin dalam cara berpakaian, berbicara, serta berinteraksi dengan publik. Fenomena androgini tidak hanya muncul sebagai tren mode, tetapi juga sebagai bentuk kritik terhadap konstruksi sosial yang mengekang identitas dan ekspresi gender.

Fendi Beau, seorang kreator konten di TikTok, menjadi salah satu figur yang menarik untuk dikaji dalam konteks ini. Melalui video-videonya, Fendi menampilkan penampilan yang memadukan elemen feminin dan maskulin, baik dari segi busana, riasan wajah, maupun cara berkomunikasi.

Dalam salah satu videonya, Fendi secara tegas menyatakan bahwa “Menjadi laki-laki tidak harus selalu tampil maskulin.” Pernyataan tersebut merupakan bentuk resistensi terhadap konstruksi gender hegemonik yang menempatkan maskulinitas sebagai satu-satunya standar identitas laki-laki yang sah di masyarakat.

Ia tidak hanya mengandalkan tampilan visual, tetapi juga mengartikulasikan pesan-pesan verbal yang kuat terkait ekspresi diri, penerimaan diri, dan identitas gender.

Fenomena ini menarik karena terjadi dalam konteks budaya Indonesia yang masih kental dengan norma-norma gender tradisional. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji lebih dalam bagaimana representasi pria androgini dikonstruksikan dalam konten TikTok Fendi Beau.

Untuk memahami dinamika ini, penelitian ini akan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK), khususnya model yang dikembangkan oleh Sara Mills. Pendekatan ini akan membantu mengungkap bagaimana posisi subjek (Fendi), objek (maskulinitas), dan audiens (publik TikTok) direpresentasikan dalam wacana digital.

Selain itu, teori gender role akan digunakan untuk memahami bagaimana peran sosial berdasarkan gender dihadirkan atau dilawan dalam konten Fendi Beau, sementara teori identitas gender akan mengarahkan analisis pada cara individu memaknai dan menampilkan identitas dirinya di ruang publik digital.

Penelitian ini juga mempertimbangkan bahwa TikTok sebagai platform turut serta dalam membentuk pemahaman masyarakat terhadap gender melalui normalisasi ekspresi-ekspresi non-biner.

Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya fokus pada visualisasi dalam video Fendi Beau, tetapi juga pada cara makna-makna tersebut diproduksi, dinegosiasikan, dan diinterpretasikan oleh masyarakat digital. Analisis ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai pergeseran norma gender di era media sosial serta kontribusi TikTok dalam menciptakan ruang wacana alternatif bagi identitas gender yang lebih inklusif dan cair.

 

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, pokok permasalahan dalam penelitian ini terfokus pada bagaimana konten TikTok Fendi Beau, khususnya pernyataannya bahwa laki-laki tidak harus selalu tampil maskulin, membentuk sebuah representasi baru mengenai identitas laki-laki.

Pernyataan ini secara eksplisit mencerminkan bentuk resistensi terhadap konstruksi gender dominan yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini difokuskan pada dua hal utama: pertama, bagaimana representasi pria androgini dikonstruksikan melalui opini dan tampilan Fendi Beau dalam video TikTok-nya; dan kedua, bagaimana posisi subjek (Fendi Beau), objek (maskulinitas), dan audiens terbentuk dalam wacana tersebut berdasarkan kerangka Analisis Wacana Kritis Sara Mills.

 

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk mengkaji dan mendeskripsikan bagaimana Fendi Beau, sebagai seorang pria androgini, merepresentasikan resistensinya terhadap stereotip maskulinitas tradisional melalui konten TikTok-nya.

Menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis Sara Mills, penelitian ini secara spesifik berupaya mengungkap bagaimana posisi Fendi terbentuk sebagai subjek yang menyampaikan opini, bagaimana maskulinitas menjadi objek yang dikritik dalam wacananya, serta bagaimana posisi audiens sebagai penerima pesan berkontribusi dalam konstruksi wacana gender alternatif di media sosial.

 

Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini berpotensi memperkaya bidang ilmu komunikasi, khususnya dalam ranah kajian media, gender, dan representasi. Dengan menerapkan Analisis Wacana Kritis Sara Mills, studi ini akan menawarkan perspektif yang lebih mendalam mengenai bagaimana media sosial, khususnya TikTok, berperan dalam membentuk dan menyebarkan wacana identitas gender, terutama terkait dengan representasi pria androgini.

Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat menjadi referensi penting bagi studi-studi di masa mendatang yang berfokus pada eksplorasi representasi gender non-konvensional dalam konteks budaya digital di Indonesia.

Di sisi praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat luas mengenai pentingnya penerimaan terhadap keragaman identitas gender di era digital. Hasil studi ini juga dapat menjadi panduan yang berguna bagi para content creator, praktisi media, dan pendidik dalam mengembangkan konten atau materi edukatif yang lebih inklusif terhadap berbagai ekspresi gender.

Lebih lanjut, penelitian ini dapat memberikan wawasan kritis kepada pengguna media sosial tentang bagaimana wacana gender terbentuk dan dapat diinterpretasikan secara bijak di ruang digital seperti TikTok.

Tinjauan Pustaka 

Untuk memahami bagaimana pria androgini direpresentasikan di media sosial, penting untuk meneliti beberapa konsep kunci seperti gender, identitas gender, androgini, media, serta teori analisis wacana kritis. Fakih (1996) menyatakan bahwa gender adalah konstruksi sosial yang melekat pada laki-laki dan perempuan, bukan sekadar sifat biologis, melainkan produk dari norma dan budaya masyarakat.

Identitas gender, seperti yang dijelaskan oleh Anindya (2016), adalah bagaimana seseorang secara subjektif mengekspresikan dirinya dan bagaimana identitas tersebut diakui secara sosial, yang terbentuk melalui interaksi sosial.

Dalam konteks ini, androgini mengacu pada penggabungan ciri-ciri maskulin dan feminin dalam satu individu. Fenomena ini menantang batasan biner tradisional antara maskulinitas dan femininitas, dan semakin mendapatkan ruang melalui platform media sosial seperti TikTok.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa media digital tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai arena pembentukan identitas sosial dan budaya, termasuk ekspresi gender yang tidak konvensional.

Penelitian ini juga mengadopsi pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK) dari Sara Mills. Pendekatan ini menekankan analisis terhadap posisi pelaku dan sasaran dalam teks, bagaimana struktur wacana membentuk representasi, serta bagaimana hubungan kekuasaan dan ideologi gender dibangun dalam media.

Dengan menganalisis konten TikTok Fendi Beau melalui perspektif ini, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana representasi pria androgini dibentuk, dimaknai, dan dipersepsikan dalam konteks budaya masyarakat Indonesia yang cenderung konservatif terhadap isu gender.

Judul Penulis

Kesimpulan

GENDERLESS FASHION SEBAGAI CARA MENGEKSPRESIKAN DIRI (LUTHFIYYAH, 2023) Genderless fashion bukan tren baru, dipengaruhi sejarah dan budaya. Di Indonesia, dipopulerkan media sosial dan figur publik. Penelitian di Yogyakarta mengungkap motif pelaku sebagai ekspresi diri dan kebebasan dari norma gender, yang menghasilkan beragam respons lingkungan.
REPRESENTASI SELF PRESENTATION PERSONALITY SEBAGAI CONTENT CREATOR (Studi Semiotika terhadap Jovi Adhiguna Hunter dan Noe Row di YouTube) (Sumardiyantoro, 2020) Jovi Adhiguna dan Noe Row, meskipun berpenampilan androgini, menyajikan diri positif di vlog mereka, fokus pada nilai internal. Di YouTube, mereka selektif membentuk citra diri untuk memberi dampak positif. Noe Row tampil otentik dengan sisi feminin, sementara Jovi Adhiguna lebih ideal, kurang menampilkan sisi maskulin.
RESISTENSI JOVI ADHIGUNA ATAS WACANA DISKURSUS MASYARAKAT MENGENAI GENDER (Analisis Isi Kualitatif Video Blog Jovi Adhiguna Hunter Pada Channel Youtube) (AYUNINGTYAS, 2020) Masyarakat cenderung melihat gender biner dan statis, sehingga perubahan dianggap salah. Jovi Adhiguna, berpenampilan androgini, melawan pandangan ini dan terpilih sebagai agen perubahan. Ia menegaskan identitas laki-lakinya meski berpenampilan beda, menunjukkan gender itu fleksibel. Lewat vlog, Jovi mendorong penerimaan diri dan konsistensi.
PRESENTASI DIRI PADA ANDROGINI FIGUR JOVI ADHIGUNA ( Studi Dramaturgi Pada Jovi Adhiguna Hunter Dalam Media Sosial Youtube ) (Perdana & Dini Salmiyah Fithrah Ali, 2017) Penelitian menyimpulkan bahwa Jovi Adhiguna Hunter berhasil membangun presentasi diri yang baik di platform YouTube-nya, sesuai dengan harapan penonton. Melalui atribut presentasi diri yang efektif, ia mampu membentuk “status kesan” yang diinginkan, terbukti dengan berbagai pencapaian seperti undangan talk show dan popularitas di kalangan pengguna YouTube Indonesia.
KEBEBASAN BEREKSPRESI LAKI-LAKI PADA MEDIA SOSIAL MELALUI FASHION ANDROGINI (Pramesthi, Arista, & Swastika, 2024) Fashion itu netral gender, tapi di Indonesia masih ikut stereotip. Jovi Adhiguna pakai fashion androgini buat hilangkan batas gender, padukan maskulin-feminin. Sejak 2021, gayanya yang non-biner, modis, sopan, stabil dikomunikasikannya. Ia pamer status sosial lewat brand terkenal, tunjukkan diri sebagai model/endorser, dan cerita soal fashion ke pengikutnya.
Representasi Androgini Jovi Adhiguna di Video Blog YouTube (Funay, 2018) Vlog Jovi Adhiguna menunjukkan androgini sebagai integrasi maskulin-feminin, bukan seksualitas. Namun, Jovi justru memperkuat mitos androgini sebagai “liyan” dengan menyebut dirinya “aneh” dan merasa didiskriminasi. Vlognya juga memperkuat stereotip androgini dalam seni, makin menegaskan “keliyanan.” Representasi androgini Jovi belum melawan heteronormativitas, malah cenderung mendukungnya dengan konsep “liyan.”

 

Kajian Teori 

Teori Gender Role

Menurut Fakih yang dikutip oleh (Funay, 2018) mendefinisikan gender sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, yang terbentuk melalui konstruksi sosial dan budaya. Gender bukanlah penentu biologis, melainkan produk dari norma, nilai, dan struktur sosial yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam sistem patriarki yang dominan, peran gender cenderung menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan pada posisi inferior, menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Lebih lanjut, heteronormativitas—anggapan bahwa relasi heteroseksual adalah satu-satunya bentuk hubungan seksual yang valid—memperkuat peran gender konvensional dalam tatanan sosial.

Dalam konteks ini, individu diharapkan untuk menyesuaikan identitas mereka dengan ekspektasi masyarakat terkait maskulinitas dan femininitas.

Senada dengan itu, (Funay, 2018)mengartikulasikan gender sebagai keyakinan internal individu dalam memilih dan menghayati peran feminin dan maskulin, yang sepenuhnya dikondisikan oleh lingkungan sosial.

Ini mengimplikasikan bahwa pilihan identitas dan ekspresi gender seseorang tidak bersifat bawaan, melainkan hasil internalisasi norma sosial yang terus berevolusi. Oleh karena itu, pemahaman tentang gender tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya dan dinamika kekuasaan yang memengaruhi pembentukan peran dan identitas gender.

Teori Identitas Gender

Menurut (Funay, 2018) mendefinisikan bahwa gender sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, yang terbentuk melalui konstruksi sosial dan budaya. Gender bukanlah penentu biologis, melainkan produk dari norma, nilai, dan struktur sosial yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam sistem patriarki yang dominan, peran gender cenderung menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan pada posisi inferior, menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Lebih lanjut, heteronormativitas—anggapan bahwa relasi heteroseksual adalah satu-satunya bentuk hubungan seksual yang valid—memperkuat peran gender konvensional dalam tatanan sosial.

Dalam konteks ini, individu diharapkan untuk menyesuaikan identitas mereka dengan ekspektasi masyarakat terkait maskulinitas dan femininitas.

Senada dengan itu, (Funay, 2018)mengartikulasikan gender sebagai keyakinan internal individu dalam memilih dan menghayati peran feminin dan maskulin, yang sepenuhnya dikondisikan oleh lingkungan sosial. Ini mengimplikasikan bahwa pilihan identitas dan ekspresi gender seseorang tidak bersifat bawaan, melainkan hasil internalisasi norma sosial yang terus berevolusi.

Oleh karena itu, pemahaman tentang gender tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya dan dinamika kekuasaan yang memengaruhi pembentukan peran dan identitas gender.

Baca juga: Pandangan Maskulinitas dalam Cerpen Lelaki Sejati Karya Putu Wijaya

Dalam kajian teori gender, Raewyn Connell memperkenalkan konsep “maskulinitas hegemonik” untuk menjelaskan bagaimana bentuk maskulinitas tertentu menjadi dominan dalam suatu budaya dan sosial.

Dalam bukunya Masculinities (Connell, 2005), Connell mengartikan maskulinitas hegemonik sebagai praktik gender yang memungkinkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, sekaligus menempatkan bentuk maskulinitas lain dalam posisi subordinat.

Connell menegaskan bahwa maskulinitas hegemonik adalah konstruksi sosial yang selalu berubah seiring konteks sejarah dan budaya. Ini tidak hanya soal dominasi laki-laki atas perempuan, tapi juga hierarki di antara sesama laki-laki, di mana maskulinitas “lain”—seperti yang subordinat atau marginal—seringkali tertekan.

Ciri utamanya adalah kemampuannya melegitimasi dominasi laki-laki melalui konsensus budaya, institusi, dan praktik sosial. Penting dicatat, maskulinitas hegemonik bukan berarti semua laki-laki harus memilikinya, melainkan sebuah norma ideal yang memengaruhi struktur sosial dan identitas individu.

 

Konsep Androgini

Androgini (androgyny) berasal dari bahasa Yunani, andros (laki-laki) dan gyne (perempuan), merujuk pada pencampuran karakteristik maskulin dan feminin dalam satu entitas, baik dalam penampilan, identitas gender, maupun perilaku.

Pandangan stereotipe mengenai peran tradisional yang harus diperankan sesuai gender telah menimbulkan ketidaknyamanan, terutama sejak tahun 1970-an. Hal ini mendorong lahirnya konsep androgini yang diperkenalkan oleh Sandra Bem, seorang psikolog dari Universitas Stanford pada tahun 1974.

Konsep androgini merujuk pada individu yang mampu memadukan sikap maskulin dan feminin dalam diri mereka. Sandra L. Bem menjelaskan bahwa istilah androgini berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata: “andro” yang berarti pria dan “gyne” yang berarti wanita.

Androgini menggambarkan suatu kesatuan dalam perilaku dan karakteristik yang secara tradisional dikategorikan sebagai feminin dan maskulin. Bem menegaskan bahwa individu androgini tidak sekadar berada di tengah-tengah antara maskulinitas dan feminitas yang ekstrem, melainkan mereka bahkan memiliki kombinasi ciri-ciri maskulin dan feminin yang kuat (Islam, 2021).

Pada tahun 1977, Sandra Bem memperkenalkan sebuah alat ukur gender yang dikenal sebagai Bem Sex-Role Inventory. Melalui respons terhadap item-item dalam inventori ini, individu akan diklasifikasikan ke dalam salah satu dari empat orientasi gender: maskulin, feminin, androgini, atau tidak terdiferensiasi (undifferentiated).

Menurutnya, individu feminin ditandai dengan skor tinggi pada sifat feminin dan rendah pada sifat maskulin, sementara individu maskulin memiliki skor tinggi pada sifat maskulin dan rendah pada sifat feminin. Individu androgini, baik pria maupun wanita, memiliki skor tinggi di kedua sifat tersebut, sedangkan individu undifferentiated memiliki skor rendah pada keduanya (Islam, 2021).

Persepsi mengenai sifat maskulin dan feminin adalah hasil konstruksi sosial. Sejak kecil, masyarakat mengajarkan bahwa sifat maskulin adalah sifat bawaan pria, sedangkan sifat feminin adalah sifat bawaan wanita.

Oleh karena itu, laki-laki yang dianggap tidak memiliki sifat maskulin yang kuat sering kali dicap bukan sebagai laki-laki, sehingga menuntut mereka untuk memenuhi ekspektasi maskulinitas dalam masyarakat.

Konsep-konsep mengenai maskulinitas, feminitas, dan ideologi heteronormatif yang mendominasi budaya kita, menciptakan pemahaman tentang makna laki-laki ideal sebagai manifestasi dari maskulinitas yang dianggap normal, sementara segala sesuatu yang berlawanan dengan konsep tersebut dianggap sebagai hal yang ‘lain’. Dalam konteks ini, masyarakat masih memandang androgini sebagai sesuatu yang berbeda (Islam, 2021).

 

Teori Representasi

Dalam kajian representasi, teori Stuart Hall sangat relevan untuk menjelaskan bagaimana makna dibentuk dan diproduksi dalam media. Hall (1997) menyatakan bahwa representasi bukan sekadar pencerminan realitas, melainkan proses produksi makna melalui bahasa, gambar, dan simbol yang dipengaruhi oleh konteks sosial dan ideologi.

Representasi membentuk bagaimana kelompok sosial dipahami dan dikonstruksi secara kultural (Ayuanda, Sidabalok, & Perangin-angin, 2024).

Pandangan ini sejalan dengan temuan-temuan penelitian mutakhir, yang menunjukkan bahwa media berperan penting dalam membangun citra kelompok rentan melalui proses seleksi wacana, pemilihan narasi, dan pengulangan simbol tertentu (Ali & Choudhury, 2021).

Selain itu, studi yang dilakukan oleh Noviani dan Pramiyanti (2022) juga menegaskan bahwa konstruksi representasi dalam media digital berpotensi memperkuat stereotip berbasis gender atau orientasi seksual, terutama ketika wacana yang dominan tidak mempertimbangkan perspektif inklusif.

Dengan demikian, representasi dapat dilihat sebagai arena perebutan makna, tempat di mana beragam nilai dan kepentingan berkompetisi untuk mempengaruhi cara publik memahami kelompok sosial tertentu.

Dalam konteks konten TikTok Fendi Beau, representasi pria androgini bukan hanya menampilkan citra visual, tetapi juga membangun makna baru tentang identitas gender yang menantang norma maskulinitas hegemonik.

Fendi Beau sebagai pembuat konten (subjek) menggunakan simbol-simbol visual dan verbal untuk merepresentasikan identitas yang melambangkan maskulin dan feminin, sehingga menciptakan wacana alternatif yang memperluas pemahaman masyarakat terhadap gender.

 

Metode 

Penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif deskriptif dengan menerapkan Analisis Wacana Kritis (AWK) model Sara Mills. Fokus utamanya adalah menganalisis representasi pria androgini dalam konten TikTok Fendi Beau, khususnya pada video yang memuat pernyataan bahwa laki-laki tidak harus selalu tampil maskulin.

Analisis dilakukan dengan memperhatikan aspek visual dan verbal dari konten, serta bagaimana posisi subjek (Fendi Beau), objek (maskulinitas), dan audiens terbentuk dalam wacana tersebut.

Data penelitian diperoleh melalui observasi mendalam terhadap video, dokumentasi berupa tangkapan layar dan komentar pengguna, serta studi pustaka relevan. Proses analisis data melibatkan identifikasi konstruksi wacana gender dalam video dan penafsiran makna ideologisnya dalam konteks media sosial.

 

Temuan 

Fendi Beau muncul sebagai subjek aktif yang merepresentasikan identitas pria androgini melalui penampilan visual seperti riasan wajah (eyeliner, blush on, lipstik) dan pakaian yang menggabungkan unsur maskulin dan feminin. Secara verbal, Fendi menyatakan bahwa “Menjadi laki-laki tidak harus selalu tampil maskulin,” yang secara eksplisit menolak konstruksi maskulinitas hegemonik tradisional.

Komentar pengguna TikTok menunjukkan spektrum penerimaan yang beragam, mulai dari dukungan penuh terhadap ekspresi gender non-biner hingga kritik dan penolakan dari kelompok yang mempertahankan norma maskulinitas tradisional. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran wacana gender di ruang digital yang semakin inklusif dan plural.

 

Bahasan 

Video TikTok Fendi Beau menggambarkan representasi pria androgini secara harfiah dengan menggabungkan visual dan verbal. Dalam video satu menit, Fendi berada dalam riasan lengkap (eyeliner, blush on, lipstik), pakaian yang tidak maskulin seperti kemeja satin longgar, dan pernak-pernik feminin lainnya.

Baca juga: Fashion Androgini: Dari Pemberontakan Budaya hingga Tantangan Kontemporer

Ia mengungkapkan pandangannya bahwa “menjadi pria tidak memerlukanmu untuk maskulin” yang menentang norma-norma maskulinitas hegemonik. Ini adalah bentuk diskursus tandingan terhadap konstruksi gender yang dominan, yang menetapkan template kaku dari standar patriarkal identitas sebagai yang sah (Connell, 2005).

Fendi menggunakan perpaduan fashion, cara berbicara, dan ungkapan diri untuk mengkomunikasikan bahwa androgini adalah ekspresi diri yang sah dan valid. Ia tidak hanya menampilkan gaya tetapi juga mengajarkan audiensnya tentang pengucapan merek mewah, etika berpakaian, dan petunjuk fesyen.

Ini menekankan bagaimana Fendi memanfaatkan TikTok sebagai alat untuk memberdayakan orang-orang untuk bebas mengekspresikan identitas mereka dan merasa percaya diri dalam melakukannya.

Dalam kerangka Analisis Diskursus Kritis Sara Mills, Fendi Beau ditempatkan sebagai subjek aktif dalam konstruksi diskursus. Ia lebih dari sekadar objek tatapan; sebaliknya, ia membangun narasi alternatif dari yang secara dominan diterima dan diciptakan.

1. Posisi Subjek dan Objek (Sara Mills)

Dalam kerangka Analisis Wacana Kritis Sara Mills, Fendi sebagai subjek pembuat teks media menggunakan berbagai simbol dan bahasa untuk membentuk representasi. Objek, yaitu maskulinitas yang lebih cair dan fleksibel. Audiens sebagai penerima pesan turut berperan dalam negosiasi makna tersebut melalui respon dan interaksi di platform digital.

2. Posisi Audiens

Audiens, dalam konteks ini adalah pengguna TikTok yang menonton dan memberi komentar, memiliki peran penting sebagai penerima dan penafsir wacana. Berdasarkan dokumentasi komentar pada video tersebut, terdapat beragam respons yang menunjukkan dinamika penerimaan terhadap representasi pria androgini:

Komentar dari pengguna “IDE SAYANG” menyatakan “Setuju kk..”, menunjukkan dukungan terhadap opini Fendi. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian audiens menerima narasi alternatif tentang maskulinitas.

Pengguna “MissQua shop” menyebut “Setuju bet” dengan emotikon penuh dukungan, memperkuat bahwa Fendi berhasil membangun koneksi emosional dengan audiens yang sejalan dengan gagasannya.

Sebaliknya, “Donny M.” menuliskan “tdk setuju”, menjadi representasi dari audiens yang masih memegang nilai-nilai gender konvensional dan menolak narasi yang dianggap menyimpang dari norma.

Komentar dari “mircletia” menyatakan: “Lakik dinilai dari sikap, kalo cuma gaya maskulin semua bisa sih”. Ini menunjukkan bentuk dukungan yang lebih kritis—ia sepakat dengan Fendi, tetapi juga memberikan argumen tentang makna mendalam dari kelelakian.

Komentar “WyanDee” dengan “ketawa waktu kmu bilang ‘laqiq’” menampilkan bentuk respon yang santai, namun bisa ditafsirkan sebagai bentuk intertekstualitas—penggunaan istilah lokal/populer sebagai bagian dari humor dan penerimaan.

Komentar “aalfii” dengan “senadainya umar bin khatab masih hidup” menjadikan dia sebagai subjek karena tidak setuju dengan opini  Fendi Beau danmenimbulkan balasan komentar dari netizen lain,”overthinking 24/7” dengan “creatornya menyuruh beropini kak”.

1. Interpretasi Wacana

Fendi Beau dapat dikatakan mendobrak perspektif laki-laki tradisional yang selama ini menempatkan maskulinitas sebagai standar tunggal identitas pria. Dengan menggabungkan ciri-ciri maskulin dan feminin dalam penampilan dan pesan verbalnya, Fendi menghadirkan narasi alternatif yang menantang hegemoni gender tradisional.

Fendi tidak sekadar mencari pembenaran atas identitasnya, melainkan aktif membangun wacana baru yang mengkritik dan mendekonstruksi konstruksi sosial maskulinitas yang kaku. Ia berperan sebagai agen perubahan yang menggunakan media sosial sebagai ruang diskursif untuk memperluas definisi gender dan mendorong penerimaan terhadap ekspresi gender yang lebih inklusif.

 

Simpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa konten TikTok Fendi Beau menghadirkan representasi pria androgini yang menolak konstruksi maskulinitas tradisional yang dominan di masyarakat Indonesia. Dengan memadukan unsur maskulin dan feminin dalam penampilan serta pesan verbalnya, Fendi Beau berperan sebagai subjek aktif yang membangun narasi baru tentang identitas gender yang lebih inklusif dan fleksibel.

Melalui pendekatan Analisis Wacana Kritis dan teori representasi Stuart Hall, ditemukan bahwa Fendi tidak hanya menampilkan ekspresi gender yang cair, tetapi juga mengkritik norma maskulinitas hegemonik.

TikTok berfungsi sebagai ruang diskursif yang memungkinkan ekspresi tersebut berinteraksi dengan audiens yang memberikan respons beragam, mencerminkan perubahan dan penerimaan yang berkembang terhadap identitas non-biner di dunia digital.

Selain itu, penelitian ini menegaskan pentingnya membedakan antara subjek pembuat teks media—yaitu Fendi Beau dan tim produksi—dan objek yang direpresentasikan dalam teks, yakni konstruksi maskulinitas dan identitas pria androgini. Dengan demikian, makna gender diproduksi dan dinegosiasikan secara dinamis dalam konteks media sosial.

Secara keseluruhan, Fendi Beau bertindak sebagai agen perubahan yang mendobrak pandangan tradisional tentang laki-laki, bukan sekadar mencari pembenaran, melainkan memperluas wacana gender menuju pemahaman yang lebih plural dan representatif di era digital. Penelitian ini menegaskan peran media sosial sebagai ruang inklusif yang mendukung rekonstruksi norma gender yang lebih terbuka.

 

Penulis:

  1. Nurus Faizur Rochman
  2. Desta Sagita Sharren Noertjahjo

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Dosen Pengampu: Hajidah Fildzahun Nadhilah Kusnadi, S.Sos., M.A

 

Referensi

Ayuanda, W., Sidabalok, D., & Perangin-angin, A. B. (2024). Budaya Jawa dalam Film Primbon: Analisis Representasi Stuart Hall. ALFABETA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 441-448.

AYUNINGTYAS, R. S. (2020). RESISTENSI JOVI ADHIGUNA ATAS WACANA DISKURSUS MASYARAKAT MENGENAI GENDER (Analisis Isi Kualitatif Video Blog Jovi Adhiguna Hunter Pada Channel Youtube). UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (hal. 1-31). Surakarta: UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA.

Connell, R. (2005). Masculinities. California: Library of Congress Cataloging-in-Publication.

Funay, C. M. (2018). Representasi Androgini Jovi Adhiguna di Video Blog YouTube. Interaksi Online, 3-4.

LUTHFIYYAH, M. (2023). GENDERLESS FASHION SEBAGAI CARA MENGEKSPRESIKAN DIRI . UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA (hal. 1-107). Yogyakarta: UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA .

Perdana, C. V., & Dini Salmiyah Fithrah Ali, S. M. (2017). PRESENTASI DIRI PADA ANDROGINI FIGUR JOVI ADHIGUNA ( Studi Dramaturgi Pada Jovi Adhiguna Hunter Dalam Media Sosial Youtube ). e-Proceeding of Management, 1-5.

Pramesthi, H. K., Arista, A. S., & Swastika, H. (2024). Kebebasan Berekspresi Laki-Laki pada Media Sosial melalui Fashion Androgini. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi , 1-12.

Sumardiyantoro, I. (2020). Representasi Self Presentation Personality sebagai Content Creator. UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA (hal. 1-77). Yogyakarta: UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA.

 

Editor: Salwa Alifah Yusrina

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses